[Mesjid
Al-Kaff tempo doeloe]
Kalau kawan biasa ke kampong Arab, kawan akan menemui sebuah
mesjid yang cukup luas dengan arsiteknya yang sangat indah, orang-orang biasa
menyebutnya mesjid kampong arab atau Mesjid Al-Kaff, tahu kah anda sebelum
mengalami beberapa kali renovasi, mesjid ini merupakan salah satu asset sejarah
penting umat Islam di Bulungan terkhusus lagi mengenai sejarah keberadaan
orang-orang Arab keturunan Yaman di Bulungan, beginilah hikayatnya.
Kampong Arab Tempoe Doeleo.
Dahulu, kota Tanjung Selor yang kita kenal sekarang adalah
perkampungan-perkampungan masyarakat pendatang, umumnya mereka kebanyakan
adalah orang-orang muslim selain orang Cina dan orang Belanda yang datang
dikemudian hari. Perkampungan pertama diperkirakan didirikan di sekitar kawasan
di ujung tanjung, yang kenal kampong dagang atau kampong arab saat ini kurang
lebih pada paruh pertama abad ke 19 M.
Bukti keberadaan sejarah orang-orang Arab dapat kawan temukan pada
inkripsi nisan-nisan yang sudah tidak utuh lagi kuburnya, jika kawan-kawan
lebih jeli, nisan-nisan tersebut merupakan serangkaian kunci-kunci penting
untuk memahami sejarah kedatangan orang Arab di Bulungan. seperti yang kita
ketahui, dulu di kawasan ujung tanjung tersebut terdapat makam-makam kuno
komunitas Arab sebelum di pindahkan untuk dipagari siring, beberapa nisan yang selamat
di tempatkan disekitar gerbang pemakaman umum di PMD, ada dua yang dapat
terbaca oleh penulis, khususnya pada angka tahun hijriyah yang digunakan,
masing-masing berangka 1241 H dan 1302 H, masing-masing jika dikonfersi
menghasilkan angka tahun kurang lebih 1825 M dan 1884 M. Ini menandakan
komunitas Arab di Bulungan muncul sekitar awal tahun 1800-an, bahkan jika
ditarik garis lurus, sudah ada pendakwah berdarah Arab di Bulungan, khususnya
di awal paruh abad ke-18 M seperti Sayyid Abduraman Bilfaqih yang makamnya
berada di kawasan Baratan saat ini.
[Nisan-nisan
pada makam kuno keturunan Arab di Bulungan]
Hal tersebut sejalan dengan versi sejarah Bulungan sendiri yang
menyebutkan sekitar tahun 1817, setelah Sultan Alimuddin digantikan oleh
putranya Adji Muhammad gelar Sultan Muhammad Amiril Kaharuddin, wilayah Tanjung
Selor saat itu mulai didiami para pedagang seperti orang Banjar, Bugis, Melayu,
orang Arab, dan Cina.
Pola perkampungan komunitas Arab di Bulungan pada dasarnya mirip
dengan yang ada dikota Pelembang, dimana mereka biasa membentuk komunitas
khususnya antar keluarga yang biasa dipimpin oleh seorang kepala keluarga besar
yang dihormati dikalangan mereka, biasanya sesuai fam atau nama keluarga yang
mereka sandang, di Bulungan sendiri tercatat beberapa nama keluarga Arab yang
bisa ditemukan baik yang berasal dari kalangan Alawiyin seperti Bilfaqih, ada
pula fam Al-Idrus, As-Seggaf, Al-Jufri, Al-Kaff, Al-Habsyi, Al-Ba’bud dan Bin
Syihab. Di luar keluarga Alawi, ada pula beberapa keluarga Arab yang cukup
dikenal pula seperti keluarga Bansyir, Sebe’, Godal, Amri, dan Bin Send.
L. W. C. van den Berg, dalam bukunya yang legendaris Le Hadhramoth
et Les Colonies Arabes Dans L’ Archipel Indiens atau dalam versi Indonesianya
Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, memberikan gambaran statistik mengenai
jumlah masyarakat Arab Hadramaut di Keresidenan Pantai Selatan dan Timur
Borneo. Pada tahun 1885 telah dilakukan sensus penduduk pada Keresidenan
tersebut diketahui bahwa: di Banjarmasin orang Arab yang lahir di Arab;
laki-laki sebanyak 100 orang dan Anak-anak 8 orang, sedangkan orang Arab yang
lahir di Nusantara; laki-laki 95 orang, wanita 104 orang dan anak-anak 375
orang dengan jumlah keseluruhan 682. Di Pantai Selatan; orang Arab yang lahir
di Nusantara; laki-laki 15 orang, wanita 7 orang dan anak-anak 19 dengan jumlah
keseluruhan 41 orang. Sedangkan di Pantai Timur; orang Arab yang lahir di Arab
sebanyak 5 orang laki-laki, dan orang Arab yang lahir di Nusantara; laki-laki
sebanyak 45 orang, wanita 18 orang, anak-anak 36 orang maka jumlah keseluruhan
sebanyak 104 orang. Jadi jumlah total masyarakat Arab di Kerisidenan Pantai
Selatan dan Timur Borneo pada tahun 1885 sebanyak 827 orang. Sayangnya L. W. C.
van den Berg tidak mendapatkan data yang cukup memadai mengenai jumlah orang
Arab di Bulungan, hanya saja besar menurut keyakinan beliau saat itu jumlah orang
Arab di Bulungan kurang lebih sebanyak 150 orang.
[ilustrasi kapal dagang jaman bahari, koleksi sharifah Fatimah
Syed Zubir]
Pemukiman-pemukiman yang tumbuh di Tanjung Selor
-selain Kampong Dagang atau Kampong Arab ada pula macam Kampong Pasar, Kampong
Melayu, Pemukiman Chna disekitar Tempekong,- inilah yang kemudian menjadikan
kawasan ini sebagai Bandar dagang resmi milik kesultanan Bulungan, sebelum di
ambil alih oleh Belanda menjadi kawasan Vierkante Pall. hal ini dibenarkan oleh
seorang pakar sejarah maritime Indonesia, Adrian B. Lapian dalam bukunya
berjudul Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad
XIX, menurut beliau :
(“…Sungai kayan atau Sungai Bulungan memiliki peran
penting dalam sejarah lokal Kalimantan Timur. Sungai kayan atau Sungai Bulungan
yang mulai bercabang di sekitar Tanjung Palas menumpahkan airnya ke laut
melalui muara yang banyak sekali jumlahnya. Namun hanya ada dua yang penting
bagi pelayaran yaitu Muara Makaban dan Muara Salimbatu. Alur utama adalah Muara
Makaban yang menjadi pintu masuk ke Tanjung selor, Ibu kota kabupaten sekaligus
pusat perdagangan daerah Bulungan. Muara Salimbatu adalah jalan terdekat untuk
berlayar dari Tanjung selor ke pulau Tarakan. Berhadapan dengan Muara Salimbatu
adalah Lingkas, pelabuhan penting di pulau Tarakan.
Saat ini Tarakan termasuk kota terbesar diwilayah ini,
namun pada Abad XIX ketika sumber minyak disini belum ditemukan dan belum
menjadi bahan bakar penting, pusat kegiatan ekonomi adalah Tanjung Selor ditepi
sungai Bulungan (sungai kayan) yang terletak diseberang Tanjung Palas, tempat
kedudukan Sultan Bulungan”).
Surat Wasiat Sang Saudagar.
Saya merasa beruntung karena diperbolehkan oleh salah
seorang sesepuh masyarakat keturunan arab untuk mendokumentasikan beberapa
koleksi sejarah dokumen-dokumen penting mengenai sejarah mesjid Al-kaff di
Bulungan ini.
Sejarah Mesjid Al-Kaff saat yang ada saat ini tidak
lepas dari kisah wakaf saudagar berketurunan Arab yang bernama Sayyid Akhmad
Bin Mukhsin Al-Kaff, berawal dari keperhatinan beliau terhadap kondisi mesjid
yang sudah tidak muat lagi menampung banyak jemaah shalat fardu, selain itu
dimasa beliau hidup, shalat Jum’at hanya dilangsungkan di mesjid Ibu kota
kesultanan di Tanjung Palas, sehingga agak merepotkan jemaah yang ada
diperkampungan Tanjung Selor.
[pembaringan terakhir
Sayyid Akhmad Bin Mukhsin Al-Kaff]
Atas dasar inilah Sayyid Akhmad bin Mukhsin Al-Kaff
menghadap Sultan Kaharuddin II meminta izin mendrikan mesjid baru di luar kota
raja, Sultan kemudian memberi izin yang dilampirkan secara resmi dalam surat
yang langsung ditanda tangani oleh beliau:
(“…Bahwa oleh kita Seri Paduka Tuan Sultan Muhammad
Kaharuddin jang mempunjai tachta keradjaan didalam kandang daerah negeri
Bulongan dan Tidung memberi surat keterangan ini izin dan permisi pada Sd.
Achmad bin Mohsin Alkaff akan mendirikan satu mesdjid diseberang di-Tanjung
Selor dikampung dagang akan di buat wagaf mendirikan sembahjang djumat dan
sembahjang Hari Raja diatas tanah watasan Sd. Achmad bin Mohsin Alkaff tiada
tersangkut satu apa2 kepadanja itulah adanja.
di-Bulongan kepada hari Bulan Muharram 1302.
d.t.t. Sultan Muhammad Kaharuddin.)
Mesjid Ahmad Al-kaff, begitulah dulu orang
menyebutnya. Dibangun pada masa pemerintahan Sultan kaharuddin tahun 1886 M /
1304 H. Mesjid ini dihibah oleh Said Ahmad Al-kaff, “karena Allah ta’ala dan
karena Rasulullah” begitulah ucapan beliau, pada tanggal 1 bulan Rabiul Akhir
1304 Hijriyah bersamaan dengan tanggal 27 bulan Desember Tahun 1886, selang
beberapa tahun setelah izin resmi diberikan Sultan Kaharuddin II. Setidaknya
itulah yang diketahui pada surat wakaf yang ditulis oleh Said Ahmad bin Muchsin
Al-Kaff sebelum berpulangnya kerahmatullah. Surat keterangan berupa pendirian
mesjid yang ada pada kita saat ini hanya duplikatnya saja, sedangkan tulisan
yang asli dalam aksara arab melayu sudah tidak ditemukan lagi.
Dalam surat wakaf tersebut itu tertulis sebagai
berikut:
(“...Di-Bulongan pada 1 hari bulan Rabiul akhir, tahun
1304. bahwa saja Sd. Achamad bin Mohsen Alkaff telah mengaku serta saja
lafadzkan dengan saja punja lidah jang saja mewakafkan satu mesdjid serta
tanahnja dan apa2 jang ada diatas itu tanah telah mengaku saja Sd. Achmad bin
Mohsin Alkaff jang saja sempurna akal dan baik badan dan tiada terpaksa satu
mesdjid djami’ jang telah mashur di-Tandjung Selor jang saja dirikan diatas
tanah jang dibeli pada Hadji Abdulkarim bin Hasanuddin orang Bandjar jang
tersebut dalam ini surat jang saja telah wakafkan jaitu dari tepi djalan
sebelah darat terus membawa kedarat Pandjangnja 1000 kaki dan lebarnja dilaut
66 kaki dan lebarnja didarat 72 kaki dan disebelah ilir itu tanah wakaf, tanah
Sjech Ali Bakeran dan disebelah ulunja tanah Abu Jamin dan apa2 jang terkandung
diatas itu tanah dari rumah dan pohon2 dan mesdjid dan apa jang terlekat dari
tiang2 dan pintu2 dan djendela2 dan perkakas2 seperti tikar dan lampu2 dan
tempat2 air jaitu semuanja apa jang tersebut telah saja wakafkan karena Allah
Taala dan Rasulullah dan karena sekalian islam wakaf jang kekal sampai hari
kiamat tiada boleh di djual dan digadaikan dan tiada boleh mendjadi pusaka
sekali2 dan jang kuasa diatas itu saja sendiri tempo saja ada didalam hajat
dunia nanti dibelakang saja siapa sadja jang dipilih orang banjak jang patut
memelihara itu mesdjid dari pada orang islam.
Maka waktu saja mengeluarkan perkataan wakaf dari saja
punja lisan saja dalam sehat badan sempurna akal dan tiada terpaksa sekali2
dengan suka hati saja sendiri dimuka saksi2 jang tersebut dibawah ini
WAKAFA BILLAHI WALLIJAN WAKAFA BILLAHI SJAHIDAN.
Sd. Achmad bin Mohsin Alkaff .
Saksi2.
No. 1. Sd. ‘Umar bin Al ‘Idrus.
2. Sd. Abdullah bin Alwier Alkaff.
3. S. Salim bin Said Bamahsun.
Bovenstande handtoekeningen zijn gesteld
Zegeninvoordigneid van mij.
Contreleur. Te Bulongan
d.t.t
tidak terbatja.)
Sayyid Akhmad Bin Mukhsin Al-Kaff memang sudah tiada,
tapi sejarah yang tulisnya masih bisa kita kenang sampai hari ini, begitulah
riyawat singkat sejarah mesjid Al-kaff dan pendirinya dalam satu epiisode,
semoga Allah SWT menempatkan beliau dalam tidur panjangnya yang damai.
Sumber:
Copy Salinan Surat Wakaf Said Ahmad bin Mohsen Al-kaff
tentang Wakaf Mesjid Tandjung Selor / Al-Kaff (Al-Hidayah Tanjung Selor) 1
Rabiul Akhir 1304 H (27 Desember 1886). Disalin dari surat aslinya yang
bertuliskan huruf arab melayu dan berbahasa melayu kedalam tulisan latin bahasa
indonesia oleh Ustadz Mahfud Ghodal pada 15 Agustus 1951. Dokumen koleksi
pribadi Said Mohammad Al-Jufri.
Copy Salinan Surat izin mendirikan mesdjid di-Tandjung
selor dari Sultan Muhammad Kaharuddin, Bulan Muharam tahun 1302 H (Oktober
1884). Disalin dari surat aslinya yang bertuliskan huruf arab melayu dan
berbahasa melayu kedalam tulisan latin bahasa indonesia oleh Ustadz Mahfud
Ghodal pada 15 Agustus 1951. Dokumen koleksi pribadi Said Mohammad Al-Jufri.
L. W. C. Van den Berg. Le Hadhramoth et Les Colonies
Arabes Dans L’ Archipel Indiens, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat dengan judul
Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta: INIS 1989. Seri INIS Jilid 3,
156 Halaman; 24,5 cm) hal. 70.
Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah
Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.
Adrian B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut
Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu, Agustus 2009.
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Arab di
Bulungan, Said Muhammad Al-Jufri tgl 26 November 2008).
Hijri Gregorian Konventer. By Adel A. Al-Rumaih,
1996-1997.
salam kenal om...
ReplyDeletesaya sengaja surfing beritanya
soalnya juni 2013 ini insya allah saya hijrah ke bulungan
👍👍👍👍👍👍👍🤝🤝🤝🤝🤝
DeleteMasyaAllah.............................di Bumi Kalimantan dan Borneo pada umumnya ternyata banyak menjadi tempat perjalanan hidup dan wafatnya para anak cucu Baginda Rasul Muhammad SAW..........salam hormat dari Jakarta
ReplyDeleteTerima kasih........
Delete