Wednesday, March 23, 2011

Melacak jejak sejarah keluarga india di Bulungan.

Sewaktu kecil, kakek saya, Alm. Djamaloeddin bin Haroen pernah bercerita kalau dahulu di Kampong Arab sempat dihuni orang India, waktu itu saya masih belum mengerti benar hal itu.

Berpuluh tahun kemudian saya baru tersadar cerita itu menjadi begitu penting, sebab sejarah orang india di Bulungan, merupakan satu dari sekian banyak kepingan sejarah kota Tanjung Selor, khususnya di Bulungan yang paling misterius.

Saya menyadari, jejak sejarah keluarga india di Bulungan, tidaklah mudah untuk di telusuri, mereka juga tidak membentuk perkampungan atau pemukiman seperti yang ada kampong Koja di kota Jakarta atau kampong Madras (keling) di kota Medan. Inilah yang kemudian menyebabkan cerita-cerita sejarah orang-orang India diBulungan amat sulit untuk dilacak, disisi lain kurangnya minat generasi muda india memperkenalkan budaya mereka seperti seperti penggunaan kain Sari  dalam festival-festival penting di Bulungan seperti dalam Birau atau acara pernikahan semakin meredupkan eksistensi keberadaan budaya mereka.

Hal seperti ini berlangsung cukup lama, sehingga ada semacam pandangan dari masyarakat kita bahwa keberadaan orang-orang india di Bulungan hanya menjadi semacam dongeng, bahkan lebih jauh hanya dianggap sebagai mitos saja.

Saya merasa beruntung, walaupun jumlah mereka tidaklah banyak, namun beberapa generasi tua orang-orang india di bulungan telah mewariskan harta yang paling berharga, apakah itu? Tak lain adalah dokumentasi berupa foto-foto keluarga dan cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi meraka.

Bagi saya foto-foto keluarga india di bulungan lebih dari sekedar gambar belaka namun punya arti lebih dari itu, ada yang menganggap foto-toto lama hanya sekedar pajangan saja, namun sesungguhnya foto-foto lama itu, didalamya terkandung gagasan-gagasan tentang sejarah, kenangan, memori kolektif, budaya serta filosofi hidup mereka yang akan menjadi “tangga pertama” yang menuntun saya untuk lebih mengenal mereka. Saya merasa terhormat diizinkan untuk menyelami sejarah keberadaan orang-orang india di bulungan. Inilah beberapa koleksi foto yang dapat saya tampilkan:

[Haji Muhammad Ali Husen, salah satu saudagar india yang menetap di Bulungan].


[Haji muhammad Ali Husen berfoto bersama adiknya Haji Peda Husen Ali beserta karyawan dan kenalan beliau didepan toko milikinya yang bernama Bombay Shop di kampong Arab].

[Foto ini merupakan salah satu profil keluarga india di Bulungan yang paling saya sukai, terlihat jelas walaupun lelaki india tersebut menggunakan toksedo atau jas, namun kedua wanita india lainnya masih mempertahankan pakaian khas mereka].

[Pakaian sari yang dikenakan oleh salah seorang wanita keturunan india di Bulungan, ini merupakan foto Tuan Ja'far dan istri beliau].

foto langka koleksi keluarga keturunan India di Bulungan
[Koleksi foto langka keluarga India di Bulungan dan Tarakan] 

[Foto keturunan H. Ali Husein dan Peda Husein Ali di Bulungan dan Tarakan, para wanitanya menggunakan kebaya tradisonal dan kerudung]


Masih kah kita menganggap eksistensi mereka sekedar mitos belaka?

Foto: koleksi istimewa dan Foto Koleksi keluarga Ibu Hj. Aminah Hanif.

Sunday, March 13, 2011

Catatan Ringan Arkelogi Bawah Air di Bulungan dan Tarakan

Kapal Warmound, ditenggelamkan oleh Pasukan Australia

Arkeologi bawah air biasanya dipakai untuk meneliti sumur-sumur kuno, pelabuhan (seperti di kota Iskandariyah, mesir), dan kota-kota yang tenggelam (seperti yang terjadi dilaut mati, daerah sekitar yordania), serta kapal-kapal karam (seperti pada tahun 1982, kapal perang tudor, The Mary Rose, diangkat kepermukaan air setelah berada di dasar laut sejak tahun 1545. atau pun kapal perang Romawi di laut mediterania, maupun kapal-kapal dagang yang tenggelam di perairan Bangka-belitung Dan kapal yang men jadi legenda, Titanic). Dalam melakukan penelitian bawah Air para Arkeolog memiliki beberapa peralatan pendukung yang bisa bekerja dibawah air dan kapal selam yang membantu para Arkeolog memeriksa suatu situs. Segera setelah suatu situs terdeteksi, para penyelam memakai alat pernapasan untuk menyelidiki. Sebelum penggalian dimulai, pembatas tiga dimensii dipasang disekitar rongsokan. Lembing –lembing bawah air dan pipa-pipa penyedot dipakai untuk menyingkirkan puing-puing dan endapan. Temuan-temuan dipetakan memakai pembatas. Teknik khusus juga dipakai untuk memindahkan Artefak. Balon bawah air digunakaan untuk mengangkat benda-benda berat ke permukaan. Ada beberapa catatan penting tentang penelitian bawah air yaitu: Waktu melakukan menyelidiki lokasi dan rongsokan dibawah air, para Arkeolog membawa berbagai alat deteksi Geofisika. Magnetometer proton dipakai mendeteksi benda-benda dari besi dan baja (seperti peluru meriam dan lambung kapal). Sedangkan Side-scan sonar dapat manghasilkan gambar grafis benda-benda didasar laut. Arkeolog juga dapat memakai suara untuk mencari artefak. Sub-bottom profiler memancarkan bunyi akustik yang dapat mendeteksi benda-benda didasar laut. 

Untuk indonesia, Arkeologi bawah air merupakan termasuk hal yang baru, karena itu untuk menangani hal-hal yang berhubungan dengan itu maka diciptakanlah Direktorat Arkeologi bawah air yang disingkat ARBAWA. Lembaga ini merupakan lembaga baru hasil pemekaran dari Direktorat Purbakala yang khusus menangani pelestarian sumberdaya arkeologi bawah air. Di wilayah Bulungan dan Tarakan, terutama pada saat Invasi (peyerangan) Jepang ke Tarakan Januari 1942 maupun kedatangan kembali tentara sekutu (Australia) di Tarakan dan Bulungan tahun 1945. tercatat dalam pertempuran itu, ada beberapa kapal yang ditenggelamkan di wilayah perairan Tarakan maupun diwilayah Bulungan, tentu data-data ini sangat penting untuk dikaji. Terutama untuk bahan kajian para Arkeolog dalam perang Modern, Khususnya para Arkeolog bawah air yang berminat meneliti maupun mengangkat bangkai-bangkai kapal yang terpendam dibawah perairan maupun Sungai-sungai besar Di wilayah Bulungan dan Tarakan sebagai bahan kajian studi sejarah perang Pasifik (1942-1945). 

Data-data di perairan Tarakan: 

1). Tgl 12 Januari 1942 satuan baterai pertahanan pantai Belanda didaerah Karungan, pantai selatan pulau Tarakan (Kustartillerie) yang dilenggkapi meriam ukuran 120 mm buatan Krupp und Essen Jerman, berhasil menenggelam kan dua kapal penyapu ranjau milik Angkatan laut jepang saat memasuki teluk tersebut, kapal penyapu ranjau W13 dan W14 di gempur dengan meriam pertahanan pantai sehingga semua awak kapalnya tewas. 

 2). Tgl 6 Juni 1944 sebuah kapal perusak (destroyer) milik jepang ditenggelam kan diperairan tarakan oleh kapal selam milik Amerika Serikat USS Harder, dibawah kendali Letnan komandan D. Deally. 

3). Di penghujung tahun 1944, sebuah kapal palang merah jepang Awa Maru, yang mengangkut pulang ratusan teknisi perminyakan (Nampo Nen Rioso Butai) ditenggelamkan torpedo sekutu, dalam insiden tersebut sekurang-kurangnya menewaskan 450 teknisi perminyakan. Tragedi ini terjadi diantara perairan Tarakan dan Filifina Selatan. 

4). Tgl 2 Mei 1945 sebuah kapal penyapu ranjau AS terkena tembakan pihak Jepang yang menggunakan senjata pantai 75mm milik belanda yang dirampas di Tanjung juata. Selama persiapan dan menjelang P-day / Operasi Borneo ( oprasi sekutu yang dirancang oleh Douglas MacActhur untuk merebut pulau tarakan dengan sandi operasi bernama Obeo One ), angkatan laut AS mengalamii kerugian enam kapal motor penyapu ranjau. Kapal penyapu ranjau YMS-329, YMS-51, YMS-363 tenggelam oleh ranjau. Sementara YMS-481 dan YMS-364, ditambah satu kapal lainya tenggelam oleh tembakan senjata pertahanan pantai jepang. Kebanyakan kapal ranjau itu tenggelam pada koordinat 03d.26’N, dan 117d.32’E, dan hanya satu kapal yang tenggelam di koordinat 03.d.14’N, 117d.42’ E. 

Data-data didaerah Bulungan: 

1). Pada masa Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin (1931-1958), tentara sekutu yang dimotori Nica dan Australia, kembali memasuki bulungan dengan senjata lengkap pada tahun (1945) pada masa itu kapal pesiar milik sultan rusak berat di bom tentara sekutu yang menyangka itu adalah kapal angkatan laut jepang di sungai kayan. Kapal itu kemudian di dok dipinggir sungai kayan, namun saat di tarik menuju tanjung selor, kapal mewah yang badannya dilapisi besi anti karat itu tenggelam ditengah sungai akibat tali kawat yang menariknya putus. Agar kapal yang melintas di sungai tidak menabrak lokasi bangkai kapal ditengah sungai itu, maka sultan memasang rambu pengamanan, namun rambu pengaman itu hanyut dihantam kapal yang membawa kayu pada era kejayaan kayu log sekitar tahun 1980-an. Pada masa pemerintahan bupati Alm. R.A. Besing, pemerintah kabupaten Bulungan berencana mengapungkan kembali bangkai kapal itu dengan tujuan di jadikan objek wisata budaya, sampai beliau meninggal dipertengahan masa jabatannya, hal itu belum terealisasikan. 

DAFTAR PUSTAKA

Kharisma Bulungan, fotografi: Saptono, penyunting naskah: Iskandar Zulkarnaen dan Zarkoni Maksum. Cet 1, Jakarta: LKBN Antara, 2004. 

IWAN SENTOSA, Tarakan “Pearl Harbor” indonesia (1942-1945). 

PAUL DEVEREUX, Arkeologi ilmu tentang kehidupan masa lalu (Arkeologi bawah air).

Monday, March 7, 2011

[Sejarah Islam di Bulungan] Sejarah Mesjid Sayyid Ahmad Al-Kaff Tanjung Selor.


[Mesjid Al-Kaff tempo doeloe]

Kalau kawan biasa ke kampong Arab, kawan akan menemui sebuah mesjid yang cukup luas dengan arsiteknya yang sangat indah, orang-orang biasa menyebutnya mesjid kampong arab atau Mesjid Al-Kaff, tahu kah anda sebelum mengalami beberapa kali renovasi, mesjid ini merupakan salah satu asset sejarah penting umat Islam di Bulungan terkhusus lagi mengenai sejarah keberadaan orang-orang Arab keturunan Yaman di Bulungan, beginilah hikayatnya.

Kampong Arab Tempoe Doeleo.

Dahulu, kota Tanjung Selor yang kita kenal sekarang adalah perkampungan-perkampungan masyarakat pendatang, umumnya mereka kebanyakan adalah orang-orang muslim selain orang Cina dan orang Belanda yang datang dikemudian hari. Perkampungan pertama diperkirakan didirikan di sekitar kawasan di ujung tanjung, yang kenal kampong dagang atau kampong arab saat ini kurang lebih pada paruh pertama abad ke 19 M.

Bukti keberadaan sejarah orang-orang Arab dapat kawan temukan pada inkripsi nisan-nisan yang sudah tidak utuh lagi kuburnya, jika kawan-kawan lebih jeli, nisan-nisan tersebut merupakan serangkaian kunci-kunci penting untuk memahami sejarah kedatangan orang Arab di Bulungan. seperti yang kita ketahui, dulu di kawasan ujung tanjung tersebut terdapat makam-makam kuno komunitas Arab sebelum di pindahkan untuk dipagari siring, beberapa nisan yang selamat di tempatkan disekitar gerbang pemakaman umum di PMD, ada dua yang dapat terbaca oleh penulis, khususnya pada angka tahun hijriyah yang digunakan, masing-masing berangka 1241 H dan 1302 H, masing-masing jika dikonfersi menghasilkan angka tahun kurang lebih 1825 M dan 1884 M. Ini menandakan komunitas Arab di Bulungan muncul sekitar awal tahun 1800-an, bahkan jika ditarik garis lurus, sudah ada pendakwah berdarah Arab di Bulungan, khususnya di awal paruh abad ke-18 M seperti Sayyid Abduraman Bilfaqih yang makamnya berada di kawasan Baratan saat ini.


[Nisan-nisan pada makam kuno keturunan Arab di Bulungan]

Hal tersebut sejalan dengan versi sejarah Bulungan sendiri yang menyebutkan sekitar tahun 1817, setelah Sultan Alimuddin digantikan oleh putranya Adji Muhammad gelar Sultan Muhammad Amiril Kaharuddin, wilayah Tanjung Selor saat itu mulai didiami para pedagang seperti orang Banjar, Bugis, Melayu, orang Arab, dan Cina.

Pola perkampungan komunitas Arab di Bulungan pada dasarnya mirip dengan yang ada dikota Pelembang, dimana mereka biasa membentuk komunitas khususnya antar keluarga yang biasa dipimpin oleh seorang kepala keluarga besar yang dihormati dikalangan mereka, biasanya sesuai fam atau nama keluarga yang mereka sandang, di Bulungan sendiri tercatat beberapa nama keluarga Arab yang bisa ditemukan baik yang berasal dari kalangan Alawiyin seperti Bilfaqih, ada pula fam Al-Idrus, As-Seggaf, Al-Jufri, Al-Kaff, Al-Habsyi, Al-Ba’bud dan Bin Syihab. Di luar keluarga Alawi, ada pula beberapa keluarga Arab yang cukup dikenal pula seperti keluarga Bansyir, Sebe’, Godal, Amri, dan Bin Send.

L. W. C. van den Berg, dalam bukunya yang legendaris Le Hadhramoth et Les Colonies Arabes Dans L’ Archipel Indiens atau dalam versi Indonesianya Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, memberikan gambaran statistik mengenai jumlah masyarakat Arab Hadramaut di Keresidenan Pantai Selatan dan Timur Borneo. Pada tahun 1885 telah dilakukan sensus penduduk pada Keresidenan tersebut diketahui bahwa: di Banjarmasin orang Arab yang lahir di Arab; laki-laki sebanyak 100 orang dan Anak-anak 8 orang, sedangkan orang Arab yang lahir di Nusantara; laki-laki 95 orang, wanita 104 orang dan anak-anak 375 orang dengan jumlah keseluruhan 682. Di Pantai Selatan; orang Arab yang lahir di Nusantara; laki-laki 15 orang, wanita 7 orang dan anak-anak 19 dengan jumlah keseluruhan 41 orang. Sedangkan di Pantai Timur; orang Arab yang lahir di Arab sebanyak 5 orang laki-laki, dan orang Arab yang lahir di Nusantara; laki-laki sebanyak 45 orang, wanita 18 orang, anak-anak 36 orang maka jumlah keseluruhan sebanyak 104 orang. Jadi jumlah total masyarakat Arab di Kerisidenan Pantai Selatan dan Timur Borneo pada tahun 1885 sebanyak 827 orang. Sayangnya L. W. C. van den Berg tidak mendapatkan data yang cukup memadai mengenai jumlah orang Arab di Bulungan, hanya saja besar menurut keyakinan beliau saat itu jumlah orang Arab di Bulungan kurang lebih sebanyak 150 orang.



[ilustrasi kapal dagang jaman bahari, koleksi sharifah Fatimah Syed Zubir]

Pemukiman-pemukiman yang tumbuh di Tanjung Selor -selain Kampong Dagang atau Kampong Arab ada pula macam Kampong Pasar, Kampong Melayu, Pemukiman Chna disekitar Tempekong,- inilah yang kemudian menjadikan kawasan ini sebagai Bandar dagang resmi milik kesultanan Bulungan, sebelum di ambil alih oleh Belanda menjadi kawasan Vierkante Pall. hal ini dibenarkan oleh seorang pakar sejarah maritime Indonesia, Adrian B. Lapian dalam bukunya berjudul Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, menurut beliau :

(“…Sungai kayan atau Sungai Bulungan memiliki peran penting dalam sejarah lokal Kalimantan Timur. Sungai kayan atau Sungai Bulungan yang mulai bercabang di sekitar Tanjung Palas menumpahkan airnya ke laut melalui muara yang banyak sekali jumlahnya. Namun hanya ada dua yang penting bagi pelayaran yaitu Muara Makaban dan Muara Salimbatu. Alur utama adalah Muara Makaban yang menjadi pintu masuk ke Tanjung selor, Ibu kota kabupaten sekaligus pusat perdagangan daerah Bulungan. Muara Salimbatu adalah jalan terdekat untuk berlayar dari Tanjung selor ke pulau Tarakan. Berhadapan dengan Muara Salimbatu adalah Lingkas, pelabuhan penting di pulau Tarakan.

Saat ini Tarakan termasuk kota terbesar diwilayah ini, namun pada Abad XIX ketika sumber minyak disini belum ditemukan dan belum menjadi bahan bakar penting, pusat kegiatan ekonomi adalah Tanjung Selor ditepi sungai Bulungan (sungai kayan) yang terletak diseberang Tanjung Palas, tempat kedudukan Sultan Bulungan”).

Surat Wasiat Sang Saudagar.

Saya merasa beruntung karena diperbolehkan oleh salah seorang sesepuh masyarakat keturunan arab untuk mendokumentasikan beberapa koleksi sejarah dokumen-dokumen penting mengenai sejarah mesjid Al-kaff di Bulungan ini.

Sejarah Mesjid Al-Kaff saat yang ada saat ini tidak lepas dari kisah wakaf saudagar berketurunan Arab yang bernama Sayyid Akhmad Bin Mukhsin Al-Kaff, berawal dari keperhatinan beliau terhadap kondisi mesjid yang sudah tidak muat lagi menampung banyak jemaah shalat fardu, selain itu dimasa beliau hidup, shalat Jum’at hanya dilangsungkan di mesjid Ibu kota kesultanan di Tanjung Palas, sehingga agak merepotkan jemaah yang ada diperkampungan Tanjung Selor.



[pembaringan terakhir Sayyid Akhmad Bin Mukhsin Al-Kaff]

Atas dasar inilah Sayyid Akhmad bin Mukhsin Al-Kaff menghadap Sultan Kaharuddin II meminta izin mendrikan mesjid baru di luar kota raja, Sultan kemudian memberi izin yang dilampirkan secara resmi dalam surat yang langsung ditanda tangani oleh beliau:

(“…Bahwa oleh kita Seri Paduka Tuan Sultan Muhammad Kaharuddin jang mempunjai tachta keradjaan didalam kandang daerah negeri Bulongan dan Tidung memberi surat keterangan ini izin dan permisi pada Sd. Achmad bin Mohsin Alkaff akan mendirikan satu mesdjid diseberang di-Tanjung Selor dikampung dagang akan di buat wagaf mendirikan sembahjang djumat dan sembahjang Hari Raja diatas tanah watasan Sd. Achmad bin Mohsin Alkaff tiada tersangkut satu apa2 kepadanja itulah adanja.
di-Bulongan kepada hari Bulan Muharram 1302.

d.t.t. Sultan Muhammad Kaharuddin.)

Mesjid Ahmad Al-kaff, begitulah dulu orang menyebutnya. Dibangun pada masa pemerintahan Sultan kaharuddin tahun 1886 M / 1304 H. Mesjid ini dihibah oleh Said Ahmad Al-kaff, “karena Allah ta’ala dan karena Rasulullah” begitulah ucapan beliau, pada tanggal 1 bulan Rabiul Akhir 1304 Hijriyah bersamaan dengan tanggal 27 bulan Desember Tahun 1886, selang beberapa tahun setelah izin resmi diberikan Sultan Kaharuddin II. Setidaknya itulah yang diketahui pada surat wakaf yang ditulis oleh Said Ahmad bin Muchsin Al-Kaff sebelum berpulangnya kerahmatullah. Surat keterangan berupa pendirian mesjid yang ada pada kita saat ini hanya duplikatnya saja, sedangkan tulisan yang asli dalam aksara arab melayu sudah tidak ditemukan lagi.

Dalam surat wakaf tersebut itu tertulis sebagai berikut:

(“...Di-Bulongan pada 1 hari bulan Rabiul akhir, tahun 1304. bahwa saja Sd. Achamad bin Mohsen Alkaff telah mengaku serta saja lafadzkan dengan saja punja lidah jang saja mewakafkan satu mesdjid serta tanahnja dan apa2 jang ada diatas itu tanah telah mengaku saja Sd. Achmad bin Mohsin Alkaff jang saja sempurna akal dan baik badan dan tiada terpaksa satu mesdjid djami’ jang telah mashur di-Tandjung Selor jang saja dirikan diatas tanah jang dibeli pada Hadji Abdulkarim bin Hasanuddin orang Bandjar jang tersebut dalam ini surat jang saja telah wakafkan jaitu dari tepi djalan sebelah darat terus membawa kedarat Pandjangnja 1000 kaki dan lebarnja dilaut 66 kaki dan lebarnja didarat 72 kaki dan disebelah ilir itu tanah wakaf, tanah Sjech Ali Bakeran dan disebelah ulunja tanah Abu Jamin dan apa2 jang terkandung diatas itu tanah dari rumah dan pohon2 dan mesdjid dan apa jang terlekat dari tiang2 dan pintu2 dan djendela2 dan perkakas2 seperti tikar dan lampu2 dan tempat2 air jaitu semuanja apa jang tersebut telah saja wakafkan karena Allah Taala dan Rasulullah dan karena sekalian islam wakaf jang kekal sampai hari kiamat tiada boleh di djual dan digadaikan dan tiada boleh mendjadi pusaka sekali2 dan jang kuasa diatas itu saja sendiri tempo saja ada didalam hajat dunia nanti dibelakang saja siapa sadja jang dipilih orang banjak jang patut memelihara itu mesdjid dari pada orang islam.

Maka waktu saja mengeluarkan perkataan wakaf dari saja punja lisan saja dalam sehat badan sempurna akal dan tiada terpaksa sekali2 dengan suka hati saja sendiri dimuka saksi2 jang tersebut dibawah ini

WAKAFA BILLAHI WALLIJAN WAKAFA BILLAHI SJAHIDAN.

Sd. Achmad bin Mohsin Alkaff .

Saksi2.
No. 1. Sd. ‘Umar bin Al ‘Idrus.
2. Sd. Abdullah bin Alwier Alkaff.
3. S. Salim bin Said Bamahsun.

Bovenstande handtoekeningen zijn gesteld
Zegeninvoordigneid van mij.
Contreleur. Te Bulongan
d.t.t
tidak terbatja.)

Sayyid Akhmad Bin Mukhsin Al-Kaff memang sudah tiada, tapi sejarah yang tulisnya masih bisa kita kenang sampai hari ini, begitulah riyawat singkat sejarah mesjid Al-kaff dan pendirinya dalam satu epiisode, semoga Allah SWT menempatkan beliau dalam tidur panjangnya yang damai.

Sumber:
Copy Salinan Surat Wakaf Said Ahmad bin Mohsen Al-kaff tentang Wakaf Mesjid Tandjung Selor / Al-Kaff (Al-Hidayah Tanjung Selor) 1 Rabiul Akhir 1304 H (27 Desember 1886). Disalin dari surat aslinya yang bertuliskan huruf arab melayu dan berbahasa melayu kedalam tulisan latin bahasa indonesia oleh Ustadz Mahfud Ghodal pada 15 Agustus 1951. Dokumen koleksi pribadi Said Mohammad Al-Jufri.

Copy Salinan Surat izin mendirikan mesdjid di-Tandjung selor dari Sultan Muhammad Kaharuddin, Bulan Muharam tahun 1302 H (Oktober 1884). Disalin dari surat aslinya yang bertuliskan huruf arab melayu dan berbahasa melayu kedalam tulisan latin bahasa indonesia oleh Ustadz Mahfud Ghodal pada 15 Agustus 1951. Dokumen koleksi pribadi Said Mohammad Al-Jufri.

L. W. C. Van den Berg. Le Hadhramoth et Les Colonies Arabes Dans L’ Archipel Indiens, diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat dengan judul Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara (Jakarta: INIS 1989. Seri INIS Jilid 3, 156 Halaman; 24,5 cm) hal. 70.

Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.

Adrian B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Jakarta, Komunitas Bambu, Agustus 2009.

Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Arab di Bulungan, Said Muhammad Al-Jufri tgl 26 November 2008).

Hijri Gregorian Konventer. By Adel A. Al-Rumaih, 1996-1997.

Tuesday, March 1, 2011

Sejarah Bioskop di Bulungan.


(bekas Bioskop Gembira yang kemudian menjadi Penginapan Harapan kita)

Mungkin agak aneh bagi sebagian orang yang biasa membaca artikel saya tentang sejarah Bulungan, tiba-tiba kemudian akan disuguhkan dengan sesuatu yang asing macam sejarah bioskop, life style, mode dan sebagainya, yang dianggap tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah bulungan.

Memang sejarah Bulungan dewasa ini terasa lebih banyak membahas “Grand History” seperti kehidupan Kesultanan Bulungan, terlebih pada kajian politik, diplomatik dan kasus-konspirasi yang pernah mewarnainya, inilah yang cendrung menjadikan kajian itu yang terasa lebih berat. Saya akan membawa kawan-kawan sedikit rileks dengan mengetengahkan sejarah kecil atau “Litle History” yang lebih banyak bercerita tentang kehidupan keseharian masyarakat bulungan yang lebih ringan dan “renyah” untuk di telan.

Kali ini kita kan berkelana membahas bagaimana sejarah bioskop di Bulungan? ada baiknya saya akan merefresh ingatan kawan-kawan mengenai sejarah bagaimana bioskop bisa masuk berkembang di Indonesia.

Selayang pandang sejarah Film dan Bioskop di Indonesia 1920-1930 an.


Seperti yang kita ketahui sejarah keberadaan bioskop di Indonesia tidak lepas dari keberadaan dunia industry film yang memayunginya, tercatat dalam sejarah, Bioskop pertama di bangun di Paris ibukota Prancis tahun 1895 dan di Hindia Belanda alias Indonesia sekarang, pada Desember 1900 di putar film pertama di Batavia, dulu orang tidak menyebutnya film, tapi “gambar Idoep”. film-film ini diputar dibioskop-bioskop seperti Orion Bioscoop atau Oriental Bioscoop dikenal juga dengan nama Majestic yang tak lain adalah bioskop pertama di Hindia Belanda.


(Haji Umar Al-Amrie disamping proyektor Bioskop kebanggannya)

Produksi film pertama di Indonesia itu dimulai pada tahun 1926 kawan, judulnya “Loentoeng Kesaroeng” produksi Java Film Co milik orang Belanda L. Heuveldrop. namun film yang produksi asli anak bangsa adalah film “Terang Boelan” pada tahun pada 1937, setelah itu mulailah menjamur industri film dan semakin mempopulerkan produser film, actor-artis dan sutradara-sutradara berbakat macam Wong Bersaudara, Teng Coen, Rd Moechtar, Roekiah, Usmar Ismail, Soerdjasoemanto, Hamidy T. Djamil dan sebagainya.

Sebelum masa kemerdekaan ada beberapa film yang produksi dan di tonton kala itu, seperti Sejarah mencatat, pelopor film bersuara dalam negeri adalah Atma de Vischer yang diproduksi oleh Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung. Menyusul Eulis Atjih (masih dari produser yang sama). Setelah kedua film ini diproduksi, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film lainnya seperti: Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Co (semarang) yang memproduksi Setangan Berloemoer darah.

Menyusul Resia Boroboedoer, Nyai Dasima (film bicara pertama, tahun 1932), Rampok Preanger, Si Tjomat, Njai Siti, Karnadi Anemer Bengkok, Lari Ka Arab, Melati van Agam, Nyai Dasima II dan III, Si Ronda dan Ata De Vischer, Bung Roos van Tjikembang, Indonesia Malasie, Sam Pek Eng Tay, Si Pitoeng, Sinjo Tjo Main Di Film, Karina`s Zeffopoffering, Terpaksa Menikah (film berbicara-musik) dan Zuster Theresia.

menariknya menurut Alwi Shabab, dalam rentang waktu itu (1926 - 1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskopun ikut meningkat dengan pesat. Majalah film pada masa itu, Filmrueve , hingga tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskop-bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga di kota-kota kecil seperti: Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.


(tangga menuju balkon bioskop)

Pada periode 1933-1936 sebelum kemunculan “Terang Boelan”, perfilman Hindia Belanda sempat diwarnai kisah-kisah legenda Tiongkok, di antaranya: Delapan Djago Pedang, Doea Siloeman Oelar, Ang Hai Djie, Poet Sie Giok Pa Loei Tjai, Lima Siloeman Tikoes, dan Pembakaran Bio.

Sejarah “Bioscoop” di Bulungan.

Nah kemunculan bioskop di Bulungan tidak lepas dari kebutuhan hiburan bagi masyarakat waktu itu, jaman dulu sebelum ada bioskop di Bulungan, hiburan sejenis memang sudah ada, orang dulu menyebutnya “Mamanda Boeloengan” atau “ Doel Moeloek” semacam “Toenil Melajoe” namun lebih sederhana, hiburan jenis ini sudah ada di bulungan, khususnya di Tanjung Selor dan Tanjung Palas sekitar pertengahan abad 19 M.

Pemilik Bioskop zaman itu adalah Haji Umar Al-Amrie, atau lebih dikenal dengan nama Pak Umay (67 th), orangnya bersahaja, saya diberi kesempatan yang sangat berharga untuk menyelami sejarah Bioskop di Bulungan. Beliau adalah salah seorang Pengusaha tulen asal Kampong Arab yang sempat terjun ke dunia bisnis bioskop, yang zaman dulu lebih banyak di kelola orang Chinese.


(Bioskop pertama di Tanjung Selor, foto tahun 1977)

Bangunan bioskop pertama ada di Tanjung Selor, menurut penuturan Haji Umar Al-Amrie, bangunan tersebut dulu dibeli pemerintah dizaman akhir Kesultanan Bulungan, bangunannya sendiri bernama “Keng Kie”, jadi umur bangunan bioskop itu memang sudah sangat lama mungkin dibangun sekitar tahun 1940 atau 1950-an.

Bioskop pertama bernama Bioskop Sungai Kayan, Pak Umay memulai kisahnya, bangunan itu di buka pada tahun 1972 oleh seorang Chinese dengan bantuan pemerintah Kabupaten Bulungan melalui yayasan Dharma Wanita, kemudian dijual kepada beliau dan ditukar nama menjadi Bioskop Gembira pada tahun 1975.

Dimasa itu adalah masa jaya-jayanya bioskop di Bulungan, Tanjung selor. Bangunan Bioskop mampu menampung kurang lebih 300 penonton dalam sekali tayang. di era itu, banyak muda-mudi Bulungan menghabiskan waktunya untuk menonton film di bioskop. sehingga tidak jarang ada semacam istilah “tidak malam mingguan kalau tidak ke Bioskop”, begitulah kondisi di kota kecil macam Tanjung Selor pada masa-masa itu.

Jadual bioskop cukup padat, dalam sehari ada dua kali penayangan, yaitu antara pukul 04.00 sore hingga mendekati magrib jam 07.00, kemudian dimulai lagi dari jam 09.00 malam hingga selesai. rata-rata peminat film memang beragam namun paling banyak adalah Film Amerika, Film Mandarin khususnya film Kung fu, kemudian Film India dan Film Indonesia. Rentang waktu film tersebut antara satu setengah hingga dua jam cuma film India yang paling lama bisa sekitar dua setengah hingga tiga jam. artis-artis yang banyak ditunggu-tunggu seperti H. Rhoma Irama, Roy Marten, Arrafiq, Amitha Bachan, Mithun Cakrabothi, Bruch Lee, Sammo Hong dan sebagainya


(Balkon bioskop, penonton dapat pula menonton film dari atas)

Perputaran roll film biasanya dari pulau jawa (Jakarta atau Surabaya) singgah ke Balikpapan terus ke Tarakan, lalu ke Tanjung selor, dari sini roll kemudian diantar ke Barau, kemudian dilayarkan lagi ke Balikpapan dan kembali ke jawa. diantara waktu-waktu jeda itu dibuatlah reklame-reklame untuk menceritakan sepintas mengenai isi cerita dan tentu saja untuk menarik minat penonton.

seperti yang saya ceritakan sebelumnya, Bioskop gembira mampu menampung lebih dari tiga ratus orang, selain itu didalam bioskop juga terdapat balkon jika ada penonton yang ingin menonton di atas, menariknya baik penonton yang duduk di bawah maupun di atas balkon tarif karcis tetap sama Rp. 500 dalam sekali tayang, jadi tidak seperti saat ini ada istilah VIP yang dizaman Belanda dulu disebut Loge. Dulu di bisokop ini dipekerjakan empat orang oleh Pak Umay untuk membantu menjalankan roda bisnisnya.


(mesin proyektor merk "Philps" yang di klaim pemiliknya masih sanggup memutar roll film dan hanya perlu sedikit perbaikan saja, kini disimpan baik oleh H. Umar Al-Amrie sebagai kenang-kenangan keberadaan bioskop di bulungan)

Dizaman Bupati Kol. Soetadji memperluas kota Tanjung Selor yang kemudian kita kenal dengan kawasan Skip II, bioskop juga di bagun dikawasan depan Hotel Crown sekarang, namanya Bioskop Gembira II, bioskop ini mampu menampung lebih besar lagi yaitu 600 penonton bahkan lebih, jadi bisa dibayangkan bagaimana perkembangan usaha bioskop dimasa-masa jayanya itu.

Bioskop sendiri mengalami kemunduran, seperti yang di utarakan oleh Haji Umar Al-Amrie sendiri, penyebabnya antara lain masuknya Televisi dalam kehidupan modern orang di Bulungan, sehingga sedikit demi sedikit penontonnya menurun sehingga kemudian sekitar tahun 90-an bioskop tinggal namanya saja.


(Bioskop Gembira II dikawasan Skip II)

Bioskop Gembira dan Gembira II mengalami nasib yang sama dengan bioskop lainnya pada waktu itu, saat ini Bioskop Gembira sudah berubah nama menjadi penginapan Harapan Kita, namun jejak sejarahnya masih bisa kita lihat sampai saat ini, khususnya di penginapan Harapan Kita, kawan-kawan masih bisa melihat proyektor yang masih cukup bagus bermerk “Philips”, kursi-kursi bioskop tempo dulu maupun tangga kayu menuju balkon bioskop, masih natural belum banyak yang berubah sampai hari ini. mungkin Haji Umar Al-Amrie masih ingin mengenang kenangan era kajayaan bioskop Bulungan yang pernah membesarkan namanya itu. sekaligus mengingatkan kita bahwa sejarah Bioskop di bulungan itu memang ada.