Monday, October 17, 2011

Menengok Gusti Sholihin mengenang Datuk Aziz Saleh Mansyur (Dasman).


Sketsa wajah Gusti Sholihin dibuat tahun malam pergantian tahun 1947-1948, sampai hari ini masih tersimpan rapi

Waktu itu cuaca sedang cerah-cerahnya, saya kebetulan berada di Banjar Baru saat itu, -karena tak jauh dari kost adik yang baru saja akan mengenyam pendidikan kuliah disana-, saya menyempatkan diri mengunjungi Museum Daerah Kalsel yang terkenal itu, mungkin sekitar 10 menit dari kost yang saya tumpangi dengan berjalan kaki,  tak apalah sedikit berhemat sekaligus badan jadi sehat.

Museum ini sebenarnya bukan hal baru bagi saya, karena dahulu saya sempat kuliah di Banjarmasin, namun kali ini ada hal yang menarik bagi saya begitu memasuki ruang galeri Gusti Sholihin, seorang pelukis kelahiran Kalsel yang harum namanya, konon berbekal sedikit uang dan modal nekat, Gusti Sholihin memulai hidup sebagai pelukis di Jogjakarta, salah satu karya lukis potret diri yang dibuatnya menyebutkan bahwa ia datang bertepatan pergantian waktu malam tahun 1948.

Saya memang menyuka seni, lukisan-lukisan karya almarhum membuat saya betah berlama-lama di ruangan yang hening ini, kalau dihitung-hitung mungkin karya almarhum kurang lebih ada 50-an buah yang berhasil di boyong keruangan tersebut, seorang penjaga galeri yang kebetulan mampir mengatakan bahwa almarhum merupakan salah seorang pelukis yang amat dibanggakan masyarakat kalsel, saya bisa menangkap jelas suasana tersebut, bagaimana tidak pelukis legendaris ini tidak hanya memotret Indonesia melalui lukisannya di tanah Jawa (Jogjakarta) dan Bali saja, ia juga sempat melanglang buana melukis keindahan kota Sao Poulo nun jauh di Brazil sana sekitar tahun 1950-an.

Konon sesama pelukis seangkatan beliau sempat tidak setuju maha karya almarhum yang tak ternilai harganya ini di boyong dari Jogjakarta ke Banjarmasin ketika pelukis legendaris itu tutup usia, mereka khawatir karya  tersebut hanya menjadi pengganjal pintu di gudang atau tak terawat dan teronggok lesu disengat panas matahari, saking besarnya cinta mereka terhadap almarhum dan warisan berharga yang ditinggalkan olehnya, tapi apa mau di kata rakyat kasel juga bersikeras ingin memboyong lukisan-lukisan legendaris milik sang maestro karena disanalah asal tanah leluhurnya. Kabarnya begitu alot negosiasi, butuh waktu yang lama dan kerja keras untuk memboyong lukisan-lukisan tersebut sekaligus meyakinkan kawan-kawan seangkatan almarhum bahwa lukisan-lukisan ini terpelihara dengan baik dalam galeri yang telah disediakan oleh Museum Daerah Kalsel di Banjar baru.

Akhirnya, ketemu juga dengan Gadis Rio

Lukisan-lukisan ini memang cantik bukan buatan, diantara banyak karya yang lahir dari goresan tangan almarhum saya paling menyukai karya saat beliau ada di Sao Paulo dan pulau Dewata, Bali. Gadis Rio dan dan Ngaben di Bali, adalah yang saya senangi.

Lama saya perhatikan lukisan-lukisan ini membuat saya terkenang kembali dengan pelukis legendaris asli Bulungan, Datuk Aziz Saleh Mansyur atau yang lebih dikenal dengan nama kuasnya DASMAN. Saya memang tidak mengenal beliau secara langsung, namun hanya mengenal almarhum dari hikayat yang dikisahkan orang terdekat almarhum hingga karya berharga yang ditinggalkan oleh sang empunya.

Datuk Aziz Saleh Mansyur memang seniman yang serba bisa, tidak hanya hebat dalam melukis tapi juga paiawai dalam mengukir dan pandai menggubah syair sekaligus mahir memetik gitar, sebuah komposisi seniman yang jarang ada. Saya amat menaruh hormat terhadap apa yang dicapai oleh beliau, pembawaannya tenang dan bersahaja tapi kaya dengan kreasi dan ide-ide yang brilian, kita mungkin tak menemukan orang seperti beliau dalam 10 bahkan hingga 20 tahun kedepan.

Gusti Sholihin dan Datuk Aziz Saleh Mansyur adalah dua orang seniman yang masing-masing mewakili zamannya. Sama-sama terlahir sebagai seorang bangsawan namun keduanya mengambil jalan yang tak populer bagi sebagian orang dimasyarakatnya, menjadi seorang seniman. 

Senja di Tanjung Batu, salah satu karya Alm. Datuk Aziz Saleh Mansyur yang berhasil saya abadikan

Seni rupanya sama-sama merayap dan merasuki kehidupan sekaligus memberikan gairah hidup dengan beragam ide dan karya yang meluap-luap bagi mereka. Seni menjadi pencapaian yang terkadang tak dimengerti oleh sebagian orang disekitar mereka, tapi itulah hidup. Bagi mereka seni bukan sekedar kegemaran waktu luang tapi menjadi filosofi dan pandangan hidup mereka terhadap apa yang terjadi disekeliling mereka. sebuah lukisan terkadang bisa memiliki ragam cerita dan menjadi sebuah memori mengenai sejarah hidup anak manusia.

Sepi mulai merayap ketika saya sadari saya telah sendirian di ruangan itu, senyapnya ruangan galeri menyadarkan saya bahwa ada sesuatu yang terasa kurang. Saya merasa betapa beruntungnya Gusti Sholihin karena karya-karyanya masih terus dapat disaksikan dan dikenang oleh anak cucu, kerabat serta masyarakat kalsel, berbeda dengan Datuk Aziz Saleh Mansyur, sebiji galeripun tak ada untuk memajang karya-karyanya yang tak ternilai harganya itu. Dalam sepi yang kian membalut, miris hati saya rasanya mengingat hal itu. Menengok Gusti Sholihin ternyata membuat saya mengenang kembali Datuk Aziz Saleh Mansyur, seniman Bulungan yang sulit dicari tandingannya.

Foto: koleksi pribadi.

Saturday, October 15, 2011

Orang Arab dan Hikayat Segelas Kopi di Bulungan.

Ilustrasi sekelompok masyarakat Arab sedang membuat kopi

“Antum tahu tidak kenapa orang Arab (Hadrami) suka minum kopi? Itu tidak sembarangan, ada sejarahnya,” begitulah kata Habib Husein Al-Aydrus sahabat saya mulai membuka kisah, menurut habib muda ini, kopi pertama kali muncul di Hadramaut ditemukan oleh Syekh Ali bin Umar Asy-Syazili. Itulah awal pertemuan saya dengan sejarah kopi dan hubungannya dengan masyarakat Arab.

Apa yang dikatakan oleh Habib Husein nampaknya memang bukan sekedar isapan jempol belaka, saya memiliki beberapa teman orang Arab di Bulungan yang rata-rata bila saya perhatikan memang lebih suka memilih kopi daripada minuman lainnya.

Meminum kopi memang selera masing-masing orang, namun kopi ternyata punya sejarah panjang yang melekat pada tiap lelaki keturunan Arab di Bulungan, kopi bukan sekedar minuman, tapi menjadi “social drink” bagi mereka, seperti kata sahabat saya itu, kopi memang punya sejarahnya tersendiri bagi orang Arab dimanapun begitu juga di Bulungan.

Sejarah kopi dalam secangkir gelas.

Bila membuka hikayat kopi dalam kebudayaan masyarakat Arab dalam hal ini orang Yaman (Hadrami), kita akan menemukan catatan sejarah yang menarik, konon walaupun biji kopi dikatakan ditemukan di Etiopia (Abnessyia), namun budi daya biji kopi dalam perkebunan luas ada di daerah Yaman setidaknya sejak abad ke-6 masehi.

Kopi dalam istilah masyarakat Hadrami atau Arab yaman disebut Qohwa, namun bila dilisankan mereka senang menyebutnya dengan nama Gahwa. Dalam tradisi lisan masyarakat Hadramaut kopi konon ditemukan oleh Syekh Ali bin Umar Asy-Syazili atau yang lebih dikenal dengan Syekh Asy-Syazili saja, seorang wali yang makamnya dianggap keramat di Mokha, itulah sebabnya terkadang bila meminum kopi orang Arab di Hadramaut senang mengenangnya, karena sang Syekh dianggap orang yang menemukan cita rasa kopi sebagai sebuah minuman.

Selain Syekh Asy-Syazili, sebenarnya ada lagi seorang sufi yang namanya juga dihubungkan dengan dengan sejarah kopi dalam masyarakat Hadramaut yaitu sufi Ali Bin Omar yang menjadikan rebusan kopi sebagai obat penyakit kulit dan obat-obatan lainnya. Sehingga pada waktu itu kopi mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat negeri itu.

Kopi kemudian menjadi minuman penting setelah orang Arab menemukan cara yang pas untuk menyajikannya, bisa dikatakan orang Arablah yang merevolusi cara menyajikan dan menikmati kopi, sebelumnya kopi dinikmati tidak dengan cara disedu untuk minuman, melainkan dimakan dengan cara dibungkus dengan lemak binatang.

Ada semacam tradisi unik dikalangan masyarakat Hadramaut tempo dulu, disana kopi biasanya dinikmati diantara dua waktu makan, biasanya bila seorang hendak berkunjung ke rumah salah seorang sahabat atau bila ada tamu yang datang, maka diadatkan untuk membawa beberapa biji kopi di dalam sorban atau dalam radi, sang tuan rumah akan mengumpulkan biji-biji kopi tersebut untuk dinikmati bersama.

Tak butuh waktu yang lama kopi menjadi semacam minuman kesukaan orang Islam, konon dimana ada agama Islam disebarkan baik diwilayah Turki, negara-negara Balkan, Spanyol, dan Afrika Utara kopi juga ikut tersebar, sehingga sempat timbul semacam pelabelan bahwa kopi itu minumannya orang muslim.

Menurut sejarahnya kedai kopi terkenal di zaman kesultanan Turki muncul di tahun 1453, kopi disana sebut dengan nama Qahveh, kedai kopinya adalah Kiva Han, konon itu kedai kopi pertama di dunia.

Kopi sendiri sudah lama dikenal dalam literatur medis kaum muslim, ada beberapa ilmuan islam menulis tentang minuman ini, sebut saja diantaranya Al-Razi di abad ke-9, menjadi orang pertama yang menyebut kopi dalam tulisannya dengan memasukkan kata bunn dan sebuah minuman bernama buncham, dalam ensiklopedi tentang zat-zat yang dipercaya menyembuhkan penyakit. Sayangnya, karya ini telah musnah. Sementara pada abad ke-11, Ibnu Sina mengatakan bunchum dapat “membentengi tubuh, membersihkan kulit, dan mengeringkan kelembaban di bawahnya, serta memberikan bau yang enak untuk tubuh”.

Bangsa Eropa sendiri kabarnya baru merasakan harumnya kopi di abad ke -17, setidaknya seperti itulah yang disebutkan Claudia Rosen dalam bukunya Coffee, ia menceritakan bahwa baru pada 1615, saat para pedagang Venesia membawanya ke Eropa, kopi segera menggebrak seisi benua tersebut. Konon di Italia gereja sempat menghawatirkan beredarnya minuman yang mereka sebut “temuan pahit setan” dan meminta Paus Clament VIII melarang peredarannya. Bukannya melarang, Paus justru tersedak dengan cita rasa kopi yang kuat, baginya kopi sayang sekali jika hanya menjadi minuman ekslusif orang muslim saja, sejak itu kopi tak terbendung lagi Eropa bahkan dibelahan dunia manapun.

Hikayat kopi dalam masyarakat Bulungan.

Sejak kapan kopi masuk ke Bulungan? Kita tentu tak mampu menjawabnya dengan pasti, namun diperkirakan saat kedatangan orang-orang Arab yang menetap di Tanjung Selor abad-18 M, mereka juga nampaknya membawa kebiasaan meminum kopi yang tak lain merupakan istiadat mereka di tanah leluhur, bisa jadi kopi jadi terkenal sejak itu dimasyarakat kita. Di dalam masyarakat Bulungan sendiri, kopi disebut dengan istilah "kawa" yang disinyalir kuat berasal dari bahasa Arab yakni Qohwa atau Gahwa yang tak lain artinya adalah kopi itu sendiri 

Sejak zaman Belanda kedai kopi sudah ada dikampung-kampung biasanya kopi disajikan dengan cemilan ringan sepert wadai atau kue-keu basah, walau jumlah mungkin tak seramai di Tanjung Selor. Dikota pelabuhan kecil ini, kedai kopi kebanyakan yang mengelolanya justru adalah para pedagang Tionghoa.

Kopi bahkan masuk daftar barang perdagangan yang paling laku di bandar dagang Samarinda, yang tak lain merupakan salah satu bandar perdagangan yang disinggahi para pedagang Arab di Bulungan untuk mengambil kopi lalu diperjual belikan di Tanjung Selor. Menurut catatan perdagangan pantai timur Kalimantan milik J. Zwager tahun 1853, harga kopi perpikulnya bisa berkisar antara f 30. Hingga f. 90. Kopi-kopi ini didatangkan dari Makasar dan Jawa. Selain kopi mereka juga membawa gula, garam, dan juga beras dan berbagai kebutuhan lainnya.

Kebanyakan dari pengusaha Arab saat itu bergerak dibidang bongkar muat kapal. Armada-armada dagang milik mereka di zaman itu memiliki nama yang indah-indah, sebuat saja diantaranya Sayyid Ahmad bin Muchsin Al-Kaff yang dahulu memiliki kapal bernama "Sri Mahraja", ada juga kapal milik Sayyid Abdullah bin Muchsin Al-Jufri yang bernama "Sri Bulungan", kapal seperti ini hanyalah contoh kecil dari kapal-kapal dagang pengusaha Arab yang pernah jaya di Bulungan tempo dulu.

Menariknya kopi ternyata punya tempat tersendiri bagi masyarakat Bulungan, minuman ini bukan sekedar menjadi pelepas dahaga saja saat berkumpul dengan kawan dan kerabat, tapi juga punya makna yang mistis.

Disarankan bila hendak memulai suatu hajat atau kerjaan di hutan atau di laut, kopi dianjurkan untuk diminum, atau jika tak sempat bubuk kopi di sentuh atau diletakan sedikit di ujung lidah, “sekedar merasa saja” begitulah istilahnya, disinilah letak sisi magis dari bubuk kopi, ia juga masuk lima besar bahan pangan yang wajib untuk sentuh sebelum melakukan sebuah hajat atau perjalanan jauh selain gula, garam, nasi dan ketan agar terhindar dari kepuhunan yang dalam kepercayaan sebagaian orang di Bulungan dapat membawa jalan pada kecelakaan bahkan kematian.

Demikianlah sedikit catatan sejarah mengenai hikayat secangkir kopi, selamat menikmati. (dihimpun dari berbagai sumber).

Sumber:
Abdullah, Dr Taufik. 1985.“Sejarah Lokal di Indonesia Kumpulan Tulisan”. Jakarta : Gajah Mada University Press.

L.W.C. van den Berg, “Orang Arab di Nusantara”, Jakarta (Depok) : Komunitas Bambu, April 2010.

http://www.majalah-historia.com/berita-505-ritual-ngopi.htm

http://sumpek.wordpress.com/2008/09/16/mitos-dan-sejarah-kopi/

http://rumahkopi.weebly.com/2/post/2011/08/sejarah-kopi.html

http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com/2011/03/27/sejarah-kopi/

http://towerkopi.blogspot.com/2010/03/history-of-coffee.html

Thursday, October 13, 2011

Mengangkat lagi kepermukaan, Sejarah Kapal Selam di Front Tarakan.

Kapal selam K-X, salah satu yang pernah di tugaskan di perairan Tarakan semasa Pasifik pecah

Sebuah berita gembira saya baca beberapa waktu yang lalu, indonesia akan menambah lagi 3 armada kapal selam dari pabrikan "Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering Co Ltd" (DSME) yang dilakukan dalam bentuk joint production Indonesia-Korsel. Indonesia sendiri akan merancang kapal selam setelah melakukan Transper of Teknologi (TOT) dari korsel yang dimulai tahun 2020.

Changbogo class demikian nama yang diemban kapal selam paling mutahir TNI AL yang direncanakan bertugas sekitar tahun 2012 ini. Kapal selam ini memiliki berat 1.500 Ton, walau disebut Type 209 namun teknologi persenjataan yang diusungnya adalah Type 214, ini membuat kemampuan kapal selam terbaru ini tak kalah dengan kepal-kapal selam lainnya, Korea sendiri mendapat lisensi langsung Jerman yang tak lain adalah datuknya kapal selam dalam sejarah.

Saat ini Indonesia sudah memiliki dua buah kapal selam pabrikan Howaldtswerke, Kiel, Jerman Barat sejak 8 Juli 1981 –sebelumnya di era Bung Karno kita memiliki 12 kapal selam kelas Whiskey tahun 1960-an dari Rusia-, kedua kapal selam kebanggaan negara saat ini yakni KRI Cakra 401 dan Nenggala 402, kemampuan dan persenjataan keduanya sendiri telah ditingkatkan, KRI Cakra sendiri sudah bertugas setelah mengalami Repowering begitu pula KRI Nenggala yang telah melakukan Overhoul di pabrikan yang sama menelurkan Changbogo class, "Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering Co Ltd" (DSME), Korea Selatan. 

Kabarnya, kapal-kapal selam mutakhir ini juga akan di operasikan disekitar perairan selat Makasar, khususnya disekitar perairan Tarakan dan Ambalat, konon penempatan ini tak lain untuk menyambut dua buah kapal selam baru negara sahabat, - KD Tun Abdul Razak dan KD Tun Abdul Rahman yang sebelumnya sudah berpangkalan di Teluk Sepanggar, Sabah, - Bila seandainya dua buah Scorpene class itu ingin melakukan kunjungan “silaturahmi” di perairan Indonesia. 

Saya jadi teringat kisah pengoperasian kapal selam di perairan Tarakan sebelum indonesia merdeka, kapal selam rupanya punya sejarah tersendiri di front Tarakan, kisah mengenainya hampir terlupa oleh sejarah, tak ada salahnya kita angkat kembali kepermukaan, menjadi sebuah pelajaran bagaimana pentingnya sebuah pertahanan yang handal bagi negara ini.

Sub Marine Tipe Kolonie, Monster Bawah Laut Sekutu di Front Tarakan.

Hindia Belanda semasa “diasuh” oleh Holand, merupakan termasuk negara koloni yang lamban memodernasi alat utama sistem senjata yang dimilikinya, banyak peralatan yang digunakan merupakan produk kelas dua dari pabrikan Amerika maupun tinggalan perang dunia pertama. Namun pemerintah Kolonial Hindia-Belanda nampaknya boleh bangga karena mereka memiliki sejumlah kapal selam dimasa itu yang sempat dioprasikan semasa pecah perang pasifik.

Menurut catatan sejarah, kapal selam hindia belanda jumlahnya cukup banyak, diantaranya adalah K-VIII, K-IX, K-X, K-XVIII, K-XVII, K-XV, K-XIV, K- XIII dan K- XII, istilah “K” sendiri mengacu pada nama Kolonien. Kapal-kapal selam ini dulunya sebelum diberangkatkan ke Hindia Belanda sempat berpangkalan di galangan kapal Rotterdam, kemudian sejak 1934 beberapa kapal selam tersebut telah ditempatkan di Nieuwediep (Belanda). 

Kapal selam ini dibuat di galangan kapal Rotterdamse Droogdok Maatschappij, Rotterdam, serta didesain oleh orang Belanda sendiri JJ van der Struyff, B.Sc. 

Pada tanggal 7 pebruari 1934, kapal-kapal selam ini berangkat menuju Hindia belanda dengan mengambil rute melalui Lisbon, Cadiz, Palermo, Port Said, Suez, Aden dan Kolombo. Kemudian pada tangga 12 Apr 1934, Kapal selam tiba di Padang dan dilayarkan ke pangkalan angkatan laut di Surabaya.

Kiprah kapal selam ini mulai muncul kepermukaan setelah tanggal 19 Nov 1941, Submarine Divisi III yang terdiri dari K-XIV, K-XV dan K XVI berangkat dari Surabaya menuju Tarakan. Sejak tanggal 22 November, kapal-kapal ini sudah meronda disekitar perairan Tarakan.

Kekuatan kapal-kapal selam ini dibagi-bagi lagi, pada 8 Desember 1941 di malam hari, ada Perintah kepada Submarine Divisi III untuk membentuk garis piket Utara-Barat 'Stroomenkaap' dalam rangka untuk menutupi pintu masuk utara ke Selat Makassar. Dari posisi ini kapal-kapal selam itu juga bisa digunakan untuk pertahanan Tarakan (Kalimantan).

Mata-mata Jepang rupanya juga mengetahui, posisi pulau Tarakan hanya dipertahankan segelintir kapal selam yang selalu berpindah-pindah posisi, selain harus meronda disekitar Manado, ada juga yang di tarik Ke Balikpapan, alhasil di hari pendaratan tentara Jepang kapal selam yang meronda disekitar perairan Tarakan cuma sebiji belakangan diketahui kapal selam yang mempertahankan Tarakan adalah K-X yang bukan dari Divisi III, kapal selam ini dikomandoi oleh Letnan P. G. de Back, tiba di Tarakan pada 8 januarai 1942 setelah melakukan pelayaran dari Ambon. Tugas utama K-X saat itu adalah mengawal kapal penabur ranjau Prins Van Orange, namun kalah jumlah dan moril dari tentara penyerang, kapal selam sekutu ini gagal mempertahankan pulau Tarakan.

Walau begitu bukan berarti kiprah kapal selam kolonial diperairan Tarakan tamat, setidaknya diketahui pada tahun 1943 dan 1944, tak lama setelah pendaratan Jepang di Tarakan, kapal selam Hindia Belanda ini sempat melancarkan operasi pendaratan mata-mata dengan kode sandi “Phiton” dan “Squirel” disekitar perairan Sesayap dan Sesanip. 

Demikianlah secuil sejarah kapal selam di perairan Tarakan semasa perang fasifik, semoga tulisan kecil ini dapat berguna mengingatkan kita betapa pentingnya sejarah maritim yang kita miliki. (ditambahkan dari berbagai sumber)

Sumber:

Santoso, Iwan. 2004. Tarakan “Pearl Harbor” Indonesia (1942-1945). PT Gramedia Pustaka Jakarta

http://www.dutchsubmarines.com/boats/boat_kx.htm

http://www.dutchsubmarines.com/boats/boat_kxvi.htm

http://www.dutchsubmarines.com/boats/boat_kxv.htm

http://www.dutchsubmarines.com/boats/boat_kxiv.htm

http://indomiliter.wordpress.com/2009/03/25/kri-cakra-siluman-bawah-laut-tni-al/

http://defense-studies.blogspot.com/2011/10/kapal-selam-yang-dipesan-tni-al-memakai.html

http://defense-studies.blogspot.com/2009/05/kri-cakra-401-pasca-repowering.html

http://defense-studies.blogspot.com/2009/08/kri-nanggala-akan-jalani-overhaul-di_24.html

http://defense-studies.blogspot.com/2011/05/ksal-pemeriksaan-kri-nanggala-segera-selesai.html

http://defense-studies.blogspot.com/2010/02/bikin-kapal-selam-pal-incar-jerman-dan-korea.html

http://defense-studies.blogspot.com/2009/08/2-kapal-selam-baru-ditargetkan-datang.html

Saturday, October 1, 2011

Memanen Sejarah Sarang Burung Walet Di Bulungan.


(Desain bubungan istana Bulungan yang unik ternyata menyimpan rahasianya tersendiri, satu lagi master piece Bulungan yang patut di kenang).

Siapa yang tak kenal sarang burung walet, di Bulungan sudah bejibun rumah-rumah walet di buat, maklum selain soal rasa, harga sarang burung walet memang menggiurkan, namun tahu kah kawan, dibalik cita rasanya sebagai barang mewah, ia juga punya sejarah panjang di Bulungan yang layak untuk kita dipanen.

Sekilas Sejarah Sarang Burung Walet Dalam Perdagangan Dunia.


Sarang burung walet, bukan barang baru dalam sejarah perdagangan dunia, bila merujuk catatan sejarah, sarang burung walet menjadi barang yang diperdagangkan dimasa Dinasty Tang (618-907 SM), iapun masuk dalam daftar menu wajib di istana.

Kemudian pada masa Dinasty Ming di tahun 1430, Zeng He alias Cheng Ho dikirim dalam sebuah muhibah resmi keberbagai negera melakukan misi diplomatik dan perdagangan, salah satu komuditi yang diperdagangkan adalah sarang burung walet.

“Berdasarkan catatan sekitar tahun 1587, China mengimpor sarang walet dalam jumlah besar dan mengenakan bea impor. Pada 1618, jumlahnya meningkat pesat karena adanya pengurangan bea impor yang diberikan kaisar dari Dinasti Ming. Pada waktu itu, sarang walet diterima dengan baik sebagai makanan berharga oleh penduduk Provinsi Guangdong dan Fujian,” tulis www.birdnestsoups.com

Jejak rekam sarang burung walet sendiri makin bersinar dengan adanya dua karya pengobatan yang mengharumkan namanya, dimasa Dinasti Qing akhir abad ke-17, karya tersebut tak lain adalah: Ben Cao Bei Yao (Catatan-catatan Penting tentang Bahan Obat-obatan) karya Wang pada 1694 dan Ben Cao Feng Yuan (Bahan Obat-obatan di Alam Terbuka) karya Zhang pada 1695. Orang China percaya sarang burung walet punya daya penyembuh untuk beragam penyakit seperti TBC, sakit lambung, dan perdarahan paru-paru. Ia juga dianggap mampu meremajakan kulit atau memperlambat proses penuaan. Inilah sebabnya Sarang burung walet menjadi mahal karena khasiat yang dimilikinya, mereka sendiri menyebut sup sarang burung tersebut dengan nama Cia Po.

Dimasanya makanan ini menjadi barang mewah, itulah sebab tak semua dapat mengkonsumsinya, walaupun demikian permintaan ekspor impor China yang merupakan konsumen terbesar didunia juga ternyata tidak surut, inilah yang nampaknya membawa berkah bagi perdagangan sarang burung walet di nusantara, apa lagi menu sarang burung walet ternyata telah merata dikonsumsi para penguasa baik di wilayah selatan China seperti provinsi Guangdong dan Fujian, tren yang sama juga terjadi di luar wilayah kekaisaran China.

Kualitas sarang walet ditentukan oleh lingkungan alam dan kondisi gua. Tapi yang terpenting, waktu pengambilan sarang itu sendiri. Sarang terbaik adalah yang didapat dari gua lembab yang dalam dan diambil sebelum burung walet bertelur. Sedangkan yang terjelek, setelah walet muda berbulu. Warna sarang terbaik adalah putih, minim warna gelap, tak tercampuri darah dan bulu. Burung walet umumnya tinggal dan beranak-pinak di gua-gua dekat laut, jauh dari jangkauan manusia. Ada juga walet yang memilih gua-gua pedalaman, termasuk di gua-gua pegunungan kapur.

Menurut Kong et al. (1987), sarang walet yang dapat dikonsumsi oleh manusia berasal dari sarang yang dibuat dari air liur burung walet sarang putih (collocalia fuciphaga) dan burung walet sarang hitam (collocalia maxima) yang mengandung epidermal growth factor (egf). Sampai kini, harga sarang walet putih lebih mahal daripada sarang walet hitam.

Hikayat Sarang Burung Walet Dalam Lintasan Sejarah Bulungan.


Kapan sebenarnya perdagangan sarang burung walet di Bulungan?, tak dapat dijawab dengan pasti, namun melihat arus kuno rute perdagangan yang disinggahi para pedagang China seperti kepulauan Sulu, Laut China Selatan (sekitar Brunai) dan Selat Makassar yang pada dasarnya melalui Bulungan, maka sangat mungkin usia perdagangan sarang burung ini sudah sangat tua.

Menariknya sarang burung walet yang juga disebut lubang batu dalam istilah setempat khususnya dikawasan pantai timur kalimantan ini nampaknya mempunyai makna lebih dari tersekedar barang dagangan, lebih jauh ia sudah masuk dalam ranah politik.

Bahkan hikayat yang diceritakan oleh Johansyah Balham dalam rubrik Khas Kaltim B-Magezine menyebutkan bahwa seorang raja Kutai pernah memimpin penyerbuan terhadapat sebuah kerajaan kecil yang tak jauh dari wilayah kekuasaannya karena tergoda dengan kepemilikan sarang-sarang Burung walet yang menyebabkan kekayaan melimpah raja kecil tersebut.

Di masa kesultanan Bulungan, sarang burung walet juga memiliki rekaman sejarah panjang, beberapa kisah menyatakan bahwa Sultan membagi-bagikan kawasan lubang batu atau sarang burung walet kepada para bangsawan untuk menjamin kesetian mereka demi mewujudkan stabalitas kerajaan.

Yang lebih menarik lagi, menurut cerita yang disampaikan oleh Datuk Krama, salah seorang sepuh di kampung Tanjung Palas secara tak sengaja berjumpa dengan saya di warung kopi dekat kawasan Museum Bulungan.

Datuk Krama menceritakan pada saya bahwa desain istana Kesultanan Bulungan yang bertingkat dua itu, mempunyai fungsi untuk mengembang biakan sarang burung walet, itulah sebab bentuk atap istana yang khas dekat bubungan dimaksudkan sebagai jalan masuk bagi burung-burung walet yang pergi di pagi hari dan kembali menjelang sore, rungan itu gelap. Ada ruangan yang terletak disudut belakang yang digunakan jalan masuk dan keluar manusia untuk mengambil sarang burung walet tersebut. Kisah ini diaimini oleh salah seorang tua yang mengaku sewaktu kecil sering melihat pemandangan keluar masuknya burung-burung walet melalui bubungan istana tersebut.

Sejauh yang penulis ketahui, sarang burung walet memang menjadi salah satu komuditi ekspor penting khususnya pada abad ke-19. Di pantai timur, pelabuhan Samarinda misalnya menjadi salah satu pelabuhan yang didatangi. Kita beruntung J. Zwager, salah seorang Asisten Residen Belanda di Borneo Timur meninggalkan menuskrip berharga berupa laporan perdagangan di tahun 1853 yang bersisi barang-barang yang diperjual belikan lengkap dengan daftar harganya.

Sarang burung walet dalam catatan J. Zwager dibagi dalam dua jenis yaitu putih dan hitam serta dibagi lagi dalam beberapa jenis dengan daftar harga yang berbeda-beda seperti berikut:

Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 10.—f.12.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 40.—f.50.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 2 : f 25—f.30.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 3 : f 15—f.20.- per kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 1: f 250—f.350 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 2: f 100—f.200 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 3: f 80 —f.100 per 120 kati.


Bila melihat daftar diatas nyatalah harga sarang burung walet putih dengan kulitas kelas satu mampu mengungguli sarang burung walet hitam walaupun memiliki kualitas yang sama. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa sarang burung walet menjadi rebutan, bukan hanya pada tingkat pasar tapi juga ketingkat istana, tidak hanya itu sarang burung walet juga telah lama menjadi incaran para perompak maupun perampok, bahkan sejak masa perdagangan kuno terjadi di pantai timur kalimantan ini.

Harga sarang burung walet sampai hari ini bahkan tak pernah mengalami penurunan, ini menarik, sebuah situs internet yang saya baca memuat catatan perkembangan sarang burung walet dalam harga pasaran. Pada tahun 1999 saja data penjualan sarang burung walet mencapai kisan harga yang pantastis. Misalnya harga sarang walet yang dihasilkan dari goa-goa alam di Desa Suwaran, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Untuk sarang walet putih seharga Rp 10 juta/kg dan walet sarang hitam seharga Rp 1,5 juta/kg (Solihin dkk., 1999: 61). Sedangkan, harga tertinggi sarang walet putih mencapai US$ 2,500/kg atau setara dengan Rp 25 juta/kg. (dihimpun dari berbagai sumber).

Daftar Pustaka:

Abdullah, Dr Taufik. 1985.“Sejarah Lokal di Indonesia Kumpulan Tulisan”. Jakarta : Gajah Mada University Press.

majalah histioria/berita-376-liur-yang-lezat.html

http://blogqunian-safran.blogspot.com

Tips Trik Blog: sejarah-burung-wallet.html.