Dalam perjalan sejarah tentang suku Bulungan, tidak banyak
dari kita yang mengetahui dan melakukan kajian yang mendalam tentang suku
bulungan baik dari segi pada asal usul,
pola panyebaran, hingga bagaimana mereka menjadi orang “melayu”, hanya yang
sampai pada kita adalah keberadaan tentang mitos asal usul mereka dari sebuah
bambu dan sebuah telor yang kemudian melahirkan suku menjadi suku bulungan
seperti yang kita kenal hingga saat ini. Sangat di sayangkan bahwa Suku
Bulungan yang membentuk Kesultanan Bulungan yang wilayahnya meluas dari utara
berau hingga selatan sabah dan serawak ini tidak banyak di ketahui.
Lebih disayangkan lagi dalam hal ini banyak sejarawan
Bulungan “menerima dengan utuh” mitos atau legenda yang menjadi pegangan
asal-usul suku Bulungan ini dengan cara pandang yang Tekstual, bukan Kontekstual
untuk mencari makna yang tersirat dan informasi yang terkandung dalam Legenda
atau Mitos (Sejarah Suci) tersebut.
Memang dalam lintasan sejarah tidak sedikit para peneliti barat maupun lokal
yang mengulas tantang suku Bulungan ini sebut saja J. Thomas Linblad dengan
bukunya Between Dayak and Dutch: The Economic History of Southeast
Kalimantan Selatan 1880-1942 yang membahas sejarah yang menyangkut
Kesultanan Bulungan hanya disinggung selintas yakni hanya dalam konteks sejarah
perekonomian. Selain itu ada pula paneliti barat lain yaitu Cowie (1893) yang
membahas tentang bahasa bulungan
kemudian dijadikan dasar ulasan oleh peneliti lainnya yaitu Cense dan
Uhlenbeck namun informasi itu tidak jelas dan bukanlah informasi tentang bahasa
Bulungan secara keseluruhan. Sedangkan peneliti asal indonesia sebut saja M.
Aspandi Adul dkk, yang menulis buku Morfologi Dan Sintaksis Bahasa Bulungan,
Penelitian bahasa Bulungan itu cukup mendalam, dan merupakan hasil penelitian
lanjutan yang pernah dilakukan M. Aspandi Adul dkk (1981-1982) tentang Struktur
Bahasa Bulungan1. Penelitian lainnya
pernah juga dilakukan oleh balai Arkeologi Banjarmasin pernah melakukan
Penelitian Arkeologi Islam di Bulungan. Sasaran kajian adalah berbagai
peninggalan Kesultanan Bulungan, seperti makam, masjid, dan bekas keraton
Bulungan. Hasil kajian itu memperlihatkan bahwa di Bulungan terdapat empat kompleks makam masing-masing
di Tanjung Palas (belakang Masjid Kasimuddin), Bukit Seriang I, Gunung Apit
(Salim Batu), dan Bukit Seriang II. Dari keempat tempat tersebut hanya di dua tempat yang
inskripsinya dapat dikatakan lengkap sehingga mudah dikenali tokohnya yaitu di
Tanjung Palas dan Bukit Seriang II.[1]
Namun seperti yang disadari penelitian-penelitian ini tidak
secara langsung membahas tentang asal
usul suku bulungan melalui kajian etnografi dan etnoarkeologi. Dalam tulisan
kali ini penulis tidak membahas lebih jauh tentang asal usul bulungan dalam
sudut pandang kedua kajian tersebut (Etnografi dan Etno Arkeologi) melainkan
sudut pandang mitos melalui sudut pandang penulis sendiri. Hal yang membuat
penulis tertarik membahas mitos ini karena menurut penulis pribadi, legenda
atau mitos (dalam pandangan penulis) tersebut memiliki makna simbolis tertentu
itu artinya mitos ini harus dipandang sudut yang lain. Diperlukan kajian yang
lebih dalam untuk mencari “jejak-jejak sejarah” asal usul suku bulungan
ini. Namun sebelum kita mencoba menggali
lebih jauh tentang mitos asal usul suku bulungan yang konon di hubungkan dengan
kisah “bambu dan telur” ini
Seperti yang telah diketahui di atas, konon, ada seorang
laki-laki bernama Kuwanyi, beliau adalah seorang pemimpin suku bangsa Dayak
Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami
sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80
jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan penduduk
sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang
bernama Sungai Kayan. Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak
seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut
bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu
dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak
laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan.
Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuanyi dan istrinya
memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka
masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan
bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi. Kisah Jauwiru dan
Lemlasi Suri yang mengingatkan kita tentang cikal bakal suku bulungan dan dalam
perjalanan sejarah berdirinya kesultanan Bulungan. Bulungan, berasal dari
perkataan “Bulu Tengon” (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena
adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari
sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru.
Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan.
Disebutkan pula ada sebuah benda yang secara turun temurun menjadi benda pusaka
yang berbentuk mandau di kenal dengan “Batu Besi Kelu”.
Dari cerita yang menarik ini yang di kelompokkan dalam
Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang
empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya
yang tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula
dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan
folk history (sejarah kolektif)[2]. Dalam hal ini penulis
melihat dalam sudut pandang “kaca mata” yang sedikit berbeda, penulis lebih
melihat cerita ini sebagai sebuah mitos. Mitos yang termasuk dalam kelompok
hikayat, dongeng mapun legenda, meskipun pada tahap tertentu juga menjadi salah
satu sumber sejarah yang didekati secara kritis, ia tetap bukanlah sebagai
sejarah yang dikenal sebagai ilmu yang memiliki prosedur dan alat-alat
intelaktual yang membedakannya dengan
mitos, hikayat, Dongeng mapun legenda. Sebelum mengenal lebih jauh
pembahasan ini, ada baiknya kita mengenal dulu apa yang di maksud dengan dengan
Legenda, dan apa pula yang dimaksud dengan Mitos. Legenda merupakan sebuah
cerita yang dipahami masyarakat adalah sebuah cerita yang benar-benar pernah
terjadi.
Sedangkan mitos menurut C.A van Peursen [3] adalah sebuah cerita yang
memberikan pedoman dan arah tertentu pada sekelompok orang. Cerita itu dapat di
tuturkan tapi juga dapat diungkapkan melalui tari-tarian dan pementasan seni.
Didalam masyarakat dimana mitos itu hidup, setidaknya ada tiga fungsi yang bisa
diperankannya. Pertama, menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan
ajaib. Kedua mitos memberikan jaminan bagi kehidupan masa kini. Ketiga,
sebagai perantara antara manusia dan daya-daya kekuatan alam. dalam mengkaji
mitos tentang asal-usul suku bulungan ini tentu saja memerlukan penafsiran
terhadap kejadian-kejadian yang dikisahkan dalam cerita tersebut yang didukung
oleh didukung oleh data-data Historis dan Etnografi. Kajian terhadap mitos ini
penting untuk mencari makna yang terkandung di dalamnya. Karena itu dalam
memaknai mitos asal-usul suku bulungan yang konon nenek moyangnya berasal dari
bambu dan telur ini, perlu di baca lebih luas dan mendalam dan tentu saja harus
ilmiah.
dalam sudut pandang penulis mitos ini
tidak hanya menceritakan tentang asal-usul nama suku Bulungan, namun juga
memiliki nilai informasi lainnya, yaitu tentang adanya Hak Legalitas
kekuasaan berdasarkan darah turunan darah Jauwiru dan Lemlai Suri dalam lingkup
suku Bulungan (Uma Apan) pada masa itu. Artinya pada pemimpin suku bulungan
pada masa tersebut merupakan golongan bangsawan (Paren : Kenyah atau Hipi :
Kayan) yang merupakan keturunan langsung dari kedua pemimpin tersebut. Jauwiru
dan Lemlai Suri dianggap sebagai sosok yang didewakan oleh masyarakatnya, hal
ini sesuai dalam alam pikiran
kepercayaan masyarakat pada masa itu bahwa keduanya diyakini sebagai
titisan orang-orang suci dan agung karena keduanya diyakini lahir dari bambu
dan telor yang merupakan simbol dari kehidupan. Sama halnya dengan mitos Putri
Petung pada masyarakat Kesultanan Pasir atau mitos pernikahan Putri Junjung
Buih dan Pangeran Suryanata pada masyarakat Negara Dipa yang kemudian menjadi
Kesultanan Banjarmasin, haruslah dipahami ketiganya dengan pemahaman agama
(religi) dan ideologi, ketiganya memiliki pola yang sama yaitu mitos mewakili
kepentingan penguasa dengan media simbol-simbol kehidupan pada masyarakat
tersebut, dalam masyarakat bulungan simbol-simbol ini hadir dalam bentuk bambu
dan telur. Selain itu indikasi bahwa mitos ini berhubungan dengan legalitas
kekuasaan adalah adanya gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keturunan
Jauwiru dan Lemlai Suri yaitu Paren Anyi dan seterusnya.
Namun yang menarik disini adalah dalam struktur sosial
masyarakat Kayan menurut S. Lii’ long dan Pastor A. J. Ding ngo dalam karya
mereka “Syair Lawe”[4]
menyebutkan dalam dalam bagian pendahuluan karangan tersebut memberi keterangan
bahwa dalam struktur masyarakat suku kayan dikenal memiliki tiga kelas sosial
yaitu Hipi atau raja yaitu bangsawan tinggi yang memimpin rakyat yang
dibantu dua atau tiga orang dalam mengatur pemerintahan. Dalam hal keagamaan di
urus oleh Dayung (imam) yang hampir selalu wanita. Dayung aya’ (imam besar)
ialah istri Hipi (raja) dan seorang atau lebih dari wanita yang berasal dari
rakyat biasa. Golongan kedua dikenal dengan istilah Payin atau rakyat
biasa dan golongan terakhir di sebut Dipan atau pelayan. Dipan merupakan
golongan yang kalah dalam perang kemudian menjadi golongan masyarakat kelas
ketiga yang melayani raja. Dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi
istilah Dipan karena sudah berbaur dengan golongan Panyin. Lalu yang perlu di
cermati adalah gelar PAREN justru muncul dalam struktur sosial
masyarakat suku kenyah sewaktu masih tinggal dirumah-rumah panjang dahulu,
mereka mempuyai tiga golongan kelas masyarakat yaitu Paren (bangsawan
tinggi), Penggawa (bangsawan rendah) dan Panyen (orang kebanyakan
atau masyarakat biasa). Kemudian dikenal pula golongan budak atau Kula
yang menjadi pelayan. Golongan ini setidaknya dikenal terdiri dari dua golongan,
yaitu: 1). Salut, anak laki-laki yang dirampas dari musuh (suku lain)
sewaktu peperangan dan dijadikan tawanan perang. Kemudian Salut di rubah
statusnya menjadi Kula oleh Paren yang menawannya. 2). Kula,
yaitu anak laki-laki keluarga Panyen yang tidak mampu (suku sendiri),
diambil oleh kaum paren untuk dibesarkan dan dipelihara sebagai pelayannya[5]. Sama seperti Dipan
dalam kelas bawah masyarakat suku Kenyah, Kula pun akhirnya tidak
ditemukan lagi karena adanya pembauran dengan golongan Panyen.
Penulis belum bisa melihat dan menghubungkan lebih jauh lagi
tentang hubungkait antara Kayan dan Kenyah ini, sebab hal ini perlu kajian
lanjut melaui ilmu bantu ilmu Etnografi dan Etno Arkeologi, namun menurut Datuk
Iskandar Zulkarnaen, suku kayan Uma Afan yang merupakan cikal bakal dari suku
Bulungan ini, termasuk dalam kelompok masyarakat Kayan, Uma Afan yang
juga disebut dengan nama Uma Gai merupakan campuran dari dua anak suku
Dayak antara Kenyah dan Kayan.
Lepas dari itu semua, hal yang terpenting yang perlu
dipaparkan oleh penulis adalah struktur masyarakat yang berkelas ini menguatkan
hipotesa atau pandangan awal bahwa dalam Gelar Paren yang turun temurun
diwariskan melalui garis darah oleh Jauwiru dan Lemlaisuri merupakan legalitas
atau pengesahan kekuasaan dalam kaitan mengenai mitos asal usul orang Bulungan
melalui bambu dan telur ini.
hampir dapat dikatakan bahwa siapapun yang menjadi
pemimpin Suku Bulungan, baik saat mereka masih dikenal dengan nama Uma Afan
sebelum berasimilasi (percampuran darah melaui perkawinan) dengan pendatang
dari Brunai (Datuk Mancang dan pengikutnya), termasuk dengan orang Sulu maupun
Berau pada saat mereka membentuk Kesultanan Bulungan, kepemimpinan selalu
dipegang oleh orang-orang yang memiliki keterkaitan keturunan dengan Jau Iru
dan Lemlai Suri, dan pada generasi berikutnya terkait dengan perkawinan antara
Datuk Mancang dan Asung Luwan, lalu diturunkan lagi kepada Singa Laut dan Kenawai Lumu/ Kenawai Luan, cikal bakal dari nenek moyang pendiri Kesultanan
Bulungan, Wira Amir atau Sultan Amiril Mukminin.
Bukti lainnya adalah digunakannya lambang telur, tunggul kayu
Jemlai, dayung, bambu betung dan Meriam Sebenua sebagai “Sembol Lembaga
Kebangsaan Ningrat Bulungan” mengingatkan pada kita betapa kuatnya pengaruh
cerita legenda atau Mitos asal usul nama suku Bulungan dalam pembentukan jati
diri Kesultanan Bulungan di masa itu.
Sebagai penutup, penulis mencoba memaparkan dengan rendah
hati bahwa bahwa tulisan ini tidak dimaksud untuk melawan arus dari apa yang
selama ini menjadi legenda dalam masyarakat Bulungan yang di yakini
kebenarannya, namun lebih berupa menggambaran dari sudut pandang lain yang
dilihat penulis tentang mitos atau dalam sudut pandang masyarakat Bulungan
yaitu legenda asal usul suku bulungan atau kerajaan bulungan itu sendiri,
sekali lagi menegaskan dengan rendah hati bahwa tulisan ini tidak bertujuan
melawan arus tentang asal usul suku bulungan yang diyakini selama ini namun
hanya sebagai khazanah ilmu pengetahuan yang tentu saja masih bisa ”digali”
melalui sudut pandang lainnya.
1. M. Asfandi
Adul dkk, Morfologi dan Sintaksis Bahasa Bulungan, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta, 1990, hlm 3
Nice info. Bulungan race once upon a time. I'm Kayan from Sarawak.
ReplyDelete