Tuesday, July 5, 2011

Edisi Revisi, Hikayat Singkat Orang Tionghoa di Bulungan.


(Klenteng Ta Pek Kong)

Sejarah orang-orang Tionghoa atau China di Bulungan yang ditulis, jarang sekali kita temukan, padahal mereka sudah cukup lama berdiam di bulungan, Khususnya disekitar kota tanjung Selor.

Sudah cukup lama saya memiliki ketertarikan untuk menulis mengenai mereka, tulisan ini merupakan hasil pengamatan awal saya mengenai sejarah kaum ini secara umum, paling tidak sebagai sebuah pengantar bagi kajian Sinology yang memang amat sedikit kita miliki.

Sejarah singkat Kaum Tionghoa di Bulungan.


Orang Tionghoa atau China yang biasa kita sapa, memiliki sejarah yang cukup panjang di Bulungan, kisah diaspora orang Tionghoa di Bulungan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah migrasi kaum Tionghoa secara umumnya di Nusantara berabad-abad lamanya.

Dalam karya tulis G. Willian Skiner, asal orang-orang Tionghoa di Nusantara berakar dari dua propinsi di wilayah selatan Tiongkok yaitu Provinsi Fukien (Fujian) dan Kwangtung (Guangdong). Kedua Provinsi ini memiliki kekhususan regional dengan Nusantara karena kedekatan wilayah. Dari kedua wilayah ini membawa masing-masing dialek bahasa masing-masing kelompok sehingga sebagian besar diindonesia imigran Tionghoa memiliki tiga kelompok besar bahasa yaitu Hokkian, Hakka dan Kanton.

(ilustrasi pedagang Tionghoa jaman bahari. koleksi foto Syarifah Fatimah Syed Zubir)

Orang Hokkian adalah perantau Tionghoa yang paling banyak menetap di Indonesia, jumlah mereka juga lebih banyak dari kelompok kaum yang lain, gelombang migrasi yang besar terjadi hingga abad 19. Mereka berasal dari provinsi Fukien Selatan, sebuah daerah yang memiliki catatan panjang sejarah perdagangan luar negeri Tiongkok, umumnya orang Hokkian adalah pedagang.

Kemudian ada juga orang Teociu, asal mereka dari wilayah sebelah selatan kelompok Hokkian, khususnya di pedalaman Swatow (Shatou) dan sepanjang pantai barat daya kota pelabuhan tersebut. Bahasa mereka umumnya dapat dimengerti oleh orang Hokkian begitupun sebaliknya, hanya saja ada perbedaan mendasar antara mereka dengan orang Hokkian begitu sampai di perantauan.

Jika orang Hokkian umumnya pedagang, orang Tiociu lebih senang bertani, itulah sebabnya mereka lebih banyak ditemukan di luar pulau jawa. Kebanyakan orang Teociu berkecimbung di bidang sayur mayur dan pertanian komersil lainnya. Mungkin mereka inilah yang dikenal dengan sebutan China Kebun.


(generasi muda Tionghoa di Bulungan)

Adapula yang disebut orang Hakka atau Khek, kampong halaman mereka terletak di kawasan pedalaman Provinsi Kwangtung. Kebanyakan dari mereka merupakan pekerja tambang. Banyak dari mereka saat in ditemukan di daerah pertambangan emas maupun timah seperti di Kalbar, Bangka dan Belitung.

Dan terakhir orang Kanton, mereka ini merupakan tetangga orang Hakka, pusat asal mereka di delta Sungai Mutiara. Sama seperti orang Hakka, orang Kanton juga dikenal sebagai penambang. Disisi lain orang Kanton juga dikenal sebagai tukang yang trampil.

Umumnya orang Kanton yang datang ke Indonesia memiliki modal yang lebih dari cukup untuk hidup diperantauan, mereka juga memiliki akses khusus dengan orang-orang barat di Kanton dan Hongkong sehingga sebagian dari mereka memperoleh pengetahuan yang memadai mengenai permesinan industri barat. Orang-orang Kanton kebanyakan merupakan tukang-tukang yang mahir, pekerja mesin, pemilik toko besi atau industri kecil maupun pengelola penginapan dan restoran. Karena jumlahnya yang lebih minoritas diantara banyak kelompok Tionghoa, sehingga agak sulit untuk menemukan pusat-pusat pemukiman mereka, sebab kebanyakan orang Kanton menyebar secara merata di hampir semua kawasan Indonesia.

Lalu bagaimana dengan di Bulungan? orang Tionghoa khususnya di Tanjung Selor diperkirakan datang bersamaan munculnya para pedagang arab dan melayu lainnya, paling tidak mereka sudah ada di awal paruh kedua abad 19. Di Bulungan orang-orang Tionghoa sudah bercampur sehingga agak susah untuk menentukan kelompok kaum berdasarkan bahasa tersebut.


(Tanjung Selor tempo dulu, salah satu karya foto mendiang Heng Thay, seorang Tionghoa juru foto di Bulungan)

Pemukiman orang Tionghoa menurut beberapa kisah, konon tidak jauh dengan pemukiman orang banjar di kampong Pasar, khususnya disekitar Klenteng atau Tempekong saat ini. Banyak dari mereka berprofesi dibidang perdagangan, adapula sebagian kecil orang Tionghoa yang berprofesi sebagai petani atau China Kebun. Dewasa ini jumlah orang Tionghoa dari suku Tiociu ternyata paling banyak di dikota Tanjung Selor. Beberapa dari mereka dulunya mengolah hasil bumi diantaranya membuat udang kering yang di jual di Tarakan dan di Tanjung Selor dan tempat-tempat lainnya. 

Menurut catatan Ong Eng Die, orang -orang Tionghoa di Kalimantan khususnya yang tinggal disepanjang pantai timur dan selatan, rata-rata tinggal di daerah pesisir jarang dari mereka ada yang tinggal dipedalaman, seperti Banjarmasin, Samarinda, Balikpapan, dan Tarakan. Di Bulungan mereka bermukim disekitar sungai Kayan (Tanjung Selor). Bahkan dibeberapa tempat orang Tionghoa sempat memiliki semacam toko terapung yang disebut Tongkang.

Mereka umumnya membeli hasil bumi seperti madu hutan, getah, karet, rotan, kayu gaharu dan sarang burung walet untuk di ekspor ke luar, dimasa lampau Singapura merupakan salah satu tempat yang umumnya di kunjungi selain pelabuhan Samarinda dan Makassar. Hasil impor yang diperjual belikan rata-rata kebutuhan bahan pokok seperti gula, garam, rokok, kembang gula, beras, dan juga ada porselin.

Di bidang jasa, ada juga yang menjadi juru foto atau tukang kodak, bahkan tidak sedikit foto-foto yang merupakan arsip sejarah Bulungan merupakan hasil karya juru foto Tionghoa.

Dewasa ini kebanyakan pengusaha Tiongkok di Bulungan lebih memilih mendatangkan barang mereka dari Surabaya, Singapura nampaknya sudah tidak menjadi perioritas utama lagi, ada juga yang mendatangkan barang dari kota Tawau, Sabah yang jaraknya memang tidak begitu jauh dari Bulungan.


(Kapten China, Nyo Kin Song, berfose bersama para menteri dan pembesar Kesultanan Bulungan)

Di zaman Kesultanan Bulungan dulu, orang Tionghoa mempunyai pemimpin yang disebut Kapten China yang mengepalai orang-orang Tionghoa di Bulungan, salah seorang yang penulis ketahui bernama Nyo Kin Song. Mereka juga sempat mendirikan sekolah China disekitar kampung pasar yang lokasinya sekarang menjadi tempat usaha bernama Toko Batu.

Selain Klenteng Ta Pek Kong yang berdiri di kawasan pinggir sungai (Jl. Jendral Sudirman), bukti lain dari sejarah panjang orang Tinghoa di bulungan adalah komplek pemakaman Tionghoa di jalan Meranti.

Little Shanghai dari Tanjung Selor.


Seperti yang telah kita ketahui, pusat-pusat pemukiman orang-orang tionghoa dimasa lampau, khususnya di tanjung selor kebanyakan di kawasan pinggir sungai, dekat dengan klenteng atau tempekong. Dimasa Bupati Kol. Sutadji memindahkan kantor pemerintahan lebih kedarat, orang-orang Tionghoa juga ada yang ikut pindah.

Dewasa ini, pemukiman orang-orang Tionghoa tidak hanya di sekitar Klenteng, jumlah yang agak banyak ada disekitar kawasan Skip II atau di jalan protokol Kolonel Sutadji, khususnya di sekitar pertigaan jalan depan hotel Crown hingga pertigaan depan hotel Tiduran Mas, rata-rata ditempat itu dihuni oleh orang-orang Tionghoa yang membuka toko-toko maupun bengkel, sisanya ada disekitar depan kawasan Sekolah SMU 1 Bulungan.


(ilustrasi seorang gadis kecil tionghoa dalam sebuah perayaan Imlek 2011)

Dalam beberapa tahun belakangan ini, perayaan Imlek dan Cap Go Meh, dirayakan dengan meriah, lampion-lampion merah dipasang didepan toko dan rumah, klenteng penuh sesak dengan orang-orang tionghoa, dari banyak perayaan dalam budaya Tionghoa keduannya yang paling ramai, kalau memang mujur biasanya diadakan pertunjukan Barongsai.

Demikian sedikit ulasan mengenai orang Tionghoa di Bulungan. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka:
G. William Skiner, Golongan Minoritas Tionghoa, judul asli “The Chinese Minority”, diambil dari buku Ruth T McVey (ed), Indonesia, New Haven, Connecticut: HRAF Press, 1963, Halaman 97-118.

Ong Eng Die, Peranan Orang Tionghoa Dalam Perdagangan, Judul asli ”De Chineesen in de Handel en het Verkeer”, yang merupakan bagian dari buku Ong Eng Die, “Chineezen in Nederlandsch-Indie – Sociografie van een Indonesische Bevolkingsgroep”, Assen: Van Gorcum en Comp., 1943, halaman 102-142.

2 comments:

  1. Pak Zarkasyi, apakah Anda mempunyai daftar asal usul keturunan tionghoa di bulungan? dulu datuk saya tinggal dekat kampung arab dan bermarga Tan. Terima kasih

    ReplyDelete
  2. terimaksih kunjungannya pak Dharma, namun saya mohon maaf karena tidak punya catatan itu, tapi nanti saya coba tanyakan dengan beberapa orang yang mungkin tau mengenai hal tersebut. sebelumnya terima kasih.

    ReplyDelete

bulungan