Sunday, August 23, 2020

Dua "Djalaluddin" dalam lintasan sejarah Bulungan

Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin berserta para Menterinya

Nama Djalaluddin sendiri sebenarnya sangat popular, namun yang tidak banyak disadari adalah gelar Jalaluddin atau dalam tulisan umum yaitu ‘Djalaluddin” dalam sejarah Kesultanan Bulungan, sebenarnya tidak hanya digunakan oleh satu orang saja.

Nama Jalaluddin sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya Kemuliaan Agama, dalam lintasan sejarah dunia sendiri beberapa Sultan atau tokoh penting pernah menggunakan nama tersebut, diantara Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar dari Kesultanan Mughal atau Jalaluddin Rumi, seorang Sufi dari Persia.

Ada dua orang Sultan yang menggunakan gelar tersebut, Jadi dapat dikatakan gelar “Djalaluddin” dalam sejarah Kesultanan Bulungan itu tidak dimulai pada tahun 1931.

Sultan pertama yang menggunakan nama tersebut adalah Si Kidding, nama yang khas Bulungan. Beliau adalah putra dari Sultan Bulungan yang ketiga, Sultan Kaharuddin I. Tidak banyak catatan sejarah yang dapat diperoleh pada masa masa beliau ini, namun yang pasti pada awalnya memerintah dan menggunakan Gelar Sultan Djalaluddin I pada tahun 1861, Kesultanan Bulungan tengah melakukan konsolidasi kekuatan dan upaya pembangunan pusat pemerintahan di Tanjung Palas serta melakukan usaha pembangunan bandar dagang diseberang pusat pemerintahan saat itu.

Kawasan perdagangan di Tanjung Selor yang mulai dibuka pada masa Ayahanda beliau Sultan Kaharuddin I, upaya pembangunan ini berjalan cukup sukses, ini dibuktikan dengan banyaknya berdatangan para pedagang yang membangun pemukiman baru di Tanjung Selor. Salah satu tantangan besar yang juga terjadi pada era Sultan Djalaluddin ke-I ini adalah menjalankan kontrak perjanjian antara Kesultanan Bulungan dan pemerintah Kolonial Belanda yang ditandatangani sejak tahun 1834.

Walaupun naik tahta dan memerintah Kesultanan Bulungan, namun pada prakteknya pemerintahan era Si Kidding tidak lepas dari pengaruh ayahnya Sultan Kaharuddin I, pada masa beliau memerintah Bulungan terlibat persaingan sengit dengan Kesultanan Gunung Tabur khususnya mengenai tapal batas dan ambisi ekspansi diantara kedua Kesultanan yang sudah dimulai pada masa Sultan Kaharuddin I tersebut. Tahtanya menjadi rebutan antara kerabatnya, itu dibuktikan pada tahun 1866, Sultan Kaharuddin I kembali mengambil tahta karena Si Kidding sering sakit-sakitan dan alayarham meninggal diusia muda pada tahun tersebut. Makam baginda sendiri belum ditemukan hingga sekarang.

Sultan Kedua yang menggunakan gelar Djalaluddin tentunya adalah Datuk Tiras, hanya saja beliau menambahkan nama Maulana Muhammad di depan nama Djalaluddin tersebut, oleh orang banyak lebih dikenal sebagai Sultan Djalaluddin saja yang mulai berkuasa pada tahun 1931. 

Berbeda dengan Sultan Kasimuddin, saudara baginda yang memang disiapkan oleh ayahanda beliau, Sultan Azimuddin sebagai Raja Muda, Datuk Tiras tidak melalui periode tersebut. Datuk Tiras dalam sebuah kisah diceritakan sebelum menjabat sebagai Sultan, beliau adalah mandor kebun karet Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas. Ketika mulai menjabat sebagai Sultan, Maulana Muhammad Djalaluddin menjalankan sejumlah terobosan di istana, misalnya beliau mulai membagi jabatan mentri kesultanan menjadi tiga, yaitu Datuk Bendara Paduka Radja sebagai Menteri Pertama, Datuk Perdana sebagai Menteri Kedua dan Datuk Laksamana Setia Diraja sebagai Menteri ke Tiga, jabatan tersebut bahkan di era Sultan Kasimuddin dan Sultan Ahmad Sulaiman belum pernah ada.

Dimasa Sultan Maulana Djalaluddin penataan ibu kota Kesultanan Bulungan menjadi perhatian penting, khususnya pada tata perumahan rakyat, beliau juga mulai menerangi ibu kota dengan memboyong mesin pembangkit listrik sehingga jalan-jalan dan perumahan rakyat di ibukota mulai terang benderang, terlebih lagi ketika malam. Ketika Jepang menduduki Kesultanan Bulungan, Sultan Djalaluddin meninggalkan istana pergi bersama rakyatnya untuk membuka sejumlah area persawahan untuk memenuhi kebutuhan beras yang cukup langka kala itu. 

Diera Sultan Djalaluddin ke-II ini, sejumlah peraturan diberlakukan, misalnya larangan mengendarai sepeda ketika melintasi komplek istana, penggunaan songkok sebagai identitas muslim juga digalakan dimasa beliau, institusi keagamaan yang sudah diperkuat sejak era Sultan Kasimuddin semakin dibenahi seperti pengangkatan sejumlah Qadi, Imam Mesjid dan Muazin atau Bilal yang berada langsung dibawah Sultan dan Mesjid Kasimuddin sendiri menjadi pusat keagamaan penting di era tersebut. Madrasah Al-Khairaat juga berdiri pada masa beliau ini, satu di sekitar komplek Mesjid Kasimuddin dan satu lagi di kampung Arab Tanjung Selor. Pada persoalan hukum adat, misalnya ada hukum "buang" bagi masyarakat yang kedapatan melakukan zina.

Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin sendiri termasuk penggagas dan pendukung gerakan kemerdekaan Indonesia, ini terbukti pada 17 Agustus 1949, bendera Merah Putih dikibarkan di istana Kesultanan Bulungan, menariknya, Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin sendiri adalah penerima bintang kehormatan dari pemerintah kolonial Belanda dengan pangkat Letnan Kolonel. Setelah Kesultanan Bulungan bergabung menjadi bagian NKRI, posisi beliau menjadi Kepala Daerah Istimewa Bulungan hingga akhir hayatnya. 

Makam Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin dapat ditemui dikomplek makam yang berada di area Mesjid Sultan Kasimuddin di Tanjung Palas. Sampai hari ini belum ada lagi Sultan Bulungan yang dilantik pasca Maulana Sultan Djalaluddin mangkat. By. Muh. Zarkasyi.

Friday, July 31, 2020

Bagaimana pandanganmu tentang sejarah Kesultanan Bulungan yang tertulis dalam buku Babon Kerajaan-Kerajaan Nusantara?

[Buku Babon Sejarah Kerajaan Nusantara, Kesultanan Bulungan dibahas pada halaman 282 hingga 286]

Saya sudah pernah membaca buku itu, ada bab mengenai sejarah Kesultanan Bulungan yang ditulis oleh Faisal Ardi Gustama, diterbitkan oleh Briliant Books pada tahun 2017, boleh dikata termasuk belum lama dirilis. Buku tersebut dapat pembaca sekalian temui di Perpustakaan Daerah Kabupaten Bulungan, dilantai dua gedung tersebut pada bagian sejarah.

Tentunya sebagai pembaca, kita layak untuk mengapresiasi karya tersebut mengingat beberapa sejarah kerajaan atau kesultanan dalam buku tersebut ada beberapa yang tidak dikenal dalam buku-buku sejarah yang dipelajari di sekolah, termasuk mengenai Kesultanan Bulungan.

Dalam konteks sejarah Kesultanan Bulungan, ada beberapa hal yang bagi saya layak diapresiasi, setidaknya beberapa poin yang sudah ditulis oleh Saudara Faisal Ardi Gustama tersebut, diantaranya:

[Poin 01] dalam tulisan mengenai sejarah Kesultanan Bulungan tersebut, disebutkan bahwa “Kerajaan Bulungan adalah kerajaan yang pernah menguasai sebagian besar wilayah Kalimantan Utara, meliputi wilayah yang kini termasuk dalam area administratif Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tanah Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan, hingga Sabah (Malaysia bagian timur, perbatasan dengan Indonesia)”. Tulisan tersebut mengapa saya anggap penting karena diluar sana, atau diluar Kalimantan utara dan Timur khususnya hal tersebut tidak banyak diketahui oleh banyak orang, sedikit menambahkan dalam tulisan tersebut, bahwa wilayah administrasi baik Kabupaten atau Kota yang disebutkan pada tulisan tersebut, pasca Kesultanan Bulungan menjadi bagian NKRI setelah tahun 1949, sempat menjadi Daerah Istimewa Bulungan kemudian berubah status sekitar tahun 1959 menjadi Dati II Bulungan, dikemudian hari dikenal sebagai Kabupaten Bulungan adalah wilayah Induk dari lima Kabupaten kota yang menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Utara saat ini.

[Poin 02] penulis pada akhir tulisan tentang Kesultanan Bulungan, memaparkan singkat namun padat mengenai peristiwa Tragedi Juli 1964. Walaupun sudah banyak yang mengulas tersebut baik dimedia sosial maupun cetak bahkan beberapa ulasan video di Youtube, tulisan tersebut berarti setidaknya bagi kami pengamat sejarah lokal Kesultanan Bulungan secara khususnya, tulisan tersebut cukup jelas menyebutkan mengenai adanya perintah oleh oknum yang saat itu menjabat sebagai Pangdam IX Mulawarman, untuk melakukan tindakan tak terpuji diwilayah Dati II Bulungan pada masa itu. Penulis juga memaparkan jumlah korban yang jatuh serta tindakan-tindakan brutal berupa penangkapan dan penjarahan yang terjadi pada Kesultanan Bulungan diSenjakalanya pada tahun 1964 tersebut, semoga tulisan dan paparan itu menambah pengetahuan dan perbendaharaan mengenai sejarah Republik Indonesia yang tidak banyak didapatkan dibangku sekolah, bahwa ada kenyataan pahit di saat kampanye Dwikora dikobarkan, ada sebuah peristiwa yang coba ditutup-tutupi cukup lama yaitu peristiwa Bultiken atau Tragedi Bulungan di tahun 1964.

Tentunya selain bentuk apresiasi, tidak ada salahnya saya memberikan semacam kritik atau koreksi semampu saya mengenai tulisan tersebut. Ada beberapa poin yang saya garis bawahi,

[Pertama], dalam tulisanya disebutkan bahwa, “Tidak diketahui pasti apakah Datuk Mancang sudah memeluk agama Islam atau belum. Namun yang jelas, beberapa penguasa Kerajaan Bulungan setelah Datuk Mancang memakai nama yang cendrung bernuansa Hindu (dengan istilah Sanskerta). Baru pada pertengahan abad ke-18, pemimpin Bulungan memakai gelar Sultan yang menandakan bahwa Bulungan telah berubah menjadi kerajaan bercorak Islam (Hal. 282)

Datuk Mancang datang ke wilayah,- yang kemudian hari dikenal sebagai Kesultanan Bulungan pada abad ke-18,- berasal dari Brunei Darussalam.  Dalam catatan sejarah Bulungan sendiri Datuk Mancang digambarkan bukanlah seorang tokoh biasa, melainkan bangsawan yang pindah dari Brunei dan mencari lokasi mukim baru, ia juga tidak datang sendirian, melainkan membawa sekitar 100 orang prajurid dan dua orang pengawal penting, yakni seorang panglima dan penasihat agama atau ulama. Bila kita mencoba membandingkan masa kedatangan Datuk Mancang yang disepakati mulai memimpin pada tahun 1555 hingga 1594, maka kita akan menemukan fakta menarik bahwa diera tersebut pada tahun 1555, bersamaan dengan berkuasanya Sultan Brunei ke-7 yakni Sultan Saiful Rijal (naik tahta tahun 1533 dan wafat tahun 1581), bila dihitung pada tahun datangnya Datuk Mancang untuk bermukim, maka bertepatan dengan 22 tahun setelah baginda naik tahta, jadi dapat disimpulkan bahwa Datuk Mancang adalah seorang Muslim. Memang benar bahwa beliau menggunakan gelar Kesatria Wira dan kemudian gelar Wira itu diikuti oleh para penerusnya, namun tidak berarti mereka bukan Islam. Wira atau kurang lebih Pahlawan adalah gelar yang umumnya digunakan pula oleh Kesultanan-Kesultanan Melayu untuk seseorang yang berkecimpung di bidang militer baik itu panglima maupun Laksamananya. Contoh Hang Tuah dianggap Wira dalam Kesultanan Melaka, apakah gelar itu otomatis membuat Ia dikatakan bukan muslim? Hal yang sama berlaku pada kasus Datuk Mancang ini.

[Kedua], dalam tulisan tersebut disebutkan pula bahwa, “Bulungan berubah menjadi kerajaan bercorak islam pada masa pemerintahan Wira Amir. Keturunan dari Singa Laut ini sebenarnya menjadi pemimpin Bulungan sejak tahun 1731, namun ia baru memeluk agama Islam pada tahun 1777 dan berganti nama menjadi Aji Muhammad. Sejak saat itu lahirlah Kesultanan Bulungan dan Wira Amir atau Aji Muhammad menyandang gelar sebagai Sultan Amiril Mukminin bertahta sampai tahun 1817 atau ketika umurnya sudah mencapai 86 tahun (Hal. 283)

Saya kira ada beberapa hal yang layak dikoreksi dalam catatan yang telah diketengahkan oleh penulis Faisal A.G. tersebut

Kesultanan Bulungan memang diproklamirkan atau didirikan oleh Wira Amir yang kemudian dikenal sebagai Amiril Mukminin. Wira Amir adalah nama sebenarnya dari tokoh bersejarah tersebut, ada versi lain yang menyebutnya dengan nama Miril dan beliau sudah muslim sebelum Kesultanan Bulungan berdiri, sebab masyarakat Muslim sudah ada sebelumnya. Nama “Amir” sudah menegaskan hal tersebut. Jadi masyarakat muslim sudah terbentuk di Bulungan pada periode yang disebut Periode Wira itu, yang berlangsung antara tahun 1555 hingga 1731 sudah ada pemeluk Islam diwilayah Bulungan.

Gelar Amiril Mukminin sendiri diberikan oleh Sayyid Abdurrahman Bilfaqih, ulama yang kemudian hari datang ke Bulungan untuk berdakwah pada masyarakat yang dipimpin oleh Wira Amir sekaligus meneguhkan posisinya sebagai Sultan Bulungan yang pertama, dikarenakan pemerintahan pada masa itu hanya berupa pemerintahan kepala kampung saja. Perlu dingatpula tak jauh dari wilayah Bulungan sudah ada ada Kerajaan Kuno Berau berdiri disekitar Sungai Segah, sehingga dapat dipahami pemimpin sebelum Wira Amir belum cukup kuat untuk bersaing secara militer dan politik dengan kerajaan Kuno itu. Kerajaan Tua inipun di awal abad ke-18 mengalami perpecahan menjadi dua Kesultanan Baru yang bernama Gunung Tabur dan Sambaliung.

Ada sedikit kekeliruan pula pada tulisan tersebut, Wira Amir dan Aji Muhammad digambarkan sebagai orang yang sama. Nama Aji Muhammad dalam sejarah Kesultanan Bulungan tidak merujuk pada Wira Amir melainkan pada nama penerusnya yakni Sultan Muhammad Kaharuddin yang naik tahta pertama kali pada tahun 1817 sebagai Sultan Bulungan yang ke-3 beliau dikenal pula dengan nama Simad, sebelumnya pada tahun 1777 putra Sultan Amiril Mukminin, yakni Aji Ali atau yang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Alimuddin bertahta menjadi Sultan Bulungan yang ke-2. Jadi memang ada sedikit kesalahpahaman mengenai tokoh Wira Amir yang ditulis oleh beliau tersebut. Sebelum Aji Muhammad naik tahta, ayahandanya Aji Ali atau Sultan Alimuddinlah yang meneruskan kepemimpinan pasca Sultan Amiril Mukminin.

[Ketiga], ini ulasan agak panjang, “Kesultanan Bulungan tidak terlalu kuat sehingga akhirnya ditaklukan oleh Kesultanan Berau yang berpusat di Kalimantan Timur. Setelah itu wilayahnya Bulungan diambil alih oleh Kesultanan Sulu di Filipina. Situasi ini berlangsung sampai kedatangan Belanda Ke Kalimantan bagian utara.

Kehadiran Belanda di Kalimantan yang berlanjut dengan penaklukan kerajaan-kerajaan lokal yang ada dipulau tersebut ternyata sampai juga ke wilayah Bulungan. Pada tahun 1850 Belanda menjalin perjanjian dengan Kesultanan Bulungan yang saat itu sebenarnya menjadi wilayah penaklukan Kesultanan Sulu.

Perjanjian atau kontrak politik antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan tersebut ditandatangani oleh Sultan Muhammad Alimuddin Amirul Mukminin Kaharuddin (1817-1861) yang merupakan penerus Sultan Amirul Mukminin. Disisi lain Kesultanan Sulu tidak mampu berbuat apa-apa karena sedang terlibat pertikaian dengan orang-orang Spanyol yang datang ke Filipina.

Belanda ternyata berhasil menancapkan pengaruhnya di Bulungan pada tahun 1853. Situasi ini lama-kelamaan mengusik Spanyol yang merasa bahwa Bulungan masih menjadi milik Kesultanan Sulu, sementara Sulu sudah tunduk kepada Spanyol. Kemudian diadakan kesepakatan antara Belanda dengan Spanyol 1878.

Maka disepakatilah bahwa Spanyol harus melepaskan klaimnya atas Borneo (Kalimantan) termasuk wilayah Kesultanan Bulungan dan penguasaanya atas wilayah Filipina serta kepulauan Sulu tidak akan diusik oleh Belanda. Dengan demikian Kesultanan Bulungan kini diduduki oleh Belanda dan dimasukan kewilayah pemerintah Kolonial Belanda yang berlangsung hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.

Ada beberapa poin menarik bagi saya yang dapat kita ulas dalam tulisan Faisal A.G mengenai Bulungan pada tulisan tersebut

[A] sejarah hubungan Kesultanan Sulu dan wilayah Bulungan sudah terjalin cukup lama, dalam beberapa perkembangan ia menjadi hubungan “Sekutu” sekaligus “Seteru”. Seperti yang saya sebutkan tadi dalam sejarah Bulungan, khususnya Pra Kesultanan atau di era Wira pernah terjadi pernikahan antara putri Datuk Mancang dengan seorang bangsawan Sulu bernama Singa Laut. Keturunan Singa Laut inilah yang kemudian melanjutkan kepemimpinan hingga Kesultanan Bulungan dibentuk pada tahun 1731 oleh Wira Amir atau Amiril Mukminin bertujuan untuk menghindari atau menahan serangan orang-orang Sulu terjadi pada masa-masa itu. Pernikahan politik ini membentuk aliansi kekuatan antara orang-orang Bulungan dan orang-orang Sulu. Namun perkembangannya pula khususnya selepas Kesultanan Bulungan didirikan, banyak aktifitas Sulu yang terjadi dikawasan sekitar Kesultanan Bulungan yang cendrung merugikan, ini tak lain karena sebagian besar pundi-pundi keuangan Kesultanan Sulu didapati dari penjualan Budak. Orang-orang Sulu berburu dan berjualan budak hingga kawasan pantai utara dan timur Kalimantan khususnya diera perniagaan abad 18 hingga 19 Masehi. 

Pecahnya konflik Bulungan-Sulu menyebabkan munculnya ekspedisi milter yang dilakukan oleh Kesultanan Bulungan untuk mendesak orang-orang Sulu dan kerabat dekat mereka orang Iranun untuk menjauhi wilayah Kesultanan Bulungan, diantaranya ekspedisi yang pernah dilakukan dimasa Sultan Alimuddin yang komando pelaksananya diambil langsung oleh putra beliau Laksamana Ni’I menyerang posisi orang Sulu atau Solok dalam bahasa Bulungan, yang berpangkalan di Tawau, kota itu akhirnya jatuh ketangan Bulungan. Lebih tua lagi cerita konflik Bulungan-Sulu terjadi diera Sultan Amiril Mukminin, dikisahkan bahwa perahu-perahu Solok yang kemungkinan besarnya adalah ekpedisi perburuan budak, dihancurkan oleh Bulungan ketika mereka mencoba memasuki Salimbatu, akibat peristiwa itupula yang menjadi satu dari sekian alasan Sultan Alimuddin memindahkan ibu kota dari Salimbatu ke wilayah dalam (Tanjung Palas) untuk faktor pertahanan dan keamanan.

Dalam catatan sejarah Bulungan tidak pernah pula ditemui bahwa Bulungan ditaklukan oleh Sulu, dari Ibu Kota Pemerintahan masih di Salimbatu hingga dipindahkan ke Tanjung Palas, dan dilaksanakannya perjanjian awal dengan Belanda di tahun 1850, Pasukan Kesultanan Sulu sama sekali tidak pernah menaklukan Ibu Kota Kesultanan Bulungan. Hal inipun berlaku pula pada salah satu Kesultanan pecahan kerajaan Berau Kuno yang mencoba menaklukan Bulungan, namun niat itu tidak pernah kesampaian.

[B] Kesultanan Sulu bukanlah kekuatan tunggal di wilayah selatan Filipina dimasa itu, ada kerajaan lain semisal Kesultanan Maguindanou dan konfederasi Kesultanan di Lanou yang terdiri dari 4 kerajaan merdeka yakni Unayan, Masiu, Bayabou dan Baloi, serta kekuatan orang Iranun dan Balanguingui yang menjadi saingan sekaligus sekutu Sulu. Kesultanan Sulu berkedudukan di Pulau Jolo, sampai kedatangan Amerika, tidak pernah benar-benar dapat ditaklukan oleh Spanyol. Buktinya budaya dan bahasa Sulu tidak pernah “terspanyolkan” seperti tetangga mereka di utara. Bahkan ketika Jolo dihancurkan oleh Spanyol ditahun 1876, Orang-orang Sulu memindahkan pusat ibu kota ke Maimbung dan memulai bisnis baru yaitu perniagaan permata.

Kesultanan Sulu memang pernah mencapai kejayaan mereka khususnya ketika Brunei menyerahkan sebagian wilayah Sabah kepada Kesultanan Sulu, setelah itu wilayah itu diambil alih oleh Inggris dan dikemudian hari terjadi perbicaraan tapal batas antara Belanda Inggris, yang membagi wilayah perbatasan antara Sabah dan wilayah Kesultanan Bulungan yang baru selesai pada masa Sultan Azimuddin. Mengenai perjanjian Spanyol-Belanda atas Bulungan adalah hal baru bagi saya mengetahuinya, sayangnya penulis Faisal A.G tidak mencantumkan seperti apa perjanjian antara Belanda-Spanyol tersebut yang terjadi pada tahun 1879 tersebut.

[C] Perjanjian Bulungan-Belanda yang jadi ditahun 1850, berlaku ketika Bulungan dibawah pemerintahan Aji Muhammad atau Sultan Kaharuddin Pertama, sedang penulis Faisal A.G mengatakan bahwa perjanjian tersebut dilakukan oleh Sultan Muhammad Alimuddin Amirul Mukminin Kaharuddin, mungkin penulis merujuk kepada Sultan Kaharuddin Pertama, namun dalam literature Kesultanan Bulungan nama Sultan Muhammad Alimuddin Amirul Mukminin Kaharuddin tidak ada, sehingga ada sedikit kerancuan dalam hal tersebut.

[D] dalam daftar nama Sultan Bulungan yang dinukilkan oleh penulis Faisal A.G, ada beberapa kesalahan yang cukup fatal. Misalnya Wira Amir (1731-1777) dan Aji Muhammad digambarkan sebagai orang yang sama, padahal kedua sosok ini berbeda. Selain itu dalam daftar nama tersebut tidak pula dicantukan nama Sultan Ahmad Sulaiman.

Dalam keterbatasan saya, semoga tulisan saya ini bisa menjadi bahan perbaikan serta dapat didiskusikan. Dan apa bila ada hal yang perlu dikoreksi ulang, kritik para pembaca yang budiman sangat diharapkan. By M. Zarkasyi.

Note

#. Sejarah Perbudakan di Dunia Muslim (https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_slavery_in_the_Muslim_world&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp&prev=search)

#.Kesultanan Sulu (https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Sultanate_of_Sulu&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp&prev=search)

Thursday, May 28, 2020

Pulau Kalimantan dalam peta seratus tahun yang lalu, apa yang ingin kamu kisahkan tentangnya?


Peta Kalimantan yang dibuat sekitar tahun 1902. Sumber Pinteres.

Gambar diatas merupakan sebuah Peta Pulau Kalimantan semasa dibawah pemerintahan Hindia Belanda dan dibagian lainnya dibawah pengaruh pemerintahan Kolonial Inggris. Lalu apa yang menarik dari peta diatas? Peta tersebut menceritakan kondisi politik dan geografi Kalimantan hampir seratus tahun yang lalu.

Poin Pertama kita tengok dulu Peta wilayah Brunei yang berwarna hijau dibagian atas, sudah kawan perhatikan? Ya, wilayah tersebut yang tergambar pada peta itu ternyata tidaklah sama dengan kondisi geografi dimasa ini. Wilayah Brunei benar-benar menyusut drastis akibat kolonisasi Inggris diutara Kalimantan tersebut.

Orang-orang Inggris mulai menjepit Brunei dari dua arah yang pertama seorang Contry Traider bernama James Brook yang berhasil mendapat pengaruh di Serawak, ia bahkan sempat menggertak Sultan brunei dengan membawa sebuah kapal miliknya yang dilengkapi belasan meriam tepat didepan tempat duduk Sultan sebagai alat negosiasinya, yang kedua dijepit dari arah Sabah oleh perusahaan Inggris British North Borneo Company (BNB) dan mendirikan koloni di daerah itu, Brunei dikemudian hari bahkan harus berhadapan dengan Negara baru yang bernama Malaysia dan sempat terlibat konflik perbatasan antara kedua Negara diwilayah Limbang, Brunei sekali lagi mengalah dan tengoklah peta Brunei hari ini, dimana wilayahnya mengecil dan ada celah diantara wilayahnya yang dikuasai oleh Malaysia.

Kedua, Peta Berau tidak berubah sama sekali dalam seratus tahun, mengapa ada yang janggal? Itu tak lain karena ditanah Berau terdiri dari dua buah Kesultanan yang berdiri sendiri dan jejak sejarahnya masih dapat ditemuai hari ini. Yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung, menariknya dalam peta tersebut kedua identitas Kesultanan itu tampak hampir tak terlihat. Seolah-olah Dua Kesultanan yang dijadikan satu.

Saya sendiri pernah mengulas bagaimana Hubungan Berau Bulungan dan latar belakang terpecahnya Kerajaan Berau Kuno menjadi beberapa kesultanan, sila baca link ini :http://muhzarkasy-bulungan.blogspot.com/2020/01/seperti-apa-catatan-sejarah-hubungan.html

Sebagai penyegar ingatan pasca Kerajaan Berau kuno terpecah, wilayanya secara geografi dipisahkan oleh Sungai Segah, dengan rincian:

Sebelah Utara Sungai Berau (Kuran) serta tanah kiri kanan sungai Segah menjadi Kerajaan Gunung Tabur diperintah oleh Sultan Gazi Mahyudin (Sultan Aji Kuning II). Sebelah Selatan Sungai Berau (Kuran) dan tanah kiri kanan sungai Kelay menjadi Kerjaan Sambaliung di perintah oleh raja Alam (Sultan Alimuddin). Kedudukan Pemerintahan di Muara Bangun dipindahkan. Sultan Aji Kuning memilih Gunung Tabur yang terletak di sebelah kanan muara cabang sungai Segah sebagai pusat pemerintahannya dan Sultan Alimuddin Raja Alam memindahkan pusat pemerintahannya di kampong Gayam sebelah kanan masuk sungai Kelay, disebut TanjoengDari sini saja sudah jelas seharusnya ada dua entitas berbeda yang digambarkan dalam peta tersebut.

Ketiga, yaitu gambar pada wilayah Kesultanan Bulungan atau dikemudian hari nanti disebut Kabupaten Bulungan (sebelum dipecah menjadi beberapa Kabupaten dan Kota di Kaltara). Apa yang menarik dalam gambar tersebut, sudah kawan perhatikan? Ya, ada nama Tidoeng disana. Mengapa ini menjadi menarik, menurut catatan sejarah, Kesultanan Bulungan adalah penguasa yang wilayahnya cukup luas hingga keperbatasan wilayah Koloni Inggris di utara. Bagi yang memperhatikan peta lama Kabupaten Bulungan, nama wilayah yang menjadi Kawasan Tidoeng Landens boleh dikata hampir tidak ditemukan lagi pada peta modern tersebut, justru nama tersebut ada pada peta lama yang dibuat hampir seratus tahun sebelumnya. Mengapa bisa seperti itu?

Sebenarnya apa bila dilacak, nama tanah Tidung sebenarnya buka wilayah yang benar-benar baru, dan tentu saja wilayahnya lebih luas dari wilayah Kabupaten Tanah Tidung itu sendiri, catatan sejarah Bulungan sendiri menyebutkan yang dimaknai Tanah tidung adalah sebuah wilayah yang letaknya di Timur Laut dari wilayah inti Kesultanan Bulungan. Dalam catatan sejarah tersebut yang ditulis oleh Dt. Pedana  Ibn Dt Mansyur, Tanah Tidung menjadi bagian dari taklukan Kesultanan Bulungan.

Dalam catatan pemerintahan Belanda, pada tanggal 2 Februari 1877 diterbitkan Ordonantie berupa Staatsblad (surat keputusan) nomor 31 tentang kekuasaan mengatur kerajaan Bulungan yang membawahi Tanah Tidung, Pulau Tarakan, Nunukan, Pulau Sebatik, dan Beberapa pulau kecil di sekitar. Bahkan, Surat Keputusan itu di kukuhkan kembali pada 15 maret 1884 oleh Sekretaris kerajaan Belanda di Bogor. Setahun kemudian pada bulan Juni 1878 disepakati perjanjian kerjasama (Konteverklaring de tweede II) antara Bulungan-Belanda dengan pokok perjanjianya yaitu: Belanda dapat menentukan kebijakan sultan Bulungan termasuk urusan pajak dan Sultan Kaharuddin II terjamin keamanannya.  

Kembali ke pembahasan sebelumnya, mengapa dalam seratus tahun setelah peta tersebut dibuat, Tanah Tidoeng hilang dari peta, bisa jadi hal ini nampaknya akibat warisan administrasi Belanda, baik Kesultanan Bulungan dan Tidung pada awalnya adalah wilayah yang memilki pemerintahan sendiri, memiliki budaya masing-masing walau keduanya adalah kerabat. Belanda menggabungnya menjadi satu dibawah admistrasi dibawah Kesultanan Bulungan. Bagaimana proses penggabungan itu sendiri dan apa implikasinya bagi keduanya, penulis tak dapat menuliskannya pada tulisan ini, mungkin lain waktu. By. Muh. Zarkasyi

Friday, March 13, 2020

Berladang, Simbol Perlawanan Kesultanan Bulungan di zaman Jepang.


Meriam Sebenua, foto diambil sebelum kedatangan Jepang

Ditangkapanya sejumlah peladang karena sangkaan melakukan kejahatan Karhutla atau kebakaran hutan dan ladang berbuntut panjang, orang-orang turun menuntut dilepaskannya peladang yang ditangkap oleh aparat berwajib.

Kasus kebakaran hutan memang menjadi momok tersendiri setidaknya dibeberapa Provinsi yang terletak di Kalimantan dan Sumatra, walaupun demikian menyalahkan peladang sebagai sumber terjadinya Karhutla, menurut saya tidaklah bijak. Kegiatan berladang, khususnya dikalimantan sudah menjadi kegiatan turun temurun sejak masa lalu, dan tidak pernah terjadi kebakaran massive yang terjadi seperti dizaman ini.

Berbicara mengenai kegiatan berladang, apabila kita menengok sejarah Kesultanan Bulungan, ternyata pernah menjadi semacam symbol perlawanan terhadap pemerintahan Jepang di Bulungan.

Bagaimana bisa? Ketika Jepang berhasil menduduki Tarakan pada bulan Januari tahun 1942, pasukan Jepang dikirim ke daratan Kalimantan untuk memasuki Ibu Kota Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas dan membuat sejumlah pos di Tanjung Selor pada tanggal 05 Februarai 1942 jam 03.00. Kedatangan Jepang disambut baik oleh Sultan Djalaluddin, walaupun baginda sendiri sudah mendengar kabar kekejaman tentara Jepang di Tarakan.

Maulana Muhammad Djalaluddin, Sultan Bulungan yang Ke sepuluh ini tipikal orang yang tidak pernah menunjukan emosinya dihadapan orang lain, sehingga orang tidak pernah dapat benar-benar menebak jalan pikirannya. Menurut penulis sikapnya yang menerima kedatangan Jepang masuk kewilayah Kesultanan Bulungan adalah bentuk pemikiran yang lebih realistis mengingat kondisi pada masa itu.

Pasukan KNIL yang bermarkas di Tanjung Selor, sudah tidak nampak batang hidungnya dihari pertama pasukan Jepang menginjakan kakinya di Tanjung Selor, melawan pasukan Jepang tanpa persiapan matang hanya membawa maut yang sia-sia, demikian nampaknya jalan pikir Sultan Djalaluddin.

Melawan Jepang tentu saja bukan hanya dengan otot semata, jalan lain pun dapat ditempuh agar Survive. Sudah menjadi rahasia umum kekejaman Jepang selama penjajahan, Sikap Jepang tehadap Kesultanan yang ada khususnya di Kalimantan berbeda-beda tak selalu sama, mereka bahkan bisa lebih keji dari penjajah sebelumnya, peristiwa Mandor Berdarah dan penyerangan dan penangkapan pasukan Jepang terhadap petinggi Kesultanan Gunung Tabur dan Sembaliung adalah contoh yang menegaskan hal tersebut.

lalu bagaimana cara meringankan beban pada masa itu, jawabnya ternyata cukup sederhana. Berladang.

Sultan membawa rakyatnya pergi meninggalkan ibu kota dan melakukan usaha membuka lahan untuk menanami tanaman pangan, sehingga membuat suasana kota Tanjung Selor dan Tanjung Palas menjadi agak sepi. Mata-mata Jepang juga tidak menangkap maksud dari Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin sebagai bentuk pembangkangan, sehingga pemerintahan Jepang hanya terpaku di Tanjung Selor.

Peristiwa ini sendiri digambarkan oleh M. Said Karim dalam bukunya, halaman 41

“…Sultan dan para menterinya yang diiringi rakyatnya mengungsi sambil berladang disungai Pimping, Sungai Sebanar, Sungai Selor [ilur kapal], Sungai Sebuda, Sungai Kapuk sambil berpindah-pindah. Berarti pemerintahan hanya dilaksanakan oleh Jepang saja”.

Dimasa tersebut, untuk mengelabui pihak Jepang, para gadis sengaja menggunakan pupur dingin tebal dan mengunyah sirih sehingga tentara Jepang enggan mendekati para gadis tersebut, hal ini dibenarkan oleh seorang penduduk Tanjung Selor, Pak Makarno yang tinggal di PMD sekarang ini, beliau juga menceritakan ketika pasukan Jepang datang mereka menangkapi ayam-ayam penduduk yang tinggal di daerah Jl. Semangka dilokasi asrama yang akan dibangun Kantor Korem sekarang ini, beliau juga mengisahkan bahwa sebuah pos jaga lengkap dengan cermin besar dibuat disekitar Boom atau pelabuhan Tanjung Selor, tiap orang yang melewati pos tersembut harus membungkukkan badan. di Tanjung Selor, Jepang juga membawa kebiasaan untuk melakukan Taiso atau membungkukkan badan kearah matahari terbit, karena mereka percaya dengan keberadaan Dewa Matahari.

Nasib pasukan Jepang di Tanjung Selor dan sekitarnya mengalami kondisi yang buruk ketika pasukan sekutu memburu mereka selepas Tarakan jatuh ke tangan Pasukan Australia, mereka sempat bersembunyi di gua-gua dan yang cukup kuat melanjutkan jalan kearah Apo Kayan dan Long iram, termasuk Kumatsu petinggi Jepang yang menyerahkan bendera merah putih sebelum pamit meninggalkan Tanjung Selor, ditengah jalan banyak dari mereka yang dihabisi oleh orang-orang Dayak, Bulungan dan Tidung dihulu sungai, ada yang apes nasibnya dimakan buaya. 

Sumber:
Wawancara dengan Pak Muhammad Makarno, Th. 2019
M. Said. Karim, “ Mutiara Abadi [Restruksi Historis Pejuang-pejuang Kemerdekaan Bulungan], Tanjung Selor 2011

Tuesday, February 18, 2020

Sedikit ulasan tentang "Nama Orang Jang Bergelar" koleksi Museum Kesultanan Bulungan



Apabila kita menggali sejarah Bulungan, banyak hal baru yang mungkin saja membuatmu berfikir agak aneh pada awalnya, sayapun demikian, diantaranya ketika saya menjumpai salinan ketikan “Nama Orang Jang Bergelar”, disalin oleh A. Abdurrahim pada Surat keputusan yang ditulis buat oleh Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin bertarikh 21 Januari 1948, yang menarik adalah tulisan dibawah surat tersebut yang menegaskan bahwa gelaran tersebut diberikan kepada sejumlah orang yang wajib “hoekoemnja” digunakan oleh yang bersangkutan dan apabila tidak digunakan oleh individu yang diberi gelar maka ia akan dihukum sesuai adat istiadat Kesultanan Bulungan.

Seperti yang tertulis dalam salinan tersebut, “Apabila Orang2 jang telah mengetahoei hal ini tidak menjeboet gelaran itoe, maka akan dihoekoem denda menoeroet adat istiadat Keradjaan Boelongan”.

Apabila ditafsirkan, nampaknya Sultan memilki maksud agar mereka yang dianugrahkan gelar dapat dikenal luas oleh masyarakat Kesultanan, pun demikian secara tersirat menyampaikan bahwa individu istimewa yang diberikan gelar tersebut selayaknya menjadi pribadi yang menjadi suri tauladan dalam masyarakat adat Kesultanan Bulungan.

Kepada kepada daftar gelar tersebut, apa bila kita inventaris maka akan ditemukan beberapa gelaran yang umum diketahui digunakan oleh para bangsawan atau kerabat Kesultanan Bulungan, paling banyak adalah gelaran Datoe, kemudian ada juga Radja Moeda (ini hanya disandang oleh Putra Mahkota), Adji, Pengiran, Pengian, Dayang dan Andin. Ada juga yang secara khusus seperti Temenggong, Panglima dan Punggawa yang bila ditelisik diberikan oleh Baginda Sultan Sultan Djaluddin kepada orang-orang terkemuka dari kalangan Beroesoe (Berusu).

Dalam tulisan yang dibuat oleh Martinus Nanang dengan judul” Sejarah Penyebaran dan Kebudayaan Suku Bulungan di Malinau”. Hal. 11, memberikan kepada kita sedikit gambaran mengenai gelar kebangsawan Bulungan ini.

“Garis strata sosial Bulungan terdiri dari tingkat-tingkat sebagai berikut: Tertinggi di bawah sultan adalah “Datu”. Hanya keturunan sultan yang bisa menjadi Datu. Jadi status sosial datu adalah adalah “ascribed status” atau status yang diperoleh karena kelahirannya atau hubungan darah dengan orangtuanya. Selanjutnya hanya keturunan Datu yang bisa menjadi Datu dan Sultan. Seorang perempuan keturunan Datu disebut “Aji.” Jika seorang perempuan bangsawan (Aji) menikah dengan lelaki dari golongan non-bangsawan, maka keturunannya bukan bangsawan dan tentu saja tidak bisa menjadi Datu atau Aji. 

Di bawah Datu ada “Pangeran” yang merupakan penasihat atau staf inti sultan. Status Pangeran adalah “assigned status” atau status yang diperoleh karena penganugerahan dan pengangkatan oleh sultan. Jadi anak seorang pangeran belum tentu bergelar pangeran juga. Hanya sultan, melalui perdana menteri, yang memiliki wewenang untuk mengangkat seorang pangeran. Selanjutnya pada tingkat sosial di bawah pangeran ada “Aji” dan “Andin”. Aji juga sebutan untuk keturunan pangeran (laki-laki atau perempuan). Sedangkan Andin sebenarnya diadopsi dari gelar bangsawan Tidung dari Sembakung”. 

Terakhir satu gelaran yang menarik perhatian saya adalah gelar Kimas atau Ki Mas yang merupakan gelaran umum yang digunakan oleh Orang-orang dari Kesultanan Palembang. Tentunya yang menjadi menarik adalah mengapa baginda menganugrahkan gelar yang terdengar asing ditelinga sebagian orang tersebut,  setidaknya terdapat lima orang yang dianugrahkan gelar Kimas, yaitu:

  • 1.     Kimas Arif gelar kepada Enci Mohammad Tanjung Selor
  • 2.     Kimas Moeda gelar kepada Toswao Salimbatu
  • 3.     Kimas (Aji) Kertasono gelar kepada Tardi Pembakal Karang Anyar
  • 4.     Kimas Agoeng gelar kepada Oesoep Sekatak
  • 5.     Kimas Praboe gelar kepada Seman Pembakal Pengian.

Dari kelima daftar gelar Kimas ada dua yang sangat dikenal, yaitu Kimas Arif atau H. Encik Mohammad Hasan dan Kimas (Aji) Kertasono. Sebelum lebih jauh membahas kedua tokoh ini ada baiknya kita mengetahui sedikit mengenai istilah Kimas dan Encik yang akan kita temui dalam tulisan ini.

Gelar Kimas atau Kyai Mas, seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya merupakan gelar yang digunakan di Kesultanan Palembang yang mendapat pengaruh jawa khususnya  berasal dari pendatang Demak  Ki Gede Ing Suro bin Pangeran Sedo Ing Lautan yang datang ke tanah tersebut yang kemudian hari berpengaruh besar dalam pembentukan Kesultanan Palembang. Lalu bagaimana kisahnya Sultan Djalaluddin menambahkan gelar Kimas dalam daftar Orang yang bergelar dalam Kesultanan Bulungan? Sayangnya bagi penulis masih menjadi misteri, namun yang pasti kelima orang orang bergelar tersebut bisa jadi adalah tokoh yang disegani dimasyarakat namun tidak memilki garis keturunan langsung dengan Kesultanan Bulungan.

Kemudian adalah gelar Encik, gelar ini umumnya dibawa oleh orang melayu perantauan. Di kota Tanjung Selor tidak banyak yang menggunakan gelar Encik ini, dalam sebutulisan yang berjudul “Susur Galur Melayu Bugis”, terdapat keterangan mengenai asal mula gelar Encik Ini.

“Salah satu sumbangan utama orang-orang Melayu di kawasan yang kini disebut Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi, ialah upayanya dalam menyebarkan agama Islam dan penyebaran kebudayaan Melayu. Pada 1632, rombongan migran Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh seorang bangsawan Melayu dari Patani bernama Datuk Maharajalela. Turut serta dengannya kemanakannya suami istri yang bergelar Datuk Paduka Raja bersama istrinya yang bergelar Putri Senapati. Raja Gowa memberinya tempat di sebelah selatan Somba Opu, ibukota Kerajaan Gowa, karena di sana telah berdiri perkampungan Melayu asal Patani. Sejak saat itu, Salajo diganti menjadi kampung Patani, hingga sekarang.

Tidak dapat diketahui tahunnya secara pasti kapan orang-orang Melayu Patani dan Minangkabau bermukim di Salajo, satu daerah pesisiran Negeri Makassar. Dari beberapa sumber lokal diketahui bahwa orang-orang Melayu mungkin sudah bermukim di Salajo sekitar tahun 1512, tak lama setelah keruntuhan Malaka di tahun 1511.

Datuk Leang Abdul Kadir bersama istrinya, Tuan Fatimah, dikenal sebagai cikal bakal keluarga Melayu asal Patani di Salajo. Sedang Datuk Makkota bersama istrinya, Tuan Sitti, adalah cikal bakal keluarga Melayu Minangkabau dari Pagaruyung di Salajo. Merekalah generasi pertama migran Melayu di Salajo, sebuah perkampungan di Kerajaan Sanrobone, daerah bawahan Kerajaan Gowa.

Pada generasi ke–II Masyarakat Melayu di Salanjo lahir dari perkawinan antara orang-orang Melayu Minangkabau. Ikatan ini ditandai dengan perkawinan Tuan Aminah, Putri Datuk Leang Abdul Kadir dengan Tuan Rajja Putra Datuk Makotta, Generasi ke–III masyarakat Melayu Salajo ditandai dengan penggunaan titulatur “Incek” Ali, “Incek” Talli, “Incek” Hasan, dan sebagainya. Dan sejak saat itulah titulatur “Incek” digunakan oleh orang-orang keturunan Melayu terpandang….”.

Gelar Encik dalam keterangan tulisan tersebut merupakan perpaduan unsur Melayu dan Bugis, dalam sejarah keberadaan orang-orang Melayu yang tinggal menetap sebagai pedagang di Makassar, banyak dari mereka yang bergelar Encik, nampaknya dari sanalah sedikit gambaran asal usul nama Encik ini.

Kembali kepada kedua tokoh bergelar Kimas tadi. Yang pertama adalah Encik Mohammad Tanjung Selor, nama ini nampaknya merujuk kepada Enci Mohammad Hasan yang tinggal tak jauh disekitar kampong Tanah Seribu Tanjung Selor, dekat Langgar Al Inayah. Beliau merupakan tokoh agama yang disegani, pernah pula menyusun Makalah mengenai Sejarah Masuknya Islam di Bulungan sekitar tahun 1981.

Yang kedua adalah Kimas Kertasono, dalam salinan surat yang dibuat oleh Baginda Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, nama yang memegang Gelar tersebut adalah Tardi Pembakal Karang Anyar. Sayangnya tidak banyak sejarah mengenai tokoh bernama Tardi tersebut yang dapat penulis gali lebih jauh dan mengapa ia dianugrahi gelaran penting ini. Yang pasti nama Kimas Kertasono dewasa ini sudah digunakan secara resmi di sekitar kawasan Karang Anyar Tanjung Palas sebagai nama jalan untuk menghormati beliau, hanya saja ada tambahan gelar Aji, sehingga dikenal dengan nama jalan Kimas Aji Kertosono.

Jika kita mau mengupas lagi sedikit ada informasi tersirat yang menarik tentang Kimas Aji Kertosono ini, kata “Pembakal” pada gelar tersebut merujuk kepada istilah jabatan Kepala Kampung, seperti misalnya Datoe Meradjadinda gelar kepada Datoek Kemat Pembakal (Tanjung) Palas Ilir dan Datoe Saboedin gelar kepada Datoe Abai Pembakal (Tanjung) Palas Tengah, begitu pula Kimas Praboe gelar kepada Seman Pembakal Pengian. Pertanyaan tentunya menarik adalah apakah kampung Karang Anyar yang terdapat di Tanjung Palas sudah berdiri sejak era Kesultanan Bulungan? Mengapa hal ini` menarik? Karena mayoritas penduduk Kampung Karang Anyar adalah Orang Jawa dan nama Tardi pun demikian kental dengan Jawa itu. sedangkan seperti diketahui transmigran yang Jawa yang datang ke Tanjung Palas sekitar era Presiden Soeharto pada decade 70 atau 80-an. Jika benar Karang Anyar sudah memiliki Kepala Kampung sendiri, apakah dapat dikatakan sudah terdapat migran jawa sebelum era kemerdekaan atau tepatnya sudah ada diera Kesultanan Bulungan? Saya kira perlu ada kajian sejarah tersendiri mengenai hal tersebut. Jika benar tentu akan jadi temuan yang menarik mengingat sejarah Migran Jawa sedikit sekali yang diketahui tentang mereka khususnya pada era Kesultanan Bulungan. (pen)

Daftar Pustaka

“Nama Orang Jang Bergelar”, disalin oleh A. Abdurrahim pada Surat keputusan yang ditulis buat oleh Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin bertarikh 21 Januari 1948, Museum Kesultanan Bulungan.

Martinus Nanang, “Sejarah Penyebaran dan Kebudayaan Suku Bulungan di Malinau” sebanyak 20 halaman.

Susur Galur Melayu Bugis Lentera Timur : rchive.lenteratimur.com/2012/10/susur-galur-melayu-bugis/.

Monday, January 13, 2020

Revisi: Seperti apa catatan sejarah hubungan Bulungan-Berau, dilihat dari versi sejarah yang ditulis dari sudut pandang pihak penulis Belanda?

Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin II, Sultam Bulungan Ke-X
Baiklah, tulisan ini dapat dianggap sebagai tulisan “pembuka” saja, mengingat tidak banyak studi sejarah mengenai hubungan Bulungan-Berau dimasa lalu. Mendapatkan catatan atau sumber sejarah mengenai isu tersebut tidaklah mudah. Namun saya terbantu oleh oleh sebuah bernama “Tjabutan” yang bisa jadi merupakan terjemahan dari “Kroeniek Der Zuider En Oosterafdeling Van Borneo”, sayangnya naskah ketikan tersebut, yang penulis jumpai hanya mengisahkan periodesasi dari tahun 1800 – 1874. Catatan ini disusun oleh J.Eisenberger pada tahun 1939.

Dalam catatan periodesasi sejarah tersebut terjalin catatan peristiwa yang disusun oleh penulisnya mengenai hubungan Berau dan Bulungan, dalam hal ini penulis hanya mencoba mengambil poin-poin penting dalam tulisan tersebut yang bersentuhan dengan Kesultanan Bulungan saja.

Mari kita mencoba membandingkan antara catatan periodesasi tersebut dengan sejarah versi Bulungan. Ada beberapa poin yang nampaknya dapat kita diskusikan.

1800, “Asal Kerajaan Beraoe terdiri dari Goenoeng Taboer, Sembalioong, demikian joega Batoe Poetih dan Daerah Tidoeng. Pada masa Itoe Boelongan dapat membentuk Kerajaan dan berdiri Sultan sendiri sehingga terlepas dari kerajaan Beraoe”.


Apa bila kita jeli membaca buku-buku tentang sejarah Berau atau yang bersinggungan dengannya, hampir selalu penulis mendapati pembukaan kalimat dimana pada tulisan itu selalu menyebutkan Bulungan adalah wilayah Berau yang melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri, artinya dalam versi sejarah Berau secara umum, Bulungan dapat dianggap telah melakukan semacam pemberontakan atau upaya melepaskan diri dari pengaruh Berau. Jika demikian maka ada semacam claim sejarah yang secara tak langsung menyebutkan bahwa Bulungan pernah bagian dari Kerajaan Berau kuno.

Lalu bagaimana dari sisi Bulungan, apakah ada catatan yang  menyebutkan bahwa dari awal Bulungan merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Berau Kuno, sejauh yang penulis ketahui dari buku-buku maupun naskah sejarah yang ditulis oleh penulis dari pihak Kesultanan Bulungan, baik dalam tulisan Datuk Perdana Ibn Datuk Mansyur, H.S. Ali Amin Bilfaqih, HE. Mohd. Hassan, dll hampir tidak pernah menyinggung hal tersebut.

Karya yang cukup berani mengisahkan bagaimana Bulungan pernah “memisahkan diri” dari Berau justru dapat dilihat karya dari H. Dachlan Syahrani, menyebutkan bahwa Bulungan diera Sultan Amiril Mukminin (1731-1777) pernah membangun hubungan diplomatic dengan wakil Kerajaan Berau di Tanah Kuning, selebihnya hubungan Bulungan-Berau hanya diceritakan mengenai pernikahan antara Sultan Alimuddin dengan Istri keduanya Pengian Intan. Pada masa Sultan Alimuddin inilah, Bulungan memisahkan diri dari Berau.

Dalam catatannya H. Dachlansyahrani menulis, hal. 11-12

“…Terjadilah kericuhan di kerajaaan Berau, yakni pertentangan antara kedua Kesultanan berkenaan masalah siapa yang berhak menjadi Raja Berau sesuai dengan perjanjian semula – yaitu secara bergantian memerintah. Pada masa itu yang memerintah Sultan Mohammad Zainal Abidin (1779-1800) dari Kesultanan Gunung Tabur, yang menjadi Raja Berau ke-14. Beliau digugat oleh Sultan Alimuddin Raja Alam (tahun 1810-1852) bahwa Raja Berau ke-15 adalah gilirannya, bukan putra Sultan Mohammad Zainal Abidin, yang bernama Badaruddin seperti yang di Isyukan.

Perpecahan terus memuncak, apalagi penjajah Belanda membantu Gunung Tabur sedangkan Sembaliung di bantu oleh Orang-orang Bugis dan Solok. Didalam kekacauan Kerajaan Bulongan mengambil kesempatan memisahkan diri, terlepas dari Kerajaan Berau, yang diumumkan oleh Sultan Muhammad Alimuddin pada tahun 1800”.

Dalam tulisan tersebut, H. Dachlan Syahrani, memuat gambaran singkat tentang bagaimana Bulungan menjadi Kesultanan mandiri lepas dari pengaruh Kerajaan Berau Kuno yang nasibnya diambang senja akibat konflik saudara tersebut.

Lalu apakah dari pihak Berau terdapat penjelasan yang sama mengenai hal itu?

Menariknya dalam sebuah tulisan yang berjudul, “Tinjauan Historis mengenai Kerajaan Berau (Kuran), gambaran mengenainya ternyata kurang lebih sama.*  

(“…. Pada permulaan abad ke XVII pergantian raja secara teratur dari ayah kepada anak seperti yang terjadi 9 generasi terdahulu tidak terbagi lagi. Masalahnya Aji Dilayas raja ke IX berputera dua orang Pangeran yang berlainan ibu yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Sesudah Aji Dilayas mangkat kedua pangeran ini, masing-masing didukung keluarga ibunya bersikeras mau menjadi raja.

Akhirnya keputusan musyawarah kerajaan kedua pangeran dan seterusnya, keturunannya berganti-ganti menjadi raja. Pergantian raja secara bergiliran itu adalah sebagai berikut : Oleh penulis sejarah tradisional tidak pernah dicantumkan masa tahun pemerintahan raja-raja itu.

Giliran Pertama ialah Pangeran Tua

Giliran Kedua saudaranya Pangeran Dipati

Giliran Ketiga Sultan Aji Kuning anak Pangeran Dipati

Giliran Keempat Sultan Hasanuddin Marhum di Kuran anak dari Pangeran Tua.

Giliran Kelima Sultan Zainal Abidin kemenakan Sultan Aji Kuning turunan Pangeran Dipati. Menurut Kontler J.S. Krom dalam memorinya, kira-kira tahun 1720 pada pemerintahannya Sultan Zainal Abidin, menerapkan syariat islam di kerajaan Berau. Semasa hidupnya sangat dihormati rakyat. Makamnya dianggap keramat.

Giliran Keenam Sultan Badaruddin menjadi raja pihak keturunan Pangeran Tua melakukan protes, karena turunan Dipati sudah ingkar perjanjian. Mereka sudah empat kali mendapat giliran menjadi raja, sedang turunan Pangeran Tua baru dua kali. Insiden dapat diatasi, pihak keluarga Pangeran Dipati memberikan kompensasi, sesudah habis masa pemerintahan Sultan Badaruddin turunan Pangeran Tua memperoleh giliran 2 kali berturut-turut menjadi raja.

Giliran Ketujuh Sultan Salehuddin turunan Pangeran Tua.
Sultan Amirilmukminin bin Sultan Hasanuddin turunan Pangeran Tua Si Taddan Raja Tua atau Sultan Zainal Abidin II Putera tertua dari Sultan Badaruddin turunan dari Pangeran Dipati. Beberapa tahun ia memerintah, raja ini ditimpa penyakit cacar yang sangat parah. Ketika sembuh dari penyakitnya itu, ia berbicara seperti orang bisu sehingga perkataannya tidak dapat dipaham. Hasil kesepakatan orang tua-tua kerajaan, raja harus diganti. Pada waktu menentukan giliran siapa diantara turunan kedua pengeran itu akan menggantikan Si Taddan Raja Tua, terjadi kericuhan.

Bulungan dan Tidung Memisahkan Diri Membentuk Kesultanan Sendiri. Karena terjadinya kericuan dan insiden pada waktu menetapkan giliran siapa yang harus menjadi raja dari kedua keturunan pangeran itu, kekuasaan pusat pemerintahan yang berkedudukan di Muara Bangun hampir tiada berfungsi lagi. Dalam situasi yang tidak menentu itu, daerah Bulungan dan Tidung berkesempatan melepaskan diri dari kesatuan wilayah kekuasaan Berau dan membentuk kesultanan sendiri pada tahun 1800.

Wilayah Inti Kerajaan Berau Terpecah Dua Pemerintahan kerajaan Berau terpaksa harus pasrah kasus Bulungan dan Tidung, karena segala tenaga dan pikiran mereka dipusatkan untuk mengatasi kekacauan perebutan kekuasaan antara turunan Pangeran Tua dan Turunan Pangeran Dipati. Gazi Mahyudin adik Sultan Zainal Abidin II bersikeras menggantikan kakaknya yang sakit-sakitan itu alasannya kakaknya baru beberapa tahun menjadi raja. Raja Alam Putera Sultan Amiril Mukminin turunan Pangeran Tua, merasa lebih berhak mendapat giliran menjadi raja, alasannya turunan Pangeran Tua baru empat kali. Suasana semakin tegang, yang mengakibatkan terjadinya insiden di beberapa tempat. Musyawarah kerajaan dan kedua keluarga Pangeran, karena hampir setiap giliran yang akan menjadi raja, timbul persengketaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup kedua keluarga itu, dapat memutuskan lebih akan bermanfaat wilayah itu dibagi atas kesultanan.

Pertama : Sebelah Utara Sungai Berau (Kuran) serta tanah kiri kanan sungai Segah menjadi Kerajaan Gunung Tabur diperintah oleh Sultan Gazi Mahyudin (Sultan Aji Kuning II). Kedua : Sebelah Selatan Sungai Berau (Kuran) dan tanah kiri kanan sungai Kelay menjadi Kerjaan Sambaliung di perintah oleh raja Alam (Sultan Alimuddin). Kedudukan Pemerintahan di Muara Bangun dipindahkan. Sultan Aji Kuning memilih Gunung Tabur yang terletak di sebelah kanan muara cabang sungai Segah sebagai pusat pemerintahannya dan Sultan Alimuddin Raja Alam memindahkan pusat pemerintahannya di kampong Gayam sebelah kanan masuk sungai Kelay, disebut Tanjoeng. Sesuai dengan keputusan Seminar Hari Jadi Kota Tanjung Redeb tahun 1992 peristiwa itu terjadi pada tahun 1810, sepuluh tahun sesudah Bulungan dan Tidung memisahkan diri.

Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampong Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau. Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X….”)

Demikian versi mengenai sejarah awal Kesultanan Bulungan dari sudut pandang sejarah Berau yang ternyata oleh penulis Belanda diyakini kebenarannya, komentar mengenai hal tersebut terlontar dari tulisan seorang ilmuan Belanda bernama H. J. Grizen seperti berikut :

“Pada zaman dahulu beberapa Kepala Pemerintahan di daerah Kalimantan Utara Berasal dari Berau sebelum Berau terpecah menjadi dua kerajaan, Bulungan dan Tidung termasuk wilayahnya. Bahkan kerajaan Alas dan Tungku yang sekarang diduduki Inggris, termasuk kawasan Berau.
____________________________________________________________________
1839, “Sedjak Boelongan beradja dengan sendirinja, perhoeboengan dengan Goenoeng Taboer, ja’ni radja jang asal memberi hak kepadanja, selaloe baik sahadja, tetapi berhoeboeng dengan pertjek tjokan yang disebabkan oeroesan perkawinan dalam tahoen 1839 maka perhoeboengan jang baik ini menjadi perselisihan”.

1866, “Perselisihan antara Goenoeng Taboer dengan Boelongan jang sejak beberapa tahoen lamanja, dengan perantaraan Assisten Residen dari Samarinda dapat didamaikan”.


Pada kedua poin catatan laporan mengenai Bulungan pada tahun 1839, menarik untuk di perhatikan, disebutkan bahwa hubungan antara Bulungan dan Gunung Tabur baik-baik saja sebelum sebuah masalah yang berkaitan dengan perkawinan mejadi penyulut masalah antara kedua Kesultanan tersebut.

Apabila kita melakukan pengecekan ditahun tersebut, bertepatan pada tahun memerintahnya Aji Muhammad atau Sultan Kaharuddin I, pada masa kepemimpinannya diperiode pertama, sejauh yang penulis tahu tidak ada catatan pasca Sultan Alimuddin, tentang perkawinan antara kedua kerajaan seperti yang ditulis dalam laporan tersebut, apakah ada bagian dari catatan sejarah Bulungan yang tidak menyebutkan peristiwa tersebut? Saya kurang tahu pasti. Namun satu hal yang pasti, dalam catatan yang dibuat oleh Adrian B. Lapian dalam bukunya berjudul Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX Hal. 214, (Kol. Archief, 30 Oktober 1863, no. 31 NA) beliau menuliskan tentang peristiwa perang antara Kesultanan Bulungan dan Gunung Tabur, Penulis menyusun informasinya sebagai berikut.

Pemerintah Kolonial Belanda sendiri dikejutkan dengan keberadaan berita yang mengisahkan tentang konflik antara Bulungan-Gunung Tabur, berita tersebut berasal dari Surat Asisten Residen Kutai bertanggal 15 Oktober 1862)

(…” Saat terjadinya hubungan yang sempat memanas antara Kesultanan Bulungan dan Gunung Tabur pada tahun 1862, petualang Inggris juga melibatkan diri dalam hal ini, kapten kapal niaga berbendera Inggris Swan, William Lingard berpihak pada Gunung Tabur atas permintaan Sultan dari kerajaan tersebut. William Lingard dikenal sebagai seorang nakhoda yang berpengalaman dan sering berlayar antara Singapura, Bali, Lombok dan pantai timur Kalimantan. Atas jasa-jasanya tersebut ia diberi gelar Raja Laut, menurut laporan 4 Maret 1863, gelarnya adalah ‘Pengeran Laut, Kapitan Berau’. Peristiwa ini disertai pula dengan tembakan kehormatan dan pemberian sebuah Mandau beserta tombak yang bertahtakan emas sebagai ‘Barang Kerajaan’. Belanda dibuat cemas karena ada berita yang menyebutkan bahwa Sultan menyerahkan sebidang tanah pada William Lingard tempat ia mendirikan rumah dan gudangnya. William Lingard nampaknya ingin mengikuti jejak James Brook, namun Belanda dengan cepat mengirim utusannya untuk mengadakan penyelidikan, disamping itu kunjungan kapal perang Belanda secara berkala didaerah tersebut membuat William Lingard tidak mungkin melanjutkan rencananya”).  

Pada laporan tersebut disampaikan bahwa terjadi konflik dimulai pada tahun 1839 , sempat terjadi konflik terakhir yang dimulai pada tahun 1862 dan baru Selesai 1866, memberikan pemahaman menarik mengenai konflik perbatasan yang berawal dari masalah perkawinan yang terjadi hampir 27 tahun lamanya, dan konflik terakhir Kesultanan Gunung Tabur bahkan sampai harus meminta bantuan seorang petualang Inggris, seorang Kapten Kapal bernama William Linggard untuk memimpin Angkatan Laut Gunung Tabur. Lamanya 27 tahun bukan waktu yang pendek, ia juga dapat digambarkan bagaimana tangguhnya Armada Kesultanan Bulungan yang baru berdiri menghadapi Kesultanan Gunung Tabur waktu itu. Jika kita menoleh kebelakang, Armada kesultanan Bulungan di bangun di era Sultan Alimuddin, armada tersebut pernah dikerahkan untuk memukul posisi bajak Laut di Tawau dibawah pimpinan Laksaman Muda Nik, putra lain dari Sultan Alimuddin, siapa sangka armada yang sama dikemudian hari digunakan pula dalam konflik beberapa kali yang berhadapan dengan kekuatan luar seperti Gunung Tabur yang ingin meluaskan wilayahnya.  

Sayangnya pasca perdamaian ditahun 1866, tidak pernah lagi terdengar mengenai Armada Laut Kesultanan Bulungan tersebut, disinyalir Armada Kesultanan dibubarkan pada akhir konflik tersebut sebagai bagian dari konpensasi perjanjian bersejarah antara Bulungan dan Belanda yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa “Belanda mengusai Sungai-Sungai, muara dan laut yang berada diwilayah Kesultanan Bulungan dan sebagai gantinya menjamin keamanan bagi Kesultanan Bulungan”

Masih banyak pertanyaan belum terjawab, misalnya seberapa banyak Kapal-kapal dan perahu milik Angkatan Laut Bulungan yang dihasilkan dan berdinas pada periode itu? Bagaimana struktur Komandonya? Siapakah Laksama terakhir yang memimpin pertempuran pada konflik panjang tesebut? Bagaimana mereka mendapatkan mesiu dan persenjataan pada periode tersebut? Dimana gudang senjatanya? Bagaimana komposisi awak kapalnya?, Apakah meriam-meriam kecil yang disimpan di Museum Kesultanan Bulungan tersebut pernah digunakan dalam konflik laut tersebut? dan banyak lagi yang menjadi misteri yang belum terpecahkan. Yang pasti, bahwa Kesultanan Bulungan pernah memilki pasukan yang berorientasi laut dapat dirasakan pada penyematan gelar pada salah menteri di era Sultan Maulana Mohammad Djalaluddin yaitu Menteri Ketiga, Yakni Gelar Laksamana Setia Diradja. Tentu saja dimasa Sultan Terakhir itu Sultan tidak memiliki pasukan Laut, hanya Opas saja, namun gelar itu secara simbolik mengingatkan pada masa jayanya Kesultanan Bulungan memang pernah memilki Armada Laut yang tangguh.
__________________________________________________________________
1873, “Dalam Tahoen 1873 Sultan dari Boelongan telah mangkat dan diganti oleh toeroenan jang berhak”.

1874, ”Setahoen kemoedian dalam boelan April 1874 di Boelongan berhoeboeng dengan tida ada pengganti Sultan djang sah, maka banjak candidaat2 mengemoekakan dirinja, sehingga hampir terdjadi perang saudara oentoenglah toean Assisten Resident dari Samarinda (boleh djadi- G.G Villenneuve) dapat segera menjelesaikan dan sebagai penggantinja diangkat Datoe Maoelana dan dalam boelan April 1875 diakui sjah oleh Gouvernement”.


Pada poin laporan tarakhir yakni pada tahun 1873 dan 1874, disebutkan bahwa Sultan Bulungan telah mangkat dan penganggantinya yang sah telah siap diangkat menjadi Sultan Bulungan.

Tahun 1873, merupakan tahun kemangkatan bagi baginda Sultan Kaharuddin I Bin Sultan Alimuddin. Peristiwa bersejarah ini menjadi peristiwa penting bagi Bulungan, karena kehilangan pemimpin yang mampu bertahan dari usaha agresi pihak luar. Dan seperti yang digambarkan pula dari poin tersebut, ternyata putra mahkota yang akan disiapkan naik tahta tidak cukup umur. Sehingga diangkatlah Sultan Datu Alam Muhammad Adil atau Muhammad Khalifatul adil Bin Maoelana selama tiga tahun dan mangkat di tahun 1875 kemudian digantikan oleh Sultan Muhammad Kaharuddin II Bin Maharaja Lela hingga tahun 1889.

Pada laporan yang ditulis pada poin diatas, disebutkan Datoe Maoelana disyah oleh Gubernur Belanda pada April 1875, laporan ini agak ganjil bagi penulis karena tidak dijelaskan siapa Datoe Maoelana tersebut. Selain itu laporan itu memberikan gambaran bahwa terjadi kekosongan kekuasaan di kesultanan Bulungan pada akhir periode setelah Mangkatnya Baginda Sultan Kaharuddin I di tahun 1873 hingga bulan April 1875, apabila kita kembali melihat versi sejarah Bulungan kekosongan kekuasaan tidak terjadi dimasa tersebut. Karena hal tersebut penulis belum dapat memahami laporan yang mengisahkan hampir terjadinya perang saudara antara Kesultanan Bulungan pada periode tersebut.

Penutup.
Demikian tulisan ringan yang penulis buat sebagai analisis awal mengenai hubungan sejarah Bulungan-Berau berdasarkan poin-poin laporan yang ditulis dalam “ Naskah Tjabutan”, tentu saja sebagai tulisan “ringan” jauh dari kesempurnaan, semoga akan ada informasi tambahan atau analisis lainnya, yang bisa menyempurnakan dan menambah khazanah dari tulisan ini. Terimakasih.

Note:
* Pertanyaan yang tak kalah menarik untuk disodorkan adalah,  bagaimana awalnya Bulungan dalam konteks sejarah Berau dianggap sebagai wilayah yang pernah menjadi satu naungan dibawah pengarah Kerajaan Berau? Ternyata salah satu pejabat Belanda pada waktu itu bernama J.S. Krom pernah meminta bantuan pihak Kesultanan Gunung Tabur dan Sembaliung untuk menyusun sejarah Berau, maka disusunlah tim kecil yang terdiri dari kedua pihak yakni: Klerk Lauw. Aji Berni Masuarno juru tulis kelas 1 Datu Ullang putera dari Sultan Amiruddin Sambaliung, Aji Raden Ayub putera dari Sultan H. Siranuddin Gunung Tabur dibantu beberapa magang seperti Abdul Wahab, Adam, Khirul Arip.

Berdasarkan data-data otentik yang dapat dihimpun dari kedua kerajaan itu serta naskah-naskah tradisional milik perorangan, berhasil disusun sejarah Berau.

Secara ringkas dalam tulisan tersebut, tim penulis menyebutkan bahwa wilayah inti yang membentuk kerajaan Berau kuno (Kuran) terdiri dari lima Nagari atau Benua dan 2 kampung. Saya tidak membahas mengenai kesemua nagari atau benua penyusun wilayah inti kerajaan tersebut, perhatian saya berfokus pada informasi mengenai salah satu Banua tersebut, yaitu Nagari Marancang yang disebut paling pertama dari wilayah tersebut, dengan ulasannya yaitu:

Nagri Marancang. Kepala Nagri atau Orang tuanya bernama Rangga Si Kannik Saludai. Pengarappan atau Punggawanya Bernama Harimau Jantan, Lambu Tunggal dan Kuda Sambarani. Wilayah kekuasaannya dari Bulalung Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu, Sekatak Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung, Talluk Silam dan Kinabatangan berbatasan dengan Brunei.

Perhatikan nama-nama wilayah yang saya garis bawahi, cukup familiar bukan? Beberapa nama tersebut masih bisa kita temukan sampai hari ini. Hubungan sejarah Bulungan-Berau layak dikaji lebih dalam lagi.


Sumber Pustaka
“Naskah Tjabutan” yang merupakan terjemahan dari “Kroeniek Der Zuider En Oosterafdeling Van Borneo”.

Copy naskah ketikan Datuk Perdana, “Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H”, t.th

Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.

Dachlansjahrani, H. 1991. “Beberapa Usaha Menemukan Hari Jadi Kota Tanjung Selor”.

Adrian B. Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Th. 2009.

Mika Okushima “Latar Belakang Etnis Tidung: Penyelidikan terhadap kerajaan-kerajaan kuno di pesisir Kalimantan timur laut. Th. 2002

Sejarah Berau, Tinjuan Historis Tentang Kerajaan Berau Kuran, diposting 31 May 2008, jam 20:53, By. www.betalphi.com/index.php/library/7-bks.