Sunday, December 8, 2019

[Sejarah Islam di Bulungan] Bagaimana menggambarkan peran dari tokoh sejarah Sayyid Abdurrahman Bilfaqih atau Tuan Kali Abdurrahman dalam perjalanan awal sejarah Kesultanan Bulungan?


Sejarah awal Kesultanan Bulungan nampaknya tidak dapat dilepaskan dari kisah kedatangan ulama seperti Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan, beliau dikenal pula dengan nama Tuan Kali Abdurahman. Literature sejarah Bulungan seperti tulisan Datuk Perdana dan H. E. Mohd. Hasan dkk, hanya menjelasakan bahwa beliau seorang perantau Arab dari Demak (Jawa). momentum ini dapat pula disebut sebagai kontak kedua kedatangan Islam di Bulungan yang tercatat dalam sejarah Bulungan. Sayangnya tidak ada literature lebih jauh yang menceritakan apa yang menjadi motif kedatangan beliau di Bulungan secara pasti dan apakah beliau sendiri datang karena memenuhi undangan penguasa Bulungan atau karena ada misi lainnya?.

Sedikit menengok kebelakang, menurut penelitian tim penulisan sejarah Banjar, pada masa pangeran Samudra, Sultan pertama Kesultanan Banjar yang bergelar Sultan Suriansyah, Demak pernah mengirim angkatan perangnya untuk membantu  Banjar untuk mengalahkan kerajaan Daha yang berpusat di Muara Hulak dengan Bandar perdagangannya di Muara Bahan. Bersamaan dengan dikirimnya bantuan pasukan, diikut sertakan juga Khatib Dayan, seorang penghulu mesjid yang dipersiapkan untuk mengislamkan orang-orang Banjar setelah kerjaan banjar berhasil mengalahkan kerajaan Daha, sesuai janji pangeran Samudra. Kesultanan Banjarmasin pun akhirnya didirikan setelah mengalahkan kerajaan Daha pada tanggal 24 September 1526 bertepatan dengan tanggal 8 Zulhijjah 932 Hijriah. Khatib dayan sendiri meninggal dan dikuburkan dikompleks makam Sultan Suriansyah di kuwin utara. Ada yang berpendapat bahwa Khatib Dayan adalah seorang Arab dari golongan Ahlul Bait yang bernama Sayyid Abdurahman. Orang jawa lazim menyebutnya Sayyid Ngabdul Rahman. Mereka berpendapat kemungkinan khatib Dayan adalah orang jawa keturunan Arab karena sepanjang pantai utara yaitu Tuban, Demak, Gresik merupakan pusat pemukiman orang Arab.1 Fakta ini setidaknya memberikan kita informasi awal bahwa pada masa Kesultanan Demak, perkampungan Arab memang sudah ada disekitar pesisir pantai utara Jawa.

Penulis berpendapat tujuan kedatangan Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan erat kaitannya untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas keimanan para penguasa maupun rakyat Bulungan yang sudah mengenal agama Islam sebelumnya, walaupun saat itu bentuk pemerintahan yang dianut bukanlah Kesultanan, namun sebuah kerajaan kecil lebih terlihat sebagai sistem kepala suku. Jika memperhatikan begitu mudahnya beliau bergaul dengan wira Amir dan sempat diangkat menjadi  penasehat sekaligus guru agama Islam oleh wira Amir, maka kita dapat kita menarik kesimpulan awal bahwa Said Abdurahman pada saat itu sudah sangat dikenal baik oleh Wira Amir maupun rakyatnya, jadi pengucapan kalimat Syahadat oleh Wira Amir itu sendiri bukanlah berarti Wira Amir belum menjadi muslim sebelumnya, melainkan hanya sekedar formalitas belaka karena Wira Amir sudah mengenal Islam sebelumnya. Satuhal yang disayangkan adalah tidak ada catatan sezaman atau sesudahnya yang menceritakan secara rinci bagaimana alur pelayaran yang dilintasi oleh Said Abdurahman Bilfaqih dari Demak hingga sampai ke Bulungan.

Lalu bagaimana status Said Abdurahman Bilfaqih sendiri dalam usaha beliau mendakwahkan Islam di Bulungan?, apakah beliau memiliki hubungan dengan penguasa Demak sebagai duta kerajaan seperti yang dilakukan oleh Khatib Dayan di Kesultanan Banjar? untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus melihat posisi Kesultanan Demak sendiri pada saat awal-awal munculnya Kesultanan Bulungan. Fakta sejarah menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pada masa tersebut sudah tidak ada lagi dan menjadi salah satu wilayah dari Kesultanan Mataram Islam.

Ada kemungkinan kepergian beliau keluar wilayah Kadipaten Demak berhubungan dengan situasi politik yang tidak stabil di tanah Jawa, semenjak Kesultanan Mataram berperang untuk menguasai tanah Jawa khususnya kota-kota pelabuhan dipantai utara jawa, ini artinya secara politik Said Abdurahman Bilfaqih bukanlah duta politik Kesultanan Demak, walaupun bukan sebagai duta politik Kesultanan Demak seperti yang dilakukan oleh Khatib Dayan pada masa awal berdirinya Kesultanan Banjar, sebagai seorang pendakwah beliau bersama Wira Amir nampaknya telah mempersiapkan pondasi agama Islam bagi masyarakat Bulungan, hal ini sebenarnya dapat di pahami, didalam agama Islam Amir atau pemimpin negara sekaligus agama keberadaannya adalah mutlak, itulah sebabnya pemberian gelar oleh Said Abdurahman Bilfaqih pada Wira Amir sebagai Amiril Mukminin yang secara politik dapat dipahami oleh Wira Amir sebagai legitimasi politik untuk membentuk Kesultanan Islam di kawasan yang pada masa itu kebanyakan dihuni oleh suku Bulungan. Karena itu terbentuknya Kesultanan Bulungan maka agama Islam yang dianut oleh sebagian besar Ulun Bulungan akan semakin kokoh dan legal atau sah karena didukung oleh Negara dalam hal ini adalah Kesultanan Bulungan. Mulai memudarnya pengaruh kerajaan Berau kuno (Kuran) karena perselisihan antara para penerus tahta nampaknya menjadi salah satu faktor lain yang juga ikut menentukan dalam perjalanan Kesultanan Bulungan di pentas sejarah dimasa awal tersebur.

Hal ini senada dengan apa yang disebut oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, sebagai bahasa politik Islam di Asia Tenggara, yang penulis kutip dalam bukunya “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan”, beliau menuturkan:

(“... ketika Islamisasi kepulauan Nusantara berlangsung dalam gelombang besar setidaknya sejak paruh abad ke-13, pengadopsian dan penggunaan kosakata politik Islam menemukan momentumnya pula. Seperti diisyaratkan, banyak historiografi (karya sejarah) Islam dikawasan ini, proses konversi bahkan dimulai pada ranah politik. Hampir semua historiografi tradisonal ini meriwayatkan bahwa tegaknya institusi politik Muslim bermula dan korvensi penguasa lokal ke dalam Islam, yang kemudian diikuti para elit istana selanjutnya disusuli seluruh rakyat.
Dengan konversi penguasa ke Islam, entitas politik yang digunakan selama ini adalah “kerajaan”, kini secara resmi disebut dengan “kesultanan”. Gelar sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain sebutan lokal “raja”. Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung kesulitan apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada resistensi dari penguasa lokal ketika penyebar Islam mengajak mereka masuk Islam, begitu mengucapkan dua kalimah Syahadah, merekapun mengambil alih nama-nama Muslim dan term-term politik Islam tanpa kesulitan apa-apa. Kasus ini misalnya terlihat pada penguasa Pasai, Merah Silau, yang begitu diislamkan Syekh Ismail segera mengambil nama dan gelar Sultan Malik al-Shalih. Bisa dipastikan, secara politis tidak ada kesulitan bagi Merah Silau dan penggantian sebutan entitas politiknya dari “kerajaan” kepada “kesultanan”. Toh, di Timur Tengah tidak ada perbedaan antara keduanya; setali tiga uang.
Gelar sultan lengkap dengan nama Muslim, seperti bisa diduga umumnya diberikan oleh guru-guru pengembara pembawa Islam, yang jelas tahu banyak tradisi dan bahasa politik yang berlaku di Timur Tengah, karena itu pula, dalam kasus Kesultanan Samudra Pasai, misalnya, banyak gelar yang digunakan penguasa lokal mirip dengan nama-nama penguasa Dinasti Ayyub yang berjaya di Timur Tengah sepanjang abad XII-XIII. Jika di Samudra Pasai kita mengenal Malik al-Shalih atau Malik al-Zahir, nama-nama semacam itu juga dengan mudah dapat ditemukan dalam genelogi penguasa Dinasti Ayyub”).2

Jika mengacu pada konteks yang disampaikan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, kita akan menemukan keselarasan didalam konsep ini, seperti yang sebutkan sebelumnya Said Abdurahman Bilfaqih yang kemudian mendapat gelar Tuan Kali Abdurahman merupakan guru pengembara yang kemudian mendapatkan tempat dihati masyarakat Bulungan. Jika diperhatikan lebih jauh pemberian gelar Amiril Mukminin pada Wira Amir sangat kental dengan nuansa tradisi Kesultanan-Kesultanan Muslim Sunni di Timur Tengah, walaupun ia berasal dari Demak menurut sumber sejarah lokal Bulungan, namun ia sama sekali tidak memberikan gelar-gelar Islam yang bernafaskan Jawa kepada Wira Amir.

Maka dapat dimengerti bahwa Said Abdurahman Bilfaqih nampaknya cukup memahami kondisi politik yang terjadi pada masa-masa itu, iapun nampaknya memiliki pengetahuan yang cukup baik pula mengenai sejarah dan tradisi politik para penguasa Dinasty Muslim Sunni di Timur Tengah yang menjadi banyak acuan para Sultan di  nusantara pada masa tersebut. Sebab tidak sedikit bahkan para penguasa Muslim yang berusaha mendapat gelar tersebut dari otoritas politik di Timur Tengah, khususnya dari pemegang kunci “gerbang suci” yaitu Syarif Mekah. Kesultanan Aceh Misalnya dikenal memiliki hubungan yang erat dengan penguasa Turki Utsmani dan Syarif Mekah. Begitupula Kesultanan Palembang dan Makasar juga diketahui menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekah.

 Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A,  hal ini tidak hanya menunjukan adanya hasrat yang kuat oleh para penguasa Muslim untuk mendapatkan legitimasi tambahan, namun juga mengisyaratkan kenginan untuk mengasosisikan diri dengan pusat-pusat poltik keagamaan Islam. Dengan kata lain, entitas dan muslim polities dikawasan Asia Tenggara ingin diakui sebagai bagian integral dari “Dar al Islam” atau Negeri Islam.3 Dengan demikian dapat pula dipahami Kesultanan Bulungan dimasa tersebut ingin memiliki status dan kedudukan yang dipandang sama serta diakui dalam pergaulan internasional negeri-negeri Islam, khususnya yang berada di kawasan Laut Sulawesi seperti Kesultanan Sulu, Mindanao dan Brunei Darussalam maupun yang berada di pantai timur Kalimantan seperti kutai Kertanegara maupun Berau yang kemudian pecah menjadi dua Kesultanan kembar, Gunung Tabur dan Sembaliung.

Lalu kapan berdirinya Kesultanan Bulungan? tidak ada catatan pasti memang kapan Kesultanan Bulungan berdiri secara tepat, namun bila mengacu pada tahun awal kepemimpinan Wira Amir pada tahun 1731 M bertepatan pada 1144 H,4 maka diperkirakan Kesultanan Bulungan berdiri sekitar tahun tersebut, dengan beribukotakan di desa Baratan lalu kemudian dipindahkan ke Salimbatu masih di era Amiril Mukminin juga. Sejak itu penyebaran Islam di wilayah Kesultanan Bulungan secara terus menerus berlangsung, umumnya lebih cepat tersebar dikawasan pesisir yang memang dibeberapa tempat di nusantarapun, Islam cepat berkembang dikawasan tersebut. Bahkan tidak hanya terkonsentrasi pada Bulungan saja, namun juga beberapa suku bangsa lainnya seperti suku Tidung bahkan adapula orang-orang Dayak Berusu5 yang memeluk agama Islam walaupun jumlahnya memang tidak banyak awalnya. Karena itu dapat disimpulkan bahwa sejarah terbentuknya Kesultanan Bulungan tidak lepas dari peran yang saling mengisi antara ulama dan umara atau pemimpin yang dalam tahap awal diwakili oleh Said Abdurahman Bilfaqih yang kemudian diteruskan oleh para pendakwah lainnya seperti Syekh Al-Magribi dan lain sebagainya dengan pihak penguasa yang diwakili oleh Wira Amir atau kelak dikenal sebagai bapak pendiri dari Kesultanan Bulungan yang bergelar Sultan Amiril Mukminin dan keturunannya. 

Ada beberapa indikasi yang menyatakan telah lama terbentuknya masyarakat Islam di Bulungan bahkan jauh dimasa awal-awal berdirinya Kesultanan Bulungan, yang pertama menurut penuturan H. E. Mohd. Hasan dkk, di desa Baratan yang pernah menjadi pusat pemerintahan wira Amir ditemukan sisa-sisa pondasi mesjid yang sudah tua, ini menegaskan bahwa jauh sebelum masa awal pemerintahan Sultan Amiril mukminin sudah terdapat pemukiman Islam di Baratan pada masa itu.6 Satu hal yang telah banyak dirumuskan oleh para ahli sejarah maupun para arkeolog islam, bahwa syarat terbentuknya sebuah Kesultanan muslim yang biasa disebut dengan tahap Ketiga kedatangan Islam yaitu melembaganya Islam berbentuk sebuah Kesultanan, ia tentunya harus melewati tahap Kedua yaitu agama Islam mulai dianut dan dipeluk oleh orang-orang disuatu daerah, itu artinya masyarakat Islam telah terbentuk sebelumnya di Bulungan.

Indikasi kedua adalah penggunaan beduk atau tabuh, Beduk yang saat ini berada di mesjid Kasimuddin saat ini merupakan beduk yang diambil pada mesjid yang ada di Baratan,7 bahkan sampai hari ini masih bisa digunakan, tradisi beduk sendiri pertama kali dimulai oleh mesjid Agung Demak sebagai pertanda bahwa waktu shalat sudah dekat, sangat mungkin beduk ini sendiri muncul pase yang cukup awal setelah kedatangan Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan. []

1. Drs. H. Syarifuddin dkk,“Sejarah Banjar”, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selata, Oktober 2005). hlm 94
2 .Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah dan Wacana”, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Cet-1. September 1999 hlm. 78
3 . Ibid, hal. 79
4 .Tahun 1144 H merupakan hasil Konversi dari tahun 1731 M, menggunakan program Software Hijri Gregorian Conventer. Conversi dilakukan oleh penulis pada 23 Desember 2008. 
5 .Dt. Mohd. Saleh gelar Dt. Perdana bin Alm Dt. Mansyur.“Risalah  Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H.” t.th. lihat tentang statistik data tahun 1948 dan 1951 dari Kantor Urusan Agama Kabupaten Bulungan, jumlah penduduk kurang lebih 90.000 jiwa. Orang Bulungan dan Tidung 100 % penganut agama Islam, di Kajan Hilir; orang Melaran 95 % Heiden sedangkan 5 % Muslim sedangkan orang Berusu 15 % Muslim dan 85 % Heiden. Heiden dimasa itu masih mengacu kepada istilah penganut kepercayaan lokal, dalam hal ini berlaku kepercayaan adat istiadat suku Dayak yang bersangkutan. lihat hlm. 10
6 .H. E. Mohd. Hasan dkk,“Sejarah Masuknya Agama Islam di Kabupaten Bulungan”,(Tanjung Selor: Panitia Abad XV H Kabupaten Bulungan, 26 November 1981). hlm 24

No comments:

Post a Comment

bulungan