Sejarah
awal Kesultanan Bulungan nampaknya tidak dapat dilepaskan dari kisah kedatangan
ulama seperti Said Abdurahman Bilfaqih di Bulungan, beliau dikenal pula dengan
nama Tuan Kali Abdurahman. Literature sejarah
Bulungan seperti tulisan Datuk Perdana dan H. E. Mohd. Hasan dkk, hanya
menjelasakan bahwa beliau seorang perantau Arab dari Demak (Jawa). momentum ini
dapat pula disebut sebagai kontak kedua kedatangan Islam di Bulungan yang
tercatat dalam sejarah Bulungan. Sayangnya tidak ada literature lebih jauh yang
menceritakan apa yang menjadi motif kedatangan beliau di Bulungan secara pasti
dan apakah beliau sendiri datang karena memenuhi undangan penguasa Bulungan
atau karena ada misi lainnya?.
Sedikit menengok kebelakang, menurut penelitian tim
penulisan sejarah Banjar, pada masa pangeran Samudra, Sultan pertama Kesultanan
Banjar yang bergelar Sultan Suriansyah, Demak pernah mengirim angkatan
perangnya untuk membantu Banjar untuk mengalahkan kerajaan Daha yang
berpusat di Muara Hulak dengan Bandar perdagangannya di Muara Bahan. Bersamaan
dengan dikirimnya bantuan pasukan, diikut sertakan juga Khatib Dayan, seorang
penghulu mesjid yang dipersiapkan untuk mengislamkan orang-orang Banjar setelah
kerjaan banjar berhasil mengalahkan kerajaan Daha, sesuai janji pangeran
Samudra. Kesultanan Banjarmasin pun akhirnya didirikan setelah mengalahkan
kerajaan Daha pada tanggal 24 September 1526 bertepatan dengan tanggal 8
Zulhijjah 932 Hijriah. Khatib dayan sendiri meninggal dan dikuburkan dikompleks
makam Sultan Suriansyah di kuwin utara. Ada yang berpendapat bahwa Khatib Dayan
adalah seorang Arab dari golongan Ahlul Bait yang bernama Sayyid Abdurahman.
Orang jawa lazim menyebutnya Sayyid Ngabdul Rahman. Mereka berpendapat
kemungkinan khatib Dayan adalah orang jawa keturunan Arab karena sepanjang
pantai utara yaitu Tuban, Demak, Gresik merupakan pusat pemukiman orang Arab.1 Fakta ini setidaknya
memberikan kita informasi awal bahwa pada masa Kesultanan Demak, perkampungan
Arab memang sudah ada disekitar pesisir pantai utara Jawa.
Penulis berpendapat tujuan kedatangan Said Abdurahman
Bilfaqih di Bulungan erat kaitannya untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas
keimanan para penguasa maupun rakyat Bulungan yang sudah mengenal agama Islam
sebelumnya, walaupun saat itu bentuk pemerintahan yang dianut bukanlah
Kesultanan, namun sebuah kerajaan kecil lebih terlihat sebagai sistem kepala
suku. Jika memperhatikan begitu mudahnya beliau bergaul dengan wira Amir dan
sempat diangkat menjadi penasehat sekaligus guru agama Islam oleh
wira Amir, maka kita dapat kita menarik kesimpulan awal bahwa Said Abdurahman
pada saat itu sudah sangat dikenal baik oleh Wira Amir maupun rakyatnya, jadi
pengucapan kalimat Syahadat oleh Wira Amir itu sendiri bukanlah berarti Wira
Amir belum menjadi muslim sebelumnya, melainkan hanya sekedar formalitas belaka
karena Wira Amir sudah mengenal Islam sebelumnya. Satuhal yang disayangkan
adalah tidak ada catatan sezaman atau sesudahnya yang menceritakan secara rinci
bagaimana alur pelayaran yang dilintasi oleh Said Abdurahman Bilfaqih dari
Demak hingga sampai ke Bulungan.
Lalu bagaimana status Said Abdurahman Bilfaqih sendiri
dalam usaha beliau mendakwahkan Islam di Bulungan?, apakah beliau memiliki
hubungan dengan penguasa Demak sebagai duta kerajaan seperti yang dilakukan
oleh Khatib Dayan di Kesultanan Banjar? untuk menjawab pertanyaan tersebut kita
harus melihat posisi Kesultanan Demak sendiri pada saat awal-awal munculnya
Kesultanan Bulungan. Fakta sejarah menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pada masa
tersebut sudah tidak ada lagi dan menjadi salah satu wilayah dari Kesultanan
Mataram Islam.
Ada kemungkinan kepergian beliau keluar wilayah
Kadipaten Demak berhubungan dengan situasi politik yang tidak stabil di tanah
Jawa, semenjak Kesultanan Mataram berperang untuk menguasai tanah Jawa
khususnya kota-kota pelabuhan dipantai utara jawa, ini artinya secara politik
Said Abdurahman Bilfaqih bukanlah duta politik Kesultanan Demak, walaupun bukan
sebagai duta politik Kesultanan Demak seperti yang dilakukan oleh Khatib Dayan
pada masa awal berdirinya Kesultanan Banjar, sebagai seorang pendakwah beliau
bersama Wira Amir nampaknya telah mempersiapkan pondasi agama Islam bagi
masyarakat Bulungan, hal ini sebenarnya dapat di pahami, didalam agama
Islam Amir atau pemimpin negara sekaligus agama keberadaannya
adalah mutlak, itulah sebabnya pemberian gelar oleh Said Abdurahman Bilfaqih
pada Wira Amir sebagai Amiril Mukminin yang secara politik dapat dipahami oleh
Wira Amir sebagai legitimasi politik untuk membentuk Kesultanan Islam di kawasan
yang pada masa itu kebanyakan dihuni oleh suku Bulungan. Karena itu
terbentuknya Kesultanan Bulungan maka agama Islam yang dianut oleh sebagian
besar Ulun Bulungan akan semakin kokoh dan legal atau sah
karena didukung oleh Negara dalam hal ini adalah Kesultanan Bulungan. Mulai
memudarnya pengaruh kerajaan Berau kuno (Kuran) karena perselisihan antara para
penerus tahta nampaknya menjadi salah satu faktor lain yang juga ikut
menentukan dalam perjalanan Kesultanan Bulungan di pentas sejarah dimasa awal
tersebur.
Hal ini senada dengan apa yang disebut oleh Prof. Dr.
Azyumardi Azra, M. A, sebagai bahasa politik Islam di Asia Tenggara, yang
penulis kutip dalam bukunya “Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah
Wacana dan Kekuasaan”, beliau menuturkan:
(“... ketika Islamisasi kepulauan Nusantara berlangsung
dalam gelombang besar setidaknya sejak paruh abad ke-13, pengadopsian dan
penggunaan kosakata politik Islam menemukan momentumnya pula. Seperti
diisyaratkan, banyak historiografi (karya sejarah) Islam dikawasan ini, proses
konversi bahkan dimulai pada ranah politik. Hampir semua historiografi
tradisonal ini meriwayatkan bahwa tegaknya institusi politik Muslim bermula dan
korvensi penguasa lokal ke dalam Islam, yang kemudian diikuti para elit istana
selanjutnya disusuli seluruh rakyat.
Dengan konversi penguasa ke Islam, entitas politik yang
digunakan selama ini adalah “kerajaan”, kini secara resmi disebut dengan
“kesultanan”. Gelar sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain sebutan
lokal “raja”. Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung kesulitan
apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada resistensi
dari penguasa lokal ketika penyebar Islam mengajak mereka masuk Islam, begitu
mengucapkan dua kalimah Syahadah, merekapun mengambil alih nama-nama Muslim dan
term-term politik Islam tanpa kesulitan apa-apa. Kasus ini misalnya terlihat
pada penguasa Pasai, Merah Silau, yang begitu diislamkan Syekh Ismail segera
mengambil nama dan gelar Sultan Malik al-Shalih. Bisa dipastikan, secara politis
tidak ada kesulitan bagi Merah Silau dan penggantian sebutan entitas politiknya
dari “kerajaan” kepada “kesultanan”. Toh, di Timur Tengah tidak ada perbedaan
antara keduanya; setali tiga uang.
Gelar sultan lengkap dengan nama Muslim, seperti bisa
diduga umumnya diberikan oleh guru-guru pengembara pembawa Islam, yang jelas
tahu banyak tradisi dan bahasa politik yang berlaku di Timur Tengah, karena itu
pula, dalam kasus Kesultanan Samudra Pasai, misalnya, banyak gelar yang
digunakan penguasa lokal mirip dengan nama-nama penguasa Dinasti Ayyub yang
berjaya di Timur Tengah sepanjang abad XII-XIII. Jika di Samudra Pasai kita
mengenal Malik al-Shalih atau Malik al-Zahir, nama-nama semacam itu juga dengan
mudah dapat ditemukan dalam genelogi penguasa Dinasti Ayyub”).2
Jika mengacu pada konteks yang disampaikan oleh Prof. Dr.
Azyumardi Azra, M. A, kita akan menemukan keselarasan didalam konsep ini,
seperti yang sebutkan sebelumnya Said Abdurahman Bilfaqih yang kemudian
mendapat gelar Tuan Kali Abdurahman merupakan guru pengembara yang kemudian
mendapatkan tempat dihati masyarakat Bulungan. Jika diperhatikan lebih jauh
pemberian gelar Amiril Mukminin pada Wira Amir sangat kental dengan nuansa
tradisi Kesultanan-Kesultanan Muslim Sunni di Timur Tengah, walaupun ia berasal
dari Demak menurut sumber sejarah lokal Bulungan, namun ia sama sekali tidak
memberikan gelar-gelar Islam yang bernafaskan Jawa kepada Wira Amir.
Maka dapat dimengerti bahwa Said Abdurahman Bilfaqih
nampaknya cukup memahami kondisi politik yang terjadi pada masa-masa itu, iapun
nampaknya memiliki pengetahuan yang cukup baik pula mengenai sejarah dan
tradisi politik para penguasa Dinasty Muslim Sunni di Timur Tengah yang menjadi
banyak acuan para Sultan di nusantara pada masa tersebut. Sebab
tidak sedikit bahkan para penguasa Muslim yang berusaha mendapat gelar tersebut
dari otoritas politik di Timur Tengah, khususnya dari pemegang kunci “gerbang
suci” yaitu Syarif Mekah. Kesultanan Aceh Misalnya dikenal memiliki hubungan
yang erat dengan penguasa Turki Utsmani dan Syarif Mekah. Begitupula Kesultanan
Palembang dan Makasar juga diketahui menjalin hubungan khusus dengan penguasa
Mekah.
Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. A, hal
ini tidak hanya menunjukan adanya hasrat yang kuat oleh para penguasa Muslim
untuk mendapatkan legitimasi tambahan, namun juga mengisyaratkan kenginan untuk
mengasosisikan diri dengan pusat-pusat poltik keagamaan Islam. Dengan kata
lain, entitas dan muslim polities dikawasan Asia Tenggara
ingin diakui sebagai bagian integral dari “Dar al Islam” atau
Negeri Islam.3 Dengan demikian
dapat pula dipahami Kesultanan Bulungan dimasa tersebut ingin memiliki status
dan kedudukan yang dipandang sama serta diakui dalam pergaulan internasional
negeri-negeri Islam, khususnya yang berada di kawasan Laut Sulawesi seperti
Kesultanan Sulu, Mindanao dan Brunei Darussalam maupun yang berada di pantai
timur Kalimantan seperti kutai Kertanegara maupun Berau yang kemudian pecah
menjadi dua Kesultanan kembar, Gunung Tabur dan Sembaliung.
Lalu kapan berdirinya Kesultanan Bulungan? tidak ada
catatan pasti memang kapan Kesultanan Bulungan berdiri secara tepat, namun bila
mengacu pada tahun awal kepemimpinan Wira Amir pada tahun 1731 M bertepatan
pada 1144 H,4 maka diperkirakan
Kesultanan Bulungan berdiri sekitar tahun tersebut, dengan beribukotakan di
desa Baratan lalu kemudian dipindahkan ke Salimbatu masih di era Amiril
Mukminin juga. Sejak itu penyebaran Islam di wilayah Kesultanan Bulungan secara
terus menerus berlangsung, umumnya lebih cepat tersebar dikawasan pesisir yang
memang dibeberapa tempat di nusantarapun, Islam cepat berkembang dikawasan
tersebut. Bahkan tidak hanya terkonsentrasi pada Bulungan saja, namun juga
beberapa suku bangsa lainnya seperti suku Tidung bahkan adapula orang-orang
Dayak Berusu5 yang memeluk
agama Islam walaupun jumlahnya memang tidak banyak awalnya. Karena itu dapat
disimpulkan bahwa sejarah terbentuknya Kesultanan Bulungan tidak lepas dari
peran yang saling mengisi antara ulama dan umara atau pemimpin yang dalam tahap
awal diwakili oleh Said Abdurahman Bilfaqih yang kemudian diteruskan oleh para
pendakwah lainnya seperti Syekh Al-Magribi dan lain sebagainya dengan pihak
penguasa yang diwakili oleh Wira Amir atau kelak dikenal sebagai bapak pendiri
dari Kesultanan Bulungan yang bergelar Sultan Amiril Mukminin dan keturunannya.
Ada beberapa indikasi yang menyatakan telah lama
terbentuknya masyarakat Islam di Bulungan bahkan jauh dimasa awal-awal
berdirinya Kesultanan Bulungan, yang pertama menurut penuturan H. E. Mohd.
Hasan dkk, di desa Baratan yang pernah menjadi pusat pemerintahan wira Amir
ditemukan sisa-sisa pondasi mesjid yang sudah tua, ini menegaskan bahwa jauh
sebelum masa awal pemerintahan Sultan Amiril mukminin sudah terdapat pemukiman
Islam di Baratan pada masa itu.6 Satu hal yang
telah banyak dirumuskan oleh para ahli sejarah maupun para arkeolog islam,
bahwa syarat terbentuknya sebuah Kesultanan muslim yang biasa disebut dengan
tahap Ketiga kedatangan Islam yaitu melembaganya
Islam berbentuk sebuah Kesultanan, ia tentunya harus melewati tahap Kedua yaitu
agama Islam mulai dianut dan dipeluk oleh orang-orang disuatu daerah, itu
artinya masyarakat Islam telah terbentuk sebelumnya di Bulungan.
Indikasi kedua adalah penggunaan beduk atau tabuh, Beduk
yang saat ini berada di mesjid Kasimuddin saat ini merupakan beduk yang diambil
pada mesjid yang ada di Baratan,7 bahkan sampai
hari ini masih bisa digunakan, tradisi beduk sendiri pertama kali dimulai oleh
mesjid Agung Demak sebagai pertanda bahwa waktu shalat sudah dekat, sangat
mungkin beduk ini sendiri muncul pase yang cukup awal setelah kedatangan Said
Abdurahman Bilfaqih di Bulungan. []
1. Drs. H.
Syarifuddin dkk,“Sejarah Banjar”, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selata, Oktober 2005). hlm 94
2 .Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. “Renaisans
Islam Asia Tenggara Sejarah dan Wacana”, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya. Cet-1. September 1999 hlm. 78
4 .Tahun 1144 H merupakan hasil
Konversi dari tahun 1731 M, menggunakan program Software Hijri
Gregorian Conventer. Conversi dilakukan oleh penulis pada 23 Desember 2008.
5 .Dt. Mohd. Saleh gelar Dt. Perdana
bin Alm Dt. Mansyur.“Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503
M atau th 919 H.” t.th. lihat tentang statistik data tahun 1948 dan
1951 dari Kantor Urusan Agama Kabupaten Bulungan, jumlah penduduk kurang lebih
90.000 jiwa. Orang Bulungan dan Tidung 100 % penganut agama Islam, di Kajan
Hilir; orang Melaran 95 % Heiden sedangkan 5 % Muslim sedangkan orang Berusu 15
% Muslim dan 85 % Heiden. Heiden dimasa itu masih mengacu kepada istilah
penganut kepercayaan lokal, dalam hal ini berlaku kepercayaan adat istiadat
suku Dayak yang bersangkutan. lihat hlm. 10
6 .H. E. Mohd. Hasan dkk,“Sejarah
Masuknya Agama Islam di Kabupaten Bulungan”,(Tanjung Selor: Panitia Abad XV
H Kabupaten Bulungan, 26 November 1981). hlm 24
No comments:
Post a Comment
bulungan