Ada sebuah pepatah yang pernah penulis kenal, “sejarah tidak selalu memihak pada subjeknya”, begitulah yang bisa kita gambarkan mengenai sosok kontroversi yang bernama Brigjen. Suharyo Padmodiwiryo alias Hario Kecik ini.
Dalam sejarah modern Bulungan, khususnya periode 1960-an ke atas, mantan Pangdam IX Mulawarman ini memang sangat tenar khususnya dikalangan tua masyarakat Bulungan, apalagi kalau bukan mengenai “Insiden 1964”, sebuah peristiwa bersejarah yang pahit bagi masyarakat Bulungan, dalam peristiwa pahit tersebut Istana Kesultanan Bulungan di bakar dan tak kurang dari 50 orang bangsawan dan para cerdik pandai Bulungan di culik hingga kini tidak diketahui lagi dimana keberadaan mereka.
Para sesepuh di Bulungan bahkan tidak sedikit yang menuding bahwa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo alias Haryo Kecik inilah sebagai dalang dalam peristiwa berdarah tersebut. Namanya tercatat dengan jelas dalam buku-buku mengenai sejarah Bulungan, sebagai sosok yang dapat dikatakan tidak mendapat simpati dihati sebagian masyarakat Bulungan kala itu, kalau memang tidak ingin dikatakan dibenci.
Terlepas dari hal tersebut, penulis mencoba untuk menggali sejarah mengenai sosok kontroversial ini, tidak mudah memang untuk melakukan hal itu apa lagi jika kurangnya bahan pustakanya. Syukurlah penulis mendapatkan beberapa buah buku memoir orang-orang yang cukup mengenal cukup dekat sepak terjang Brigjen Suharyo Padmodiwiryo, khususnya pada tahun 1960-an. Siapa Brigjen Suharyo Padmodiwiryo alias Harjo Kecik ini? itulah pertanyaan besar yang coba kita gali, setidaknya sebagai study awal.
Dalam memoarnya, mantan Pangdam IX Mulawarman, Brigjen Soemitro, -pengganti Suharyo- menceritakan mengenai Suharyo yang ia kenal, Suharyo sering disapa oleh beliau dengan sebutan “Cik” atau “Kecik”, mereka berdua dizaman gerilya dulu memang saling kenal, seperti yang dipaparkan oleh Soemitro:
“Waktu zaman gerilya dulu, saya komandan batalion di Malang dan dia (Suharyo) komandan Korps Mahasisiwa. Saya tetap ingat, pada tahun 1958 saya ketemu dengan dia di Ford Benning (Infantry Cantre). Dia selesai sekolah Regular Officer Advance Course bersama Panggabean (Jendral), Brotosewoyo, Priatna, Kris Sudono dan Muskita. Saya baru masuk bersama Willy Sudjono, Iskandar Ranu. Suharyo tinggal karena ikut Airborne Course dan kakinya, kalau tidak salah, keseleo (verzwikt) dan di-gips”.
Hubungan keduanya nampaknya sempat agak tegang justru ketika Brigjen Soemitro ditugas kan Jendral Ahmad Yani untuk menggantikan Suharyo. Jendral Ahmad Yani nampaknya paham sepak terjang Suharyo di Kaltim, ia juga dianggap dekat dengan Presiden Sukarno yang saat itu menjabat sebagai Pangti (Panglima tertinggi) sekaligus Presiden. Mungkinkah presiden Sukarno mengatahui sepak terjang Suharyo di Kaltim? apakah Sukarno mengetahui Istana Kesultanan Bulungan di bakar? apakah Suharyo benar sebagai dalang utama atau justru hanya sebagai pelaksana dilapangan? sejauh mana hubungan Suharyo dan Sukarno?, pertanyaan-pertanyaan ini tentunya perlu studi yang dalam untuk menjawab dan menemukan benang merahnya. Diluar dari itu, Brigjen Soemitro menceritakan mengenai sebab mengapa Suharyo oleh para petinggi di AD, nampaknya tidak begitu disenangi, Soemitro mengatakan:
“Saya mengerti mengapa pimpinan AD mau menarik Brigjen Suharyo. Memang sudah lama kami di Jakarta mendengar, bahwa Bahwa Brigjen Suharyo yang jadi Panglima di Kalimantan Timur itu terlalu dekat dengan PKI. Saya mendengar, bahwa setiap kali Haryo ke Jakarta, dia keluar masuk Istana tanpa diketahui seizin Jendral Yani. Ini artinya, dia sangat dekat dengan Bung Karno, Sekali ia pernah kepergok oleh Jendral (Ahmad) Yani di Istana”.
Banyak hal yang menarik diceritakan Brigjen Soemitro dalam memoarnya tersebut, antara lain suasana kota Balikpapan menjelang kepergian Suharyo, saat itu sambutan organisasi onderbownya PKI terhadap dirinya sangat dingin, belum apa-apa saat baru menginjakkan kaki dibandara sepinggan, ia sudah diteror dengan sepanduk bertuliskan “Selamat Jalan Bapak Brigadir Jendral Suharyo”, lalu dibelakangnya ada sepanduk “Selamat datang saudara Brigadir Jendral Soemitro”. Brigjen Soemitro jelas berang dibuatnya; Wah, kok ini ada “bapak” dan ada “saudara’! Waktu itu tersentak hati saya sejenak, tersinggung. Tapi saya diam saja sementara saya berfikir: “apa-apaan ini!” Massa sepertinya sudah dihasut untuk membedakan Suharyo dengan saya”.
Pada malam harinya, Kodam mengadakan acara perpisahan untuk Brigjen Suharyo dan memperkenalkan Brigjen Soemitro di gedung bioskop. Suharyo berpidato tidak kurang empat jam, telinga Brigjen Soemitro di buat berdiri ketika Suharyo mengatakan “Sebenarnya saya masih senang disini, masih mau lebih lama disini. Tapi orang Jakarta tidak mengerti Revolusi”. Jelas saja Soemitro di buat tidak senang, apa lagi kemudian muncul istilah yang ditujukan kepada Brigjen Soemitro; “Jendral kanan yang nggak tahu Revolusi”. Hal ini sempat pula dipertanyakan Barigjen Soemitro pada Suharyo pada keesokan harinya, saat mereka bertemu di Sheel Guest House. Bagi Soemitro, Suharyolah yang berada dibalik kejadian-kejadian teror poster tersebut, Suhayo sendiri tidak mengakui hal itu. Disitulah kekesalan Soemitro tidak bisa dibendung, seperti yang tertulis dalam memoarnya:
“Jangan Bohong”, kata saya. “kamu di Belakangnya. Kamu ngaku senang diganti oleh kawan sendiri. Kamu pidato empat jam. Enggak kurang lama kamu pidato disana Berapa tahun kamu disini? Njeplak seenakmu sendiri! Urusan apa kamu sebut Jakarta tidak mengerti revolusi. Kamu masih tentara atau tidak? saya tahu, Cik, Kamu pandai menembak. Tapi kamu tidak pernah perang, Cik, Kamu tidak pernah perang.” begitulah kekesalan Brigjen Soemitro tumpah sambil menuding suharyo dengan telunjuknya. Namun karena mereka berkawan, masalahnya hari itu juga selesai.
Beberapa hari setelah kepergian Suharyo, Brigjen Soemitro kemudian “menggulung” PKI dan onderbownya, macam SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Gerwani, Pemuda Rakyat dan Perbum. Menariknya selain dari sipil diketahui beberapa oknum militer juga di tahan karena diketahui “dekat” dengan PKI.
Brigjen Soemitro sendiri menyayangkan sikap Suharyo yang dianggapnya berlebihan, seperti yang ia tulis: “Yang saya sayangkan adalah bekas-bekas Kesultanan Tenggarong dan Kutei sangat dirusak secara berlebih-lebihan oleh pendahulu saya. Sok Revolusioner!”. Ya wajar saja Brigjen Soemitro menyayangkan hal itu, karena bagaimanapun hal itu akan menimbulkan trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat. Jika Istana Kesultanan Kutai saja di rusak, walaupun begitu oleh Moeis Hassan sempat diselamatkan dengan cara disegel, bukan hal yang musthil, Istana Kesultanan Bulungan jauh di utara, jauh dari pemberitaan media, dirusak atas komando orang yang sama kala itu. Hanya Allah yang tahu.
Apakah Brigjen Suharyo punya kedekatan yang “mesra” dengan PKI? itu bukan hal yang mudah untuk dijawab, walaupun demikian, memoar Brigjen Soemitro memberikan gambaran bagaimana sikap PKI yang berbeda dengan Suharyo dan Soemitro. Brigjen Soemitro sendiri nampaknya kurang yakin kalau Suharyo dekat dengan PKI, ia tidak begitu percaya hal itu, seperti yang ia tulis sendiri:
“Sebenarnya, seingat saya, Haryo bukan terlalu dekat dengan PKI seperti yang diduga oleh banyak orang. Dia, saya kira, dulu-dulu dekat dengan PSI. Saya yakin dia bukan PKI. Bagaimana ia bisa dikatakan PKI! hidupnya di Ft. Benning mewah. Di samping punya used car saya dengar ia punya kendaraan baru”.
Apakah penyataan Brigjen Soemitro itu hanya sebagai bentuk ketidak percayaan karena Brigjen Suharyo dapat dikatakan berkehidupan mewah, karena memang saat itu PKI justru menjauhi hal-hal tersebut atau mungkin karena nalurinya sebagai kawan lama. Namun jangan pula kita lupakan informasi yang penting. Datuk Iskandar Zulkarnaen memberikan informasi dalam bukunya, saat terjadi insiden 1964 tersebut, Brigjen Suharyo memerintahkan seluruh harta benda di Istana Bulungan sebelum dibakar, dikeluarkan dan menjarahnya. Suharyo bahkan dikabarkan membutukan dua kapal, masing-masing KM Renteh dan KM Merah untuk membawa harta jarahannya ke Surabaya. (Datuk Iskandar Zulkarnaen:82:2008). Apakah ada benang merah kejadian penjarahan tersebut dengan kepemilikan barang mewah seperti yang disampaikan Brigjen Soemitro? tentunya perlu studi lebih dalam mengenai masalah tersebut, karena sampai hari inipun “National Treasure” dari Kesultanan Bulungan itu tidak ada kabarnya, seperti hilang ditelan bumi.
Lain Brigjen Soemitro, lainpula Moeis Hassan. dalam memoarnya, ia tidak ingin terlalu berseberangan dengan Suharyo, Gubernur Moeis Hassan kala itu hanya menyinggung hal-hal yang “positif” saja. Sebagian masyarakat menilai Brigjen Soharyo terlalu banyak mencampuri urusan pemerintahan daerah khususnya semasa berlakunya SOB (Staat van Oorlog en Beleg). Dimata Moeis Hassan, Suharyo digambarkan orang yang periang, suka goyon tapi bisa keras dalam tindakan. Ia kadang terlalu cepat mengambil keputusan tanpa menyadari bahwa tindakannya akan merugikan orang lain. Dia tidak segan-segan menggunakan tangannya, bila perlu. (Moeis Hassan: 166: 1994).
Nasib Brigjen Suhayo sendiri, digambarkan tidak begitu beruntung, khususnya setelah Pak Harto menjadi President. Saat ia melangsungkan College War di Moskow Rusia, Indonesia telah berganti kepemimpinan. Brigjen Suharyo memilih untuk tidak pulang ke indonesia, barulah tahun 1977 ia pulang ke Indonesia dan sempat di tahan. Setelah reformasi nama Suharyo muncul lagi ke publik, sebagai penulis novel produktif, diantaranya, Si Pemburu, Badak Terakhir dan Lesti.
Sumber pustaka:
Ramadhan K. H. 1994. “Soemitro; Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hassan, H. A. Moeis, 1994. “Ikut Mengukir Sejarah”. Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu.
Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.
Dali, H Yusuf. 1995. “Pesona Dan Tantangan Bulungan”. Jakarta : LKBN Antara.
Iskandar Zulkarnaen, Datuk. 2008. “Hikayat Datoe Lancang dan Putri Kayan”. Cet-1. Samarinda : Pustaka Spirit.
Http: // Mas-Sugeng.blogspot.com
Http://isandri.blogspot.com
Http://anusapati.blogdetik.com
mas kalo nulis tu cover both side of the story. Ini mah sampah provokatif. Hari gini...
ReplyDeleteanda boleh berpendapat demikian, itu hak anda, tapi maaf apa yang saya sampaikan adalah bagian dari memori lama, terhadap apa yang tejadi di bulungan pada tahun 1964, saya tidak punya maksud provokatif, lagi pula saya hanya menulis apa yang sudah dimulai orang-orang yang mendahului saya, dan saya memiliki rujukan atas hal itu. trimaksih
ReplyDeleteGood Story, maaf saya bukan putra kalimantan tetapi Putra Sunda. Menurut saya ini bukanlah provakatif, bagi saya Bung Zarkysi hanya menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi pada kesultanan Bulungan pada tahun 1964.hanya orang2 yang berjiwa komunis lahh yng menyebut ini sebagai provokatif.. Terima Kasih
ReplyDeleteterimaksih mas, seperti yang kita tahu, Metro Tv telah menyiarkan mengenai sejarah bulungan pada 9 oktber 2010, berjudul "Merah di Langit Bulungan" disitu kita bisa melihat apa yang terjadi pada sejarah kesultanan bulungan yang dituduh melakukan tindakan melawan negara, suatu tuduhan yang tidak terbukti sampai hari ini, tapi akibatnya sungguh diluar batas kemanusiaan.
ReplyDeleteBagi Anda yang langsung percaya dengan tulisan ini, maka Anda kurang cerdas, kalau kalau memang tidak ingin dikatakan bodoh. Orang cerdas bisa mencium aroma tendensius dalam tulisan ini. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang hiperbolik, jelas sudah jauh dari apa yang bisa kita sebut sebagai jurnalisme. Jika kita sedang membicarakan sejarah, maka sudah semestinya tidak ada ruang untuk opini di dalam pembicaraan tersebut. Dan di dalam tulisan di atas, opini itu tersebar di mana-mana. Hanya saja bentuknya berupa statement-statement, yang parahnya, hanya dari satu sisi saja.
ReplyDeleteOhya, saya juga tidak heran jika penulis memang tidak senang dengan kekukuhan NKRI, dan bertendensi untuk mendukung pemekaran (bahkan rasanya jika masih mungkin dia juga akan berjuang untuk mendirikan Negara baru). Nama penulis--Zarkasyi VAN Bulungan--sudah sangat menjelaskan dirinya ingin menjadi bagian dari negara mana.
Terimakasih.
Assalamualaikum Wr. Wb,
ReplyDeleteTerimaksih atas tanggapan dari kawan-kawan yang membaca tulisan tersebut, yah saya tidak heran jika ada yang menyangkal sebuah tulisan, itu bagi sebagian orang mungkin hal yang biasa.
Bagi mereka tidak mengetahui dan merasakan apa yang ada dalam pikiran dan hati orang-orang Bulungan tentang peristiwa yang meyesakan dada tersebut, wajar saja bisa berkomentar seperti itu. perlu anda ketahui sejak peristiwa tersebut tidak sedikit orang yang trauma, sendi-sendi budaya Bulungan hampir lumpuh, hanya kuasa Allah Swt dan kesadaran kami untuk kembali membangun harga diri dan keteguhan hati kami yang mampu membuat kami berdiri dari puing-puing di dibuat oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, tulisan ini bukanlah tulisan pertama yang menyinggung ulasan tersebut, dan hal itu sudah menjadi rahasia umum. Jauh sebelumnya para pendahulu saya telah menulis dan mengumpulkan data-data dan fakta mengenai insiden 1964 tersebut, jika hanya satu atau dua orang yang mengingat peristiwa tersebut, mungkin saja orang bisa mengelak, tapi insiden 1964 adalah ingatan bersama atau memori kolektif orang Bulungan, yang tidak hanya diketahui generasi tua tapi juga generasi muda Bulungan. Apa anda pikir itu hal yang mudah dilupakan?
Lucunya kami yang berusaha mengkaji kembali peristiwa tersebut dianggap tidak nasionalis, lupakah bahwa bangsa ini didirikan atas cita-cita yang sama dan rasa keadilan yang sama. Maaf saja, pandangan nasionalis sempat macam ini menurut saya yang sebenarnya berbahaya. Saya berharap kawan, bukan orang yang seperti itu.
Saya sendiri tidak menulisnya jika tidak memiliki bahan rujukan, peristiwa itu sendiri sangat jelas dikatahui dari sumber2 yang telah saya sebutkan, khususnya sumber2 dari Bulungan, karena memang peristiwa itu memang terjadi bukan rekaan. kronologis peristiwa serta apa dampak yang telah ditimbulkannya telah tercatat rapi dalam dokumen resmi kerabat kesultanan Bulungan dan telah dibukukan serta diketahui khalayak ramai.
Bahkan oleh tim independen Metro TV telah melakukan penelitian beberapa bulan di kabupaten Bulungan dan menemui sumber2 yang mengetahui benar kejadian tersebut, mereka tidak lain adalah orang-orang yang langsung merasakan dampak dari peristiwa tersebut maupun keturunan para pihak yang menjadi korban, dan kesimpulan yang sama diperoleh dari hasil kajian tersebut dengan data-data dan fakta yang dikumpulkan para pengkaji sejarah Bulungan sebelumnya, anda boleh cek di Metro files pada 09 Oktober 2010 berjudul “Merah di Langit Bulungan”.
Apakah kita masih meragukan kredebilitas dari tim indepanden tersebut? Itu tergantung bagaimana anda sendirilah yang menilainya.
Dari awal tujuan tulisan ini bertujuan menampilkan sisi sejarah yang hampir terlupakan, mengenang bagi mereka yang telah terlupakan dan berpulang tanpa diketahui dimana nisannya, dan untuk membuka pemahaman tentang sejarah Bulungan khususnya pada tragedi insiden 1964 tersebut.
Saya sendiri tidak habis pikir ada saja pihak yang secara instan mencoba mengalihkan isu sentral dengan mengait-ngaitkan nama blog saya hanya karena saya mencantumkan kata “Van Bulungan’ yang secara harpiah tidak lain adalah “Dari Bulungan”, saya kira kawan2 yang cerdas tentu akan memilah mana yang “sampah’ mana yang bukan.
Terimakasih.
tulisan ini hanya mendengarkan dari satu pihak dan benar terlalu mengekspos statment statment dari satu pihak saja, sebagai landasan pembenaran. untuk acara tayang di metro tv orang yang cerdas akan bilang acara itu sampah media dan tidak sesuai dengan kode etik jurnalisme hanya mencari nara sumber satu pihak saja dan nara sumbernya(pun) dari cara bicaranya juga bisa dinilai tidak ada yeng berkompeten dengan bangganya bilang bahan bahan istana dikirim dari negri penjajah dari situ sudah bisa di jadikan penilaian.harusnya metro tv juga menghadirkan nara sumber yang berlawanan. tidak bisa membedakan fakta dan pendapat.
ReplyDeletesaya tidak terlalu heran jika ada yang pihak yang sekuat tenaga untuk mengaburkan fakta sejarah dengan alasan ini dan itu, jangan lupa selama ini versi dari pihak pelaku yang sudah lama muncul dipermukaanseperti yang dipaparkan "haryo Cs" dalam memoarnya, wajar saja rakyat bulungan memandang versi tersebut tidak bisa dibenarkan karena sudah melukai hati dan pikiran masyarakat Bulungan.
ReplyDeletenice....................... ^_^v
ReplyDeleteterimakasih ^_^
ReplyDeleteCiri-ciri orang bodoh : suka melupakan sejarah,suka memutarbalikan fakta, ingin menang sendiri,selalu tidak mau disebutkan komunis (padahal mereka adalah komunis sejati)
ReplyDelete"trimakasih pencerahannya pak zarkasyi, sebagai orang kutai asli, tulisan ini cukup menjawab pertanyaan2 saya dari dulu, literatur2 kraton kutai di tenggarong hampir abis semua, dan cerita yg kami terima sebagai generasi muda adalah semua literatur2 itu habis di bakar tentara..., cuma itu yg kami dengar...., saya sangat bersyukur ada orang seperti bapak yang mau menulis tentang hal ini, smoga jadi amal ibadah utk bapak., amien"
ReplyDeletepada saudari Dian Nebula, terimaksih banyak saya ucapkan atas dukungannya, saya juga turut prihatin atas apa yang terjadi pada istana Kutai, semoga kita dapat mengambil hikmah dalam tiap peristiwa sejarah.
ReplyDeletesemoga pula bangsa ini jujur untuk menceritakan sejarah pada generasi muda kedepannya. salam takzim dari saya.
baguuuuusss sekaleeee....
ReplyDeletesy sbg putra daerah bulungan bangga denagn tulisan ini..
kesultanan bulungan yang ditanjung palas memang banyak menyimpan sejarah tersendiri,,sy sempat brtanya sama almarhum datuk sy,,byk cerita pilu dibalik bulungan yg skarang ini,,dr masa2 jepang brkuasa,belanda sampe PKI,,,sedih,,tapi bangga,, nice :)
terimaksih banyak saudari Fawziya Ibrahim, semoga tulisan kecil ini bisa bermanfaat untuk kita, mohon dukungan dan doanya ^_^
ReplyDeletehmmm,mungkin kejadian di bulungan itu hampir mirip seperti revolusi sosial pasca revolusi 17 agustus 1945 kali yak,dimana rakyat jelata menggulingkan pemerintahan feodal di daerah mereka masing2x karena dianggap mewakili kelas borjuis dan penindas...well sometimes things are better left unsaid..no one knows about the truth
ReplyDeleteada perbedaan mendasar tentang apa yang terjadi pada revolusi sosial di sumatra timur dan insiden 1964 di bulungan, jangan lupa Bulungan sudah menjadi bagian indonesia sejak 1949.
ReplyDeletejelas tak bisa disamakan, pemerintahan Feodal dan borjuis seperti apa? seluruh akses pemerintahan diserahkan oleh kesultanan bulungan kepada negara, kesultanan bulungan tak memiliki apa-apa, termasuk seluruh ladang-ladang minyak di Tarakan, begitupula salah satu istana bulungan di rubah menjadi kantor pemerintahan kabupaten bulungan.
lucu kalau mengatakan istana bulungan duhancurkan karena feodalisme, asal anda diketahui sebagaian besar saksi yang selamat mengatakan mereka terpaksa membakar istana karena ditodong dengan senjata.
ribut ribut aja kejadian lalu merupakan sejarah yang terjadi sudah terjadi kebenaran itu tergantung masing - masing pihak yang menilai .
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletebenar itu kejadian masa lalu kawan, tapi tak lantas membuat pelakunya bebas di pengadilan, HARYO KECIK harus dituntut atas kejahatan yang tak berprikemanusiaan yang di buatnya.
ReplyDeleteada bukti??? kalo ada silahkan ajukan ke pengadilan sama seperti kasus KKN keluarga cendana (namun sayangnya mentok karena dianulir ama habibie)....saya telah membaca buku2x hario kecik dan tidak benar hario kecik TIDAK BERTEMPUR seperti yg si soemitro omongin....bisa dikroscek dengan pernyataan soebadio sastrosatomo dimana badio adalah kawan dekat hario (dan orang PSI)....kasus pembakaran istana bulungan 1964 hampir mirip dengan revolusi sosial di solo 1945~1946 dimana keraton surakarta diserbu rakyat.....
DeleteJaman dulu memang jarang Tentara (Reguler) bertempur, mereka hanya sembunyi dengan lembaran uang. Jika mau beli2 sesuatu tinggal menggunting sendiri uang tersebut. Yang banyak bertempur dan banyak mati (karena tidak mendapat pelatihan khusus ketentaraan) adalah TP/TRIP. Merekalah yang benar2 bertempur sampai mampus di garis depan.
DeleteUmur saya sekarang baru 64 tahun, jadi tidak banyak yg bisa saya kemukakan untuk peristiwa yg terjadi pada 1961 s/d 1965, di mana NKRI sedang sedang melaksanakan Trikora, kemudian Dwikora. Tapi yg saya yakini adalah, bahwa Bung Karno benar telah mengeluarkan Perintah tsb. Re.peristiwa Bulungan, tidak terlepas barangkali dengan operasi infiltrasi, operasi intelejen, operasi devide @ impera, dari musuh (Inggris, Belanda) dlsb, sehingga pasti rumit lah utk bisa digali sampai jelas. Sebagai contoh, tontonan "merah di langit bulungan (MetroTV)" narasumbernya si lurah yg umurnya paling pol sebaya dengan saya, tetapi dia bicara se-akan2 beliau saksi mata dan sudah jadi lurah pada waktu itu (absurd). Lantas, sumber cerita di atas diambil dari Jendral Soemitro, seorang mantan PangKomKabTib, tangan kanan Jend.Besar Soeharto, yg kita tahu peranannya dalam merusak NKRI. Ini kan sama saja dengan "usaha menguak tabir perang dunia ke-2 dgn memakai narasumber si fasis Hitler", ya gak bakal ketemu lah. It's a joke man !!! Tapi menurut saya yg jelas, yg jadi alasan peristiwa dan ulasan di atas adalah soal MINYAK. Iraq di Timur Tengah di-acak2 Amerika cs karena minyak, Libya diserbu NATO karena minyak. Propinsi Kalimantan Utara dimekarkan juga karena minyak. Siapa sebenarnya yg paling diuntungkan ? Itu sebenarnya yg paling penting utk diungkapkan. Wallahualam, terimakasih,
ReplyDeletePd saat sy menulis komentar ini Hario Kecik baru saja meninggal. Dia diperlakukan seolah-olah pahlawan besar. padahal dilihat dr sepak terjangnya di masa menjadi Pangdam Mulawarman kita tahu kecenderungan politiknya ke arah mana. Orang2 PKI dan simpatisannya memang dr dulu paling pintar menyelewengkan sejarah utk kepentingannya.
ReplyDeleteDisaat ini mereka berusaha menyusup ke berbagai arah sambil berusaha mengaburkan perbuatan mereke di masa lalu yg berkali-kali ingin merebut kekuasaan. Generasi muda saat ini yg tdk tahu kenyataan sejarah yg sesungguhnya dg mudah teperdaya dan mempercayai bahwa mereka adalah korban. Padahal sesungguhnya merekalah pelaku pembantaian yg sesungguhnya.
Kalau golongan mereka berhasil merebut kekuasaan, ujung2-nya keadaan negara akan menjadi seperti Korea Utara dimana terjadi penindasan dimana-mana. Kalau itu benar terjadi baru para generasi muda pendukung PKI/komunis akan terbuka matanya, namun sayang semuanya sudah terlambat. Yang ada tinggallah penyesalan, dimana kebebasan dan kemerdekaan yg selama ini dinikmati bangsa Indonesia sudah hilang di bawah rezim Komunis seperti Korut. Kalau sudah terjadi seperti ini apa kalian mau...?. Jangan pernah memberi kesempatan sekecil apapun untuk Komunis berkuasa lagi di Indonesia kalau kalian tidak ingin menyesal!
Kamu yang gak tahu kenyataan. Asal ngomong saja.
DeleteKamu tidak tahu Pak Hario itu pernah ditahan tanpa pengadilan dengan tuduhan komunis yang TIDAK TERBUKTI, tanpa ada konklusi, dan mencoreng namanya hingga dia mati.
"Seolah-olah pahlawan besar", DIA MEMANG PAHLAWAN BESAR YANG DIDISKREDITKAN. Tahu apa kamu tentang jaman revolusi? Tahu apa kamu tentang perlawanan rakyat di Surabaya?
Kamu boleh tanya semua veteran yang pernah aktif gerilya di Jember dan Kawi tentang sosok Pak Hario.
Le' guoblok yo ojo nemen-nemen mas.
Saudara Muhzarkasy, saya sangat hargai kepedulian anda untuk menggali sejarah dan tulisan yang sedikitnya dapat merupakan pencerahan serta memberi contoh kepada masyarakat utk peduli terhadap sejarah. Tetaplah bersemangat untuk menggali kebenaran dan maklumi bahwa:
ReplyDelete1. "Siapapun" tidak akan rela apabila kerabat atau keluarganya di rendah kan.
2. Pengalaman saya, lebih banyak orang baik yang meninggal lebih awal. oleh karenanya saya selalu utamakan taffakur dan taubat, agar tidak disiksa hidup lebih lama di dunia dengan berbagai kesulitan.
Semoga kita semua di bukakan mata hatinya utk mensyukuri nikmat dan bersiap menghadapi pengadilan akhirat.
Satu hal yang kami masyarakat Bulungan tahu, pak Haryo Kecik merupakan dalang perbuatan tersebut, mau kalian akui atau tidak bagi kami memang seperti itu adanya. biarlah nanti sejarah yang akan menguak segalanya. saya cuma ingin mengatakan Selamat jalan Brigjen, semoga selamat dihadapan para penjaga di alam sana!.
ReplyDeleteKesultanan Kutai pada tahun 1964 hampir dibakar oleh Pasukan TNI atas perintah Mayjen Soehario Padmodiwirio/ Pak Hario Kecik. Kami sebagai keturunan Kesultanan Kutai tidak akan pernah lupa tanah leluhur kami dihina dan dijarah oleh Pak Hario Kecik dan Baju Kebesaran Kesultanan Dibakar dihadapan seluruh anggota keluarga kesultanan dan Harta kesultanan dirampas habis oleh pak hario kecik. Kami akan mengangkat Insiden tahun 1964 dan Menghukum keturunan Pak Hario Kecik sampai ke akar akarnya.
ReplyDelete