[Kota Tanjung Selor tempo doelo]
Dalam sejarah bulungan, sebuah bandar dagang baru
yaitu Tanjung selor dibangun berseberangan di Tanjung Palas. Tanjung selor
menjadi pusat perdangan yang ramai, ini disebabkan wilayah Kesultanan Bulungan
terletak pada jalur perdagangan internasional pantai timur kalimantan. Pada
masa itu aktivitas perdagangan ramai terjadi disekitar pantai timur dimana para
pedagang dari Singapura, Bwansa (Sulu), Magindanou, Bulungan dan Berau singgah
kebandar Samarinda merupakan bandar Resmi kerajaan Kutai yang juga
menghubungkan Makasar otomatis Bulungan masuk dalam jalur pelayaran
internasional pada masa itu. Bandar-Bandar ini menjadi wilayah berkumpulnya
pusat perdagangan setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, Sehingga jual beli
hasil bumi yang dikumpulkan diwilayah hulu sungai seperti sarang burung, lilin,
rotan dan lain sebagainya juga diperdagangkan di bandar dagang milik kesultanan
bulungan ini.
menurut laporan yang dibuat oleh J. Zweger sekitar
tahun 1853 misalnya, mencatat aktivitas dagang yang berkembang pesat saat
itu,Munculnya Tanjung Selor, berhadapan dengan Tanjung Palas,Ibukota kesultanan
Bulungan, memicu lahirnya kedatangan para pendatang yang juga berprofesi
sebagai pedagang dari luar bulungan, sehingga terbentuklah perkampungan baru
diseberang tanjung palas yaitu di tanjung selor. Wilayah itu tidak hanya dihuni
para pendatang berkebangsaan keturunan arab yang kemudian membuat pemukiman
yang bernama kampung Arab, namun juga di ikuti tumbuhnya kantong-kantong
pemukiman lain yang menyebar di sekitar tepi sungai ditanjung selor, selain
orang-orang keturunan Arab, tanjung selor juga dihuni suku bangsa lain seperti
orang-orang Tidung, Bugis, Jawa, Melayu (Sumatra), Banjar dan orang Cina.
Tumbuhnya kantong-kantong pemukiman ditanjung selor ini bukannya disebabkan
adanya kegiatan usaha dagang saja, namun juga karena adanya migrasi dalam skala
yang cukup besar dari tanah asal mereka. Sebagian besar dari mereka masuk dalam
kelompok Orang-orang Melayu sehingga mudah melakukan pembauran dalam
masyarakat. selain itu pembauran ini juga mempercepat penyebaran agama islam
pada masa itu. selain kampung arab, kampong dagang dan tanah seribu, dikenal
juga kampung pasar yang kebanyakan di huni oleh orang-orang banjar.
adanya interaksi dagang pada masa itu berkembang
menjadi semacam saling tukar menukar keahlian dalam bidak tehnik dan
perdagangan, contohnya pegetahuan tentang tehnik membuat perahu dan kapal,
pengetahuan tentang arah mata angin dalam pelayaran, pengetahuan tentang letak
suatu wilayah disepanjang pantai timur kalimantan (Geografi), pengetahuan
tentang Komoditi Ekspor Impor, Peredaran mata uang, dan yang paling penting
adalah pengetahuan tentang penggunaan tulisan dan bahasa melayu yang digunakan
sebagai Liguafrapanca (Bahasa Internasional) sebagai bahasa pengantar, temuan
Arkeologis berupa kompleks Makam-makam Raja-raja Bulungan di tanjung palas
semakin menguatkan adanya unsur-unsur penggunaan bahasa dan tulisan arab melayu
di lingkungan dalam atau luar istana. disinyalir para utusan Kesultanan
Bulungan menggunakan tulisan arab melayu sebagai perantara dalam bidang
perdagangan, politik, maupun urusan diplomasi kenegaraan dengan
kerajaan-kerajaan disekitar wilayah kesultanan bulungan.
Sumber foto: Istimewa
Kedua perahu dan sebuah rakit tersebut berusaha untuk mencapai pulau Nias yang berjarak 55 mil laut dari tempat tenggelamnya kapal. Keesokan harinya, tanggal 20 Januari, sebuah kapal Belanda yang bernama "BOELOENGAN" mendekati kelompok orang - orang Jerman tersebut. Kapal tersebut mendekat kira - kira 100 m dari perahu Vehring. Dari atas kapal ada yang meneriakkan "apa kalian orang Belanda?". Saat mereka mengetahui bahwa ini adalah kelompok orang Jerman, kapal "BOELOENGAN" berbalik arah lalu menghilang meninggalkan mereka. Oleh karena ini, orang - orang Jerman yang berada di atas rakit tidak dapat kesempatan untuk selamat. Seorang penjual toko emas Yahudi yang telah meninggalkan Nazi Jerman, meloncat ke perairan dan berenang menuju ke kapal "BOELOENGAN". Walaupun demikian, tanpa kasihan orang - orang Belanda menolaknya dan memaksanya kembali ke perairan. Ini adalah keputusan mati yang tidak layak.
ReplyDeleteKemudian pada tanggal 20 Juni 1949, Albert Vehring melaporkan kejadian yang tak dapat terbayangkan itu dengan mengangkat sumpah kepada notaris Jerman, Bernhard Grünewald, di Bielefeld. Dia memberikan penjelasan bahwa pada saat air laut naik, setengah dari awak perahunya keluar dari perahu dan berpergangan pada perahu agar perahu tersebut dapat menjadi lebih ringan. Dan orang - orang yang berada di rakit tidak dapt diselamatkan lagi.
sumber : http://www.bluefame.com/topic/141308-kehadiran-nazi-di-indonesia-yang-terlupakan/