Saturday, January 15, 2011

Hikayat kota Tanjung Selor (Edisi Revisi)



[Kota Tanjung Selor tempo doelo]

Dalam sejarah bulungan, sebuah bandar dagang baru yaitu Tanjung selor dibangun berseberangan di Tanjung Palas. Tanjung selor menjadi pusat perdangan yang ramai, ini disebabkan wilayah Kesultanan Bulungan terletak pada jalur perdagangan internasional pantai timur kalimantan. Pada masa itu aktivitas perdagangan ramai terjadi disekitar pantai timur dimana para pedagang dari Singapura, Bwansa (Sulu), Magindanou, Bulungan dan Berau singgah kebandar Samarinda merupakan bandar Resmi kerajaan Kutai yang juga menghubungkan Makasar otomatis Bulungan masuk dalam jalur pelayaran internasional pada masa itu. Bandar-Bandar ini menjadi wilayah berkumpulnya pusat perdagangan setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, Sehingga jual beli hasil bumi yang dikumpulkan diwilayah hulu sungai seperti sarang burung, lilin, rotan dan lain sebagainya juga diperdagangkan di bandar dagang milik kesultanan bulungan ini.

menurut laporan yang dibuat oleh J. Zweger sekitar tahun 1853 misalnya, mencatat aktivitas dagang yang berkembang pesat saat itu,Munculnya Tanjung Selor, berhadapan dengan Tanjung Palas,Ibukota kesultanan Bulungan, memicu lahirnya kedatangan para pendatang yang juga berprofesi sebagai pedagang dari luar bulungan, sehingga terbentuklah perkampungan baru diseberang tanjung palas yaitu di tanjung selor. Wilayah itu tidak hanya dihuni para pendatang berkebangsaan keturunan arab yang kemudian membuat pemukiman yang bernama kampung Arab, namun juga di ikuti tumbuhnya kantong-kantong pemukiman lain yang menyebar di sekitar tepi sungai ditanjung selor, selain orang-orang keturunan Arab, tanjung selor juga dihuni suku bangsa lain seperti orang-orang Tidung, Bugis, Jawa, Melayu (Sumatra), Banjar dan orang Cina. Tumbuhnya kantong-kantong pemukiman ditanjung selor ini bukannya disebabkan adanya kegiatan usaha dagang saja, namun juga karena adanya migrasi dalam skala yang cukup besar dari tanah asal mereka. Sebagian besar dari mereka masuk dalam kelompok Orang-orang Melayu sehingga mudah melakukan pembauran dalam masyarakat. selain itu pembauran ini juga mempercepat penyebaran agama islam pada masa itu. selain kampung arab, kampong dagang dan tanah seribu, dikenal juga kampung pasar yang kebanyakan di huni oleh orang-orang banjar.

adanya interaksi dagang pada masa itu berkembang menjadi semacam saling tukar menukar keahlian dalam bidak tehnik dan perdagangan, contohnya pegetahuan tentang tehnik membuat perahu dan kapal, pengetahuan tentang arah mata angin dalam pelayaran, pengetahuan tentang letak suatu wilayah disepanjang pantai timur kalimantan (Geografi), pengetahuan tentang Komoditi Ekspor Impor, Peredaran mata uang, dan yang paling penting adalah pengetahuan tentang penggunaan tulisan dan bahasa melayu yang digunakan sebagai Liguafrapanca (Bahasa Internasional) sebagai bahasa pengantar, temuan Arkeologis berupa kompleks Makam-makam Raja-raja Bulungan di tanjung palas semakin menguatkan adanya unsur-unsur penggunaan bahasa dan tulisan arab melayu di lingkungan dalam atau luar istana. disinyalir para utusan Kesultanan Bulungan menggunakan tulisan arab melayu sebagai perantara dalam bidang perdagangan, politik, maupun urusan diplomasi kenegaraan dengan kerajaan-kerajaan disekitar wilayah kesultanan bulungan.

Sumber foto: Istimewa

1 comment:

  1. Kedua perahu dan sebuah rakit tersebut berusaha untuk mencapai pulau Nias yang berjarak 55 mil laut dari tempat tenggelamnya kapal. Keesokan harinya, tanggal 20 Januari, sebuah kapal Belanda yang bernama "BOELOENGAN" mendekati kelompok orang - orang Jerman tersebut. Kapal tersebut mendekat kira - kira 100 m dari perahu Vehring. Dari atas kapal ada yang meneriakkan "apa kalian orang Belanda?". Saat mereka mengetahui bahwa ini adalah kelompok orang Jerman, kapal "BOELOENGAN" berbalik arah lalu menghilang meninggalkan mereka. Oleh karena ini, orang - orang Jerman yang berada di atas rakit tidak dapat kesempatan untuk selamat. Seorang penjual toko emas Yahudi yang telah meninggalkan Nazi Jerman, meloncat ke perairan dan berenang menuju ke kapal "BOELOENGAN". Walaupun demikian, tanpa kasihan orang - orang Belanda menolaknya dan memaksanya kembali ke perairan. Ini adalah keputusan mati yang tidak layak.
    Kemudian pada tanggal 20 Juni 1949, Albert Vehring melaporkan kejadian yang tak dapat terbayangkan itu dengan mengangkat sumpah kepada notaris Jerman, Bernhard Grünewald, di Bielefeld. Dia memberikan penjelasan bahwa pada saat air laut naik, setengah dari awak perahunya keluar dari perahu dan berpergangan pada perahu agar perahu tersebut dapat menjadi lebih ringan. Dan orang - orang yang berada di rakit tidak dapt diselamatkan lagi.

    sumber : http://www.bluefame.com/topic/141308-kehadiran-nazi-di-indonesia-yang-terlupakan/

    ReplyDelete

bulungan