Vierkante Paal ya?, kalau kawan menanyakan itu kepada
masyarakat Tanjung Selor, saya yakin tidak banyak yang tahu, tapi bila kawan menanyakan tentang
sejarah Tanah Seribu, saya yakin sebagian dari mereka, khususnya orang-orang tua dulu
pasti ada yang tahu.
Yup, Vierkante-paal tak lain adalah sebutan untuk
wilayah Tanah Seribu, suatu kawasan yang terletak di Tanjung Selor kota saat
ini. Seperti apa gambaran mengenai batas-batas lokasi ditanah seribu, sayangnya
saya kurang tahu pasti, namun gambaran mengenainya dituturkan oleh salah satu
penduduk setempat bernama Jamal*
“Sebagai salah satu kampung
tertua di Tanjung Selor sebutlah Tanah Seribu yang batasnya dimulai dari bangunan
‘Gedung Semambu’ (sekarang Kantor Perusda). Disebut demikian karena bangunan
itu menjadi satu-satunya gudang tempat penyimpanan atau pengumpulan bambu jenis
semambu sebelum dikirim ke Tarakan atau ke Jawa. Dari batas inilah kampung
Tanah Seribu mulai dan berakhir di ‘ujung aspal’ persis di jalan Nangka
sekarang. Sedangan ke timur berbatasan dengan jalan Skip II (Wisma Idaman)
jalan Makam Pahlawan (Crown Square) belok ke jalan Haji Maskur selanjutnya
berakhir di jalan pasar Ikan lama yang terletak didepan Toko Batu.
Tetua-tetua kampung Tanah
Seribu yang dulu dikenal sebagian besar sudah meninggal dunia antara lain; Mohammad Galeba, Haji Enci’
Muhammad Hassan, Saleh, Haji Muhammad Arif, M. Ukuy dan masih banyak lagi.
Sedangkan bangunan paling monumental di kampung tersebut adalah Langgar Al
Inayah yang sudah direnovasi lebih dari tiga kali dan juga Gedung Semambu dan
Gesung Asap.
Semua bangunan monumental
tersebut sudah tidak dijumpai lagi keasliannya, kecuali Langgar Al Inayah yang
sudah beberapa kali direnovasi dan Gudang Semambu yang sudah direnovasi menjadi
Asrama Pelajar dan terakhir kini menjadi Kantor Perusahaan Daerah Berdikari dan
satu lagi tempat bersejarah, dulu di Tanah Seribu, terdapat Taman Makam
Pahlawan yang oleh pemerintah dipidah ke samping Bandara Tanjung Harapan menjadi
Taman Makam Pahlawan Telabang Bangsa sampai sekarang. Sedangkan bekas Taman
Makam Pahlawan yang dulu, sekarang telah menjadi pusat perdagangan kaki lima
(sekarang bangunan Lapakan, berderet dengan penginapan Bulungan Indah)”
Lalu bagaimana sejarahnya wilayah ini
sempat menjadi milik Belanda? Pada tahun 1897 di era Sultan Azimuddin, Belanda
meminta wilayah 1000 meter persegi di Tanjung Selor, tercantum dalam lembaran
Negara No.83 tahun 1897. Sama seperti diwilayah lainnya, Vierkante-paal umumnya
juga menjadi wilayah kota berkembang dikemudian hari seperti diwilayah
Samarinda dan Banjarmasin.
Keterangan mengenai luas wilayah
“tanah seribu’, lebih rinci dijelaskan dalam tulisan H. Dachlansyahrani,
“Didalam Staatsblad No. 83
yang berisikan Besluit Gouvernor General No. 32 Tanggal 1 Maret 1879, yang
menyatakan wilayah Vierkante-paal di Tanjung Selor dengan luas 291, - Ha
(disebelah Utara dan Selatan masing-masing sepanjang 1.489,6 m, disebelah Timur
sepanjang 1.690 m dan disebelah Barat sepanjang 2.200 m”.
Taktik Belanda meminta wilayah seluas
1000 meter persegi dulunya juga digunakan oleh Serikat Dagang Hindia Belanda,
ketika mereka berhasil mempengaruhi penguasa setempat, bedanya dahulu digunakan
untuk perbentengan, diera pemerintah Belanda menjadi semacam kawasan
perkantoran dan pemukiman.
Kawasan tanah seribu kemudian
dikembalikan lagi kepada Kesultanan Bulungan oleh pemerintah Kolonial Belanda pada
1 Januari 1946, sekitar 41 bulan sebelum peristiwa 19 Agustus 1949, status
Vierkante-paal kembali menjadi Landschap Bulongan. Demikian informasi ini saya sampaikan, semoga
bermanfaat.
Note
* Sumber, Blog Zarkasyi Van
Bulungan: “Nostalgia Tanjung Selor Tempo Doeloe”, Gempar (Gema Parlemen) Edisi
Perdana April 2008, Buletin DPRD Kabupaten Bulungan, Nostalgia, Hal. 32 – 33.
** M. Said Karim, “Mutiara
Abadi Restruksi Perjuangan Kmerdekaan Bulungan” 2011. Pemerintah Kabupaten
Bulungan. Hal. 28
*** H. Dachlansjahrani,
“Beberapa Usaha menemukan Hari jadi kota Tanjung Selor”, 1991. Hal. 18 dan 25
No comments:
Post a Comment
bulungan