Monday, October 17, 2011

Menengok Gusti Sholihin mengenang Datuk Aziz Saleh Mansyur (Dasman).


Sketsa wajah Gusti Sholihin dibuat tahun malam pergantian tahun 1947-1948, sampai hari ini masih tersimpan rapi

Waktu itu cuaca sedang cerah-cerahnya, saya kebetulan berada di Banjar Baru saat itu, -karena tak jauh dari kost adik yang baru saja akan mengenyam pendidikan kuliah disana-, saya menyempatkan diri mengunjungi Museum Daerah Kalsel yang terkenal itu, mungkin sekitar 10 menit dari kost yang saya tumpangi dengan berjalan kaki,  tak apalah sedikit berhemat sekaligus badan jadi sehat.

Museum ini sebenarnya bukan hal baru bagi saya, karena dahulu saya sempat kuliah di Banjarmasin, namun kali ini ada hal yang menarik bagi saya begitu memasuki ruang galeri Gusti Sholihin, seorang pelukis kelahiran Kalsel yang harum namanya, konon berbekal sedikit uang dan modal nekat, Gusti Sholihin memulai hidup sebagai pelukis di Jogjakarta, salah satu karya lukis potret diri yang dibuatnya menyebutkan bahwa ia datang bertepatan pergantian waktu malam tahun 1948.

Saya memang menyuka seni, lukisan-lukisan karya almarhum membuat saya betah berlama-lama di ruangan yang hening ini, kalau dihitung-hitung mungkin karya almarhum kurang lebih ada 50-an buah yang berhasil di boyong keruangan tersebut, seorang penjaga galeri yang kebetulan mampir mengatakan bahwa almarhum merupakan salah seorang pelukis yang amat dibanggakan masyarakat kalsel, saya bisa menangkap jelas suasana tersebut, bagaimana tidak pelukis legendaris ini tidak hanya memotret Indonesia melalui lukisannya di tanah Jawa (Jogjakarta) dan Bali saja, ia juga sempat melanglang buana melukis keindahan kota Sao Poulo nun jauh di Brazil sana sekitar tahun 1950-an.

Konon sesama pelukis seangkatan beliau sempat tidak setuju maha karya almarhum yang tak ternilai harganya ini di boyong dari Jogjakarta ke Banjarmasin ketika pelukis legendaris itu tutup usia, mereka khawatir karya  tersebut hanya menjadi pengganjal pintu di gudang atau tak terawat dan teronggok lesu disengat panas matahari, saking besarnya cinta mereka terhadap almarhum dan warisan berharga yang ditinggalkan olehnya, tapi apa mau di kata rakyat kasel juga bersikeras ingin memboyong lukisan-lukisan legendaris milik sang maestro karena disanalah asal tanah leluhurnya. Kabarnya begitu alot negosiasi, butuh waktu yang lama dan kerja keras untuk memboyong lukisan-lukisan tersebut sekaligus meyakinkan kawan-kawan seangkatan almarhum bahwa lukisan-lukisan ini terpelihara dengan baik dalam galeri yang telah disediakan oleh Museum Daerah Kalsel di Banjar baru.

Akhirnya, ketemu juga dengan Gadis Rio

Lukisan-lukisan ini memang cantik bukan buatan, diantara banyak karya yang lahir dari goresan tangan almarhum saya paling menyukai karya saat beliau ada di Sao Paulo dan pulau Dewata, Bali. Gadis Rio dan dan Ngaben di Bali, adalah yang saya senangi.

Lama saya perhatikan lukisan-lukisan ini membuat saya terkenang kembali dengan pelukis legendaris asli Bulungan, Datuk Aziz Saleh Mansyur atau yang lebih dikenal dengan nama kuasnya DASMAN. Saya memang tidak mengenal beliau secara langsung, namun hanya mengenal almarhum dari hikayat yang dikisahkan orang terdekat almarhum hingga karya berharga yang ditinggalkan oleh sang empunya.

Datuk Aziz Saleh Mansyur memang seniman yang serba bisa, tidak hanya hebat dalam melukis tapi juga paiawai dalam mengukir dan pandai menggubah syair sekaligus mahir memetik gitar, sebuah komposisi seniman yang jarang ada. Saya amat menaruh hormat terhadap apa yang dicapai oleh beliau, pembawaannya tenang dan bersahaja tapi kaya dengan kreasi dan ide-ide yang brilian, kita mungkin tak menemukan orang seperti beliau dalam 10 bahkan hingga 20 tahun kedepan.

Gusti Sholihin dan Datuk Aziz Saleh Mansyur adalah dua orang seniman yang masing-masing mewakili zamannya. Sama-sama terlahir sebagai seorang bangsawan namun keduanya mengambil jalan yang tak populer bagi sebagian orang dimasyarakatnya, menjadi seorang seniman. 

Senja di Tanjung Batu, salah satu karya Alm. Datuk Aziz Saleh Mansyur yang berhasil saya abadikan

Seni rupanya sama-sama merayap dan merasuki kehidupan sekaligus memberikan gairah hidup dengan beragam ide dan karya yang meluap-luap bagi mereka. Seni menjadi pencapaian yang terkadang tak dimengerti oleh sebagian orang disekitar mereka, tapi itulah hidup. Bagi mereka seni bukan sekedar kegemaran waktu luang tapi menjadi filosofi dan pandangan hidup mereka terhadap apa yang terjadi disekeliling mereka. sebuah lukisan terkadang bisa memiliki ragam cerita dan menjadi sebuah memori mengenai sejarah hidup anak manusia.

Sepi mulai merayap ketika saya sadari saya telah sendirian di ruangan itu, senyapnya ruangan galeri menyadarkan saya bahwa ada sesuatu yang terasa kurang. Saya merasa betapa beruntungnya Gusti Sholihin karena karya-karyanya masih terus dapat disaksikan dan dikenang oleh anak cucu, kerabat serta masyarakat kalsel, berbeda dengan Datuk Aziz Saleh Mansyur, sebiji galeripun tak ada untuk memajang karya-karyanya yang tak ternilai harganya itu. Dalam sepi yang kian membalut, miris hati saya rasanya mengingat hal itu. Menengok Gusti Sholihin ternyata membuat saya mengenang kembali Datuk Aziz Saleh Mansyur, seniman Bulungan yang sulit dicari tandingannya.

Foto: koleksi pribadi.

1 comment:

bulungan