Sejarah Bulungan itu sejarah yang
maskulin, sejarah yang amat mengedepankan kisah para lelaki diatas pentas
peristiwa dan waktu. Tengoklah bagaimana kita banyak membaca hikayat Bulungan,
kita akan menemukan nama-nama besar seperti : Jau Iru, Datuk Mancang, Wira
Kelana, Singa Laut, Amiril Mukminin, Sultan Alimuddin, Sultan Khalifatul Alam
Muhammad Adil, Sultan Kaharuddin I & II, Datu Mansyur, Sultan Kasimuddin,
hingga Sultan Djalaluddin, serta banyak lagi tokoh yang tak dapat saya sebutkan
satu persatu. Sedikit sekali kita dapat membaca kisah-kisah para wanita, yang
apa bila kita melihat lebih seksama, juga layak dibincangkan dalam lintasan
sejarah Bulungan itu sendiri.
Tentu saja dalam membicarakan peran
seseorang dalam sejarah, khususnya dalam kilasan sejarah Bulungan, saya mencoba
untuk objektif sebisa mungkin walaupun harus diakui subjektifitas memang tidak
dapat dihindarkan sepenuhnya. Menafsirkan peran sejarah kaum wanita dalam
tulisan ini boleh dikatakan sebagai pengantar awal, beberapa tokoh yang saya
pilih dalam tulisan ini, tidak serta merta menghilangkan peran tokoh lainnya.
Tulisan ini hanyalah sebuah pengantar, saya yakin banyak sekali sebenarnya
wanita-wanita yang pantas berdiri dipentas sejarah Bulungan, Semoga tulisan
kecil ini bisa bermanfaat.
Lemlai Suri, Ibu dari sejarah
asal usul kaum Bulungan
Apa bila kawan berkunjung ke
Tanjung Selor saat ini, kalian akan menemukan banyak sekali tugu maupun
patung-patung yang menghiasi lanskap kota tersebut, namun ada salah satu yang
menjadi ikon wanita yang terkenal karena keunikannya. Tentu saja patung yang
saya maksud adalah Patung Lemlai Suri, sayangnya nama besarnya justru tertutup
dengan sebutan orang-orang dengan panggilan putri “telor pecah”, tentu saja
panggilan itu bukan tanpa sebab, mengingat keunikan patung berupa seorang putri yang keluar dari telur
ayam besar pecah, sehingga justru itulah yang lebih banyak tertangkap di memori
penduduk kota.
Kembali mengenai sosok Lemlai
Suri, tokoh ini dalam hikayat adalah pasangan dari Jau Iru (Si Guntur Besar)
yang secara turun temurun di kisahkan sebagai asal muasal nenek moyang orang Bulungan.
Keduanya ditemukan oleh ayah angkatnya, Ku Anyi ketika masih belia di pedalaman
hutan, Jau iru berbentuk sepotong bambu betung, sedangkan Lemlai Suri berbentuk
sebuah telur ayam sebelum keduanya berubah bentuk menjadi sepasang anak
manusia.
Legenda keberadaan Lemlai suri
menjadi sangat penting, mengingat tanpa Lemlai Suri maka legenda asal usul
orang Bulungan tidak akan pernah lengkap. Lemlai suri menjadi wanita yang
dipasangkan menjadi istri Jau Iru karena keduanya bukan saudara kandung, bagi
orang Bulungan sendiri Lemlai suri sudah ditakdirkan menjadi pasangan Jau iru,
mengingat proses pertemuan dan kelahiran mereka yang spesial, dikemudian hari
kisah asal usul orang Bulungan dimulai dari pernikahan mereka berdua.
Penulis sendiri pernah menyatakan
dalam tulisan sebelumnya (Menafsir Ulang Mitos Asal Usul Nama Bulungan),
legenda keduanya menjadi inspirasi dan menegaskan bahwa garis kepemimpinan atau
kebangsawanan orang Bulungan terkait dengan Jau Iru dan Istrinya Lemlai Suri.
Lahai Bara, bukti kepatuhan
seorang anak.
Lahai Bara merupakan keturunan
Jau Iru dan Lemlai Suri, ia menggantikan posisi orangtuanya Paren Anyi’ di usia
yang cukup muda. Dikisahkan dalam hikayat ketika menjadi Kepala Suku, ia
dipersunting oleh seorang kesatria bernama Wan Paren.
Sebelum berpulang, Paren Anyi’ pernah berpesan pada putrinya untuk menguburkan lungun (peti mati) miliknya kearah hilir sungai Kayan. Namun sayang tak ada pihak keluarga yang setuju dan menyembunyikan perahu-perahu mereka di daratan. Lahai bara kemudian mengikat lungun tersebut dan menariknya seorang diri sambil menyerat dayung miliknya, tekadnya yang kuat untuk memenuhi keinginan terakhir mendiang Ibunya kemudian dituangkan dalam hikayat lisan orang Bulungan yang disebut dengan hikayat Busang Mayun, dalam bahasa kayan disebut dengan pulau hanyut. Dalam sembol ningrat Bulungan, dayung atau besai milik Lahai bara menjadi salah satu ikon dalam lambang kesultanan Bulungan dikemudian hari.
Asung Luwan, Keberanian
seorang putri cantik.
Asung Luwan adalah keturunan dari
Lahai Bara, orang tuanya bernama Simun Luwan dan memiliki saudara lelaki
bernama Sadang. Sama seperti Lahai Bara, Asung Luwan mengemban amanat menjadi
kepala suku di usia yang masih muda. Mengapa yang menjadi kepala suku adalah
Asung Luwan, bukan Sadang, kakak lelakinya. Disinilah kisah Asung Luwan
bermula.
Sekitar tahun 1458 hingga 1555,
wilayah milik Asung Luwan menjadi kawasan konflik yang berkepanjangan,
penyebabnya tak lain adalah invasi suku Iban wilayah pesisir timur Kalimantan
bagian utara, serangan orang utara (Serawak) begitu dahsyat dan banyak
menghancurkan desa-desa yang dilaluinya.
Orang Iban yang bertubuh besar tersebut pada akhirnya juga melakukan
serangan diwilayah perkampungan milik keluarga Asung Luwan sehingga menyebabkan
kakaknya bernama Sadang tewas terbunuh oleh Sumbang Lawing, di saat yang sama
rombongan pengembara dari Brunai bernama Datuk Mancang tiba dikawasan tersebut,
kebetulan keluarga Asung Luwan sudah menuju kawasan Baratan yang tak jauh dari
daerah pantai.
Kisah mengenai kecantikan kepala
suku muda itu rupanya sudah tersebar dikalangan penduduk hingga terdengar pula
sampai ke telinga Datuk Mancang, terbitlah keinginan lelaki muda itu untuk
mempersunting gadis manis kepala suku tersebut, sayangnya walaupun terdesak
Asung Luwan ternyata bukanlah wanita yang mudah membuat keputusan terburu-buru,
wanita cerdas tersebut paham bahwa bukan hanya orang jauh yang hendak
mempersunting dirinya tapi juga para kesatria dari suku-suku disekitar wilayah
kekuasaan sukunya. Asung Luwan memahami bahwa ia harus membuat keputusan cepat dan tepat untuk menyelamatkan sukunya dari kekejaman Sumbang Lawing yang juga
mengincar dirinya.
Dihadapan para pengikut Datuk
Mancang, Asung Luwan melakukan pertaruhan yang tak bisa ditolak oleh Datuk
Mancang, dengan cerdas ia meminta secara simbolik kepala Sumbang Lawing sebagai
mahar pernikahannya. Tentu saja aksi tersebut mengundang heran dan keterkejutan
baik oleh pengikut Datuk Mancang dan pengikut Asung Luwan sendiri. Bagi
keluarga Asung Luwan tawaran tersebut bukan hanya berbahaya tapi juga terdengar
lancang karena bisa saja justru dianggap sebuah penghinaan bagi sang pangeran,
mereka pun paham bahwa Sumbang Lawing terlalu tangguh dihadapan sang pengeran
muda, dikalangan pengikut Datuk Mancang sendiri terbit pula pertanyaan mengapa
wanita muda tersebut justru menginginkan kepala musuh sebagai mahar perkawinan,
selain diluar kebiasaan adat mereka, bukankah mereka sendiri sudah membawa
banyak perhiasaan untuk sang putri?, Datuk Mancang sendiri nampaknya paham bahwa
permintaan itu bukanlah permintaan yang sederhana sebab nyawanya sendiri
sebagai taruhannya, sadarlah ia bahwa yang dihadapinya bukan hanya seorang
putri mungil berparas cantik tapi juga cerdik. Asung Luwan yang cerdas itu
paham bahwa calon suaminya itu memiliki harga diri yang tinggi, jadi dari awal
permintaan itu tak akan mudah ditolaknya, kali ini Datuk Mancang dibuat
berpikir keras untuk memenangkan hati calon istrinya itu.
Datuk Mancang dan pengikutnya
kemudian menghadapi Sumbang Lawing, karena keduanya miliki kemampuan bela diri
dan kesaktian yang setara, Datuk Mancang kemudian mempelajari tipikal pribadi
Sumbang Lawing yang juga memiliki harga diri tinggi, maka maka untuk
mengalahkan kesatri Iban itu tak cukup hanya dengan otot semata, maka dilakukanlah
dengan tipu muslihat yang sederhana.
Untuk kesekian kalinya, Datuk
Mancang kembali menantang Sumbang Lawing, bukan dengan adu senjata melainkan
adu kemampuan membelah buah jeruk. Masing-masing pihak dibekali sejumlah buah
jeruk yang digelindingkan dan dilemparkan kepada masing-masing pihak, siapa
yang mampu membelah jeruk yang paling banyk dinyatakan sebagai pemenangnya.
Siapapun yang kalah akan meninggalkan kawasan Baratan, keduanya kemudian
melakukan uji ketangkasan, Sumbang Lawing ternyata kalah dalam persaingan
tersebut sehingga meninggalkan kawasan Baratan. Selanjutnya Datuk Mancang
kemudian menikahi Asung Luwan dan memerintah bersama dikawasan Baratan serta
Busang Arau (Kuala Pengian) hingga tahun 1595.
Pengian Kesuma (Putri Sibut),
Pemimpin perempuan pertama di Kesultanan Bulungan.
Sultan Kaharuddin II memiliki
seorang putri bernama Pengian Kesuma yang juga dikenal sebagai Putri Sibut,
pada masa itu pengaruh Belanda sudah mulai tertancap di Bulungan, Pengian
Kesuma menikah dengan seorang bangsawan bernama Si Gaeng yang kelak dikenal
dengan nama Sultan Adzimuddin yang menggantikan posisi Sultan Kaharuddin II
pada tahun 1889. Kepemimpinan Sultan Adzimuddin sendiri tidak begitu lama hanya
10 tahun saja. dimasa Sultan Adzimuddin serangkaian peristiwa penting terjadi
dimasa itu, seperti pergolakan / protes di pedalaman yang berhasil diredam
dengan diplomasi yang santun, hingga pembicaraan wilayah perbatasan kesultanan Bulungan
tentang pembagian wilayah Sabah yang selanjutnya diserahkan kepada Inggris.
Dimulai pada tahun 1899, Pengian
Kesuma menggantikan posisi suaminya, Sultan Adzimuddin yang magkat pada tahun
tersebut. Walaupun statusnya bukanlah sebagai sultan, mengingat posisi beliau
hanya mengisi kekosongan jabatan sampai putra mahkota Datu Belumbung naik
tahta. Dalam menjalankan roda pemerintahan beliau dibantu oleh Mangkubumi yang
tak kalah bijak dan cerdas, Datu Mansyur (Pemangku Kesultanan Bulungan). Putri
sibut memimpin Kesultanan Bulungan selama 2 tahun. Selama masa pemerintahan
kondisi politik Kesultanan Bulungan relative aman dan terkendali, sehingga kehidupan
ekonomi, politik dan social dapat berjalan dengan normal. Pada tahun 1901,
putra tertua Pengian Kesuma, Datu Belembung kemudian naik tahta dan bersalin
nama menjadi Sultan Kasim Al Din (Kasimuddin) , yang artinya Bagian dari Agama.
(pen)
No comments:
Post a Comment
bulungan