Tuesday, February 18, 2020

Sedikit ulasan tentang "Nama Orang Jang Bergelar" koleksi Museum Kesultanan Bulungan



Apabila kita menggali sejarah Bulungan, banyak hal baru yang mungkin saja membuatmu berfikir agak aneh pada awalnya, sayapun demikian, diantaranya ketika saya menjumpai salinan ketikan “Nama Orang Jang Bergelar”, disalin oleh A. Abdurrahim pada Surat keputusan yang ditulis buat oleh Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin bertarikh 21 Januari 1948, yang menarik adalah tulisan dibawah surat tersebut yang menegaskan bahwa gelaran tersebut diberikan kepada sejumlah orang yang wajib “hoekoemnja” digunakan oleh yang bersangkutan dan apabila tidak digunakan oleh individu yang diberi gelar maka ia akan dihukum sesuai adat istiadat Kesultanan Bulungan.

Seperti yang tertulis dalam salinan tersebut, “Apabila Orang2 jang telah mengetahoei hal ini tidak menjeboet gelaran itoe, maka akan dihoekoem denda menoeroet adat istiadat Keradjaan Boelongan”.

Apabila ditafsirkan, nampaknya Sultan memilki maksud agar mereka yang dianugrahkan gelar dapat dikenal luas oleh masyarakat Kesultanan, pun demikian secara tersirat menyampaikan bahwa individu istimewa yang diberikan gelar tersebut selayaknya menjadi pribadi yang menjadi suri tauladan dalam masyarakat adat Kesultanan Bulungan.

Kepada kepada daftar gelar tersebut, apa bila kita inventaris maka akan ditemukan beberapa gelaran yang umum diketahui digunakan oleh para bangsawan atau kerabat Kesultanan Bulungan, paling banyak adalah gelaran Datoe, kemudian ada juga Radja Moeda (ini hanya disandang oleh Putra Mahkota), Adji, Pengiran, Pengian, Dayang dan Andin. Ada juga yang secara khusus seperti Temenggong, Panglima dan Punggawa yang bila ditelisik diberikan oleh Baginda Sultan Sultan Djaluddin kepada orang-orang terkemuka dari kalangan Beroesoe (Berusu).

Dalam tulisan yang dibuat oleh Martinus Nanang dengan judul” Sejarah Penyebaran dan Kebudayaan Suku Bulungan di Malinau”. Hal. 11, memberikan kepada kita sedikit gambaran mengenai gelar kebangsawan Bulungan ini.

“Garis strata sosial Bulungan terdiri dari tingkat-tingkat sebagai berikut: Tertinggi di bawah sultan adalah “Datu”. Hanya keturunan sultan yang bisa menjadi Datu. Jadi status sosial datu adalah adalah “ascribed status” atau status yang diperoleh karena kelahirannya atau hubungan darah dengan orangtuanya. Selanjutnya hanya keturunan Datu yang bisa menjadi Datu dan Sultan. Seorang perempuan keturunan Datu disebut “Aji.” Jika seorang perempuan bangsawan (Aji) menikah dengan lelaki dari golongan non-bangsawan, maka keturunannya bukan bangsawan dan tentu saja tidak bisa menjadi Datu atau Aji. 

Di bawah Datu ada “Pangeran” yang merupakan penasihat atau staf inti sultan. Status Pangeran adalah “assigned status” atau status yang diperoleh karena penganugerahan dan pengangkatan oleh sultan. Jadi anak seorang pangeran belum tentu bergelar pangeran juga. Hanya sultan, melalui perdana menteri, yang memiliki wewenang untuk mengangkat seorang pangeran. Selanjutnya pada tingkat sosial di bawah pangeran ada “Aji” dan “Andin”. Aji juga sebutan untuk keturunan pangeran (laki-laki atau perempuan). Sedangkan Andin sebenarnya diadopsi dari gelar bangsawan Tidung dari Sembakung”. 

Terakhir satu gelaran yang menarik perhatian saya adalah gelar Kimas atau Ki Mas yang merupakan gelaran umum yang digunakan oleh Orang-orang dari Kesultanan Palembang. Tentunya yang menjadi menarik adalah mengapa baginda menganugrahkan gelar yang terdengar asing ditelinga sebagian orang tersebut,  setidaknya terdapat lima orang yang dianugrahkan gelar Kimas, yaitu:

  • 1.     Kimas Arif gelar kepada Enci Mohammad Tanjung Selor
  • 2.     Kimas Moeda gelar kepada Toswao Salimbatu
  • 3.     Kimas (Aji) Kertasono gelar kepada Tardi Pembakal Karang Anyar
  • 4.     Kimas Agoeng gelar kepada Oesoep Sekatak
  • 5.     Kimas Praboe gelar kepada Seman Pembakal Pengian.

Dari kelima daftar gelar Kimas ada dua yang sangat dikenal, yaitu Kimas Arif atau H. Encik Mohammad Hasan dan Kimas (Aji) Kertasono. Sebelum lebih jauh membahas kedua tokoh ini ada baiknya kita mengetahui sedikit mengenai istilah Kimas dan Encik yang akan kita temui dalam tulisan ini.

Gelar Kimas atau Kyai Mas, seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya merupakan gelar yang digunakan di Kesultanan Palembang yang mendapat pengaruh jawa khususnya  berasal dari pendatang Demak  Ki Gede Ing Suro bin Pangeran Sedo Ing Lautan yang datang ke tanah tersebut yang kemudian hari berpengaruh besar dalam pembentukan Kesultanan Palembang. Lalu bagaimana kisahnya Sultan Djalaluddin menambahkan gelar Kimas dalam daftar Orang yang bergelar dalam Kesultanan Bulungan? Sayangnya bagi penulis masih menjadi misteri, namun yang pasti kelima orang orang bergelar tersebut bisa jadi adalah tokoh yang disegani dimasyarakat namun tidak memilki garis keturunan langsung dengan Kesultanan Bulungan.

Kemudian adalah gelar Encik, gelar ini umumnya dibawa oleh orang melayu perantauan. Di kota Tanjung Selor tidak banyak yang menggunakan gelar Encik ini, dalam sebutulisan yang berjudul “Susur Galur Melayu Bugis”, terdapat keterangan mengenai asal mula gelar Encik Ini.

“Salah satu sumbangan utama orang-orang Melayu di kawasan yang kini disebut Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi, ialah upayanya dalam menyebarkan agama Islam dan penyebaran kebudayaan Melayu. Pada 1632, rombongan migran Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh seorang bangsawan Melayu dari Patani bernama Datuk Maharajalela. Turut serta dengannya kemanakannya suami istri yang bergelar Datuk Paduka Raja bersama istrinya yang bergelar Putri Senapati. Raja Gowa memberinya tempat di sebelah selatan Somba Opu, ibukota Kerajaan Gowa, karena di sana telah berdiri perkampungan Melayu asal Patani. Sejak saat itu, Salajo diganti menjadi kampung Patani, hingga sekarang.

Tidak dapat diketahui tahunnya secara pasti kapan orang-orang Melayu Patani dan Minangkabau bermukim di Salajo, satu daerah pesisiran Negeri Makassar. Dari beberapa sumber lokal diketahui bahwa orang-orang Melayu mungkin sudah bermukim di Salajo sekitar tahun 1512, tak lama setelah keruntuhan Malaka di tahun 1511.

Datuk Leang Abdul Kadir bersama istrinya, Tuan Fatimah, dikenal sebagai cikal bakal keluarga Melayu asal Patani di Salajo. Sedang Datuk Makkota bersama istrinya, Tuan Sitti, adalah cikal bakal keluarga Melayu Minangkabau dari Pagaruyung di Salajo. Merekalah generasi pertama migran Melayu di Salajo, sebuah perkampungan di Kerajaan Sanrobone, daerah bawahan Kerajaan Gowa.

Pada generasi ke–II Masyarakat Melayu di Salanjo lahir dari perkawinan antara orang-orang Melayu Minangkabau. Ikatan ini ditandai dengan perkawinan Tuan Aminah, Putri Datuk Leang Abdul Kadir dengan Tuan Rajja Putra Datuk Makotta, Generasi ke–III masyarakat Melayu Salajo ditandai dengan penggunaan titulatur “Incek” Ali, “Incek” Talli, “Incek” Hasan, dan sebagainya. Dan sejak saat itulah titulatur “Incek” digunakan oleh orang-orang keturunan Melayu terpandang….”.

Gelar Encik dalam keterangan tulisan tersebut merupakan perpaduan unsur Melayu dan Bugis, dalam sejarah keberadaan orang-orang Melayu yang tinggal menetap sebagai pedagang di Makassar, banyak dari mereka yang bergelar Encik, nampaknya dari sanalah sedikit gambaran asal usul nama Encik ini.

Kembali kepada kedua tokoh bergelar Kimas tadi. Yang pertama adalah Encik Mohammad Tanjung Selor, nama ini nampaknya merujuk kepada Enci Mohammad Hasan yang tinggal tak jauh disekitar kampong Tanah Seribu Tanjung Selor, dekat Langgar Al Inayah. Beliau merupakan tokoh agama yang disegani, pernah pula menyusun Makalah mengenai Sejarah Masuknya Islam di Bulungan sekitar tahun 1981.

Yang kedua adalah Kimas Kertasono, dalam salinan surat yang dibuat oleh Baginda Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, nama yang memegang Gelar tersebut adalah Tardi Pembakal Karang Anyar. Sayangnya tidak banyak sejarah mengenai tokoh bernama Tardi tersebut yang dapat penulis gali lebih jauh dan mengapa ia dianugrahi gelaran penting ini. Yang pasti nama Kimas Kertasono dewasa ini sudah digunakan secara resmi di sekitar kawasan Karang Anyar Tanjung Palas sebagai nama jalan untuk menghormati beliau, hanya saja ada tambahan gelar Aji, sehingga dikenal dengan nama jalan Kimas Aji Kertosono.

Jika kita mau mengupas lagi sedikit ada informasi tersirat yang menarik tentang Kimas Aji Kertosono ini, kata “Pembakal” pada gelar tersebut merujuk kepada istilah jabatan Kepala Kampung, seperti misalnya Datoe Meradjadinda gelar kepada Datoek Kemat Pembakal (Tanjung) Palas Ilir dan Datoe Saboedin gelar kepada Datoe Abai Pembakal (Tanjung) Palas Tengah, begitu pula Kimas Praboe gelar kepada Seman Pembakal Pengian. Pertanyaan tentunya menarik adalah apakah kampung Karang Anyar yang terdapat di Tanjung Palas sudah berdiri sejak era Kesultanan Bulungan? Mengapa hal ini` menarik? Karena mayoritas penduduk Kampung Karang Anyar adalah Orang Jawa dan nama Tardi pun demikian kental dengan Jawa itu. sedangkan seperti diketahui transmigran yang Jawa yang datang ke Tanjung Palas sekitar era Presiden Soeharto pada decade 70 atau 80-an. Jika benar Karang Anyar sudah memiliki Kepala Kampung sendiri, apakah dapat dikatakan sudah terdapat migran jawa sebelum era kemerdekaan atau tepatnya sudah ada diera Kesultanan Bulungan? Saya kira perlu ada kajian sejarah tersendiri mengenai hal tersebut. Jika benar tentu akan jadi temuan yang menarik mengingat sejarah Migran Jawa sedikit sekali yang diketahui tentang mereka khususnya pada era Kesultanan Bulungan. (pen)

Daftar Pustaka

“Nama Orang Jang Bergelar”, disalin oleh A. Abdurrahim pada Surat keputusan yang ditulis buat oleh Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin bertarikh 21 Januari 1948, Museum Kesultanan Bulungan.

Martinus Nanang, “Sejarah Penyebaran dan Kebudayaan Suku Bulungan di Malinau” sebanyak 20 halaman.

Susur Galur Melayu Bugis Lentera Timur : rchive.lenteratimur.com/2012/10/susur-galur-melayu-bugis/.

No comments:

Post a Comment

bulungan