Apabila kita menggali sejarah
Bulungan, banyak hal baru yang mungkin saja membuatmu berfikir agak aneh pada
awalnya, sayapun demikian, diantaranya ketika saya menjumpai salinan ketikan
“Nama Orang Jang Bergelar”, disalin oleh A. Abdurrahim pada Surat keputusan
yang ditulis buat oleh Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin bertarikh 21 Januari
1948, yang menarik adalah tulisan dibawah surat tersebut yang menegaskan bahwa
gelaran tersebut diberikan kepada sejumlah orang yang wajib “hoekoemnja”
digunakan oleh yang bersangkutan dan apabila tidak digunakan oleh individu yang
diberi gelar maka ia akan dihukum sesuai adat istiadat Kesultanan Bulungan.
Seperti yang tertulis dalam salinan
tersebut, “Apabila Orang2 jang telah mengetahoei hal ini tidak
menjeboet gelaran itoe, maka akan dihoekoem denda menoeroet adat istiadat
Keradjaan Boelongan”.
Apabila ditafsirkan, nampaknya Sultan
memilki maksud agar mereka yang dianugrahkan gelar dapat dikenal luas oleh
masyarakat Kesultanan, pun demikian secara tersirat menyampaikan bahwa individu
istimewa yang diberikan gelar tersebut selayaknya menjadi pribadi yang menjadi
suri tauladan dalam masyarakat adat Kesultanan Bulungan.
Kepada kepada daftar gelar tersebut,
apa bila kita inventaris maka akan ditemukan beberapa gelaran yang umum
diketahui digunakan oleh para bangsawan atau kerabat Kesultanan Bulungan,
paling banyak adalah gelaran Datoe, kemudian ada juga Radja Moeda (ini hanya
disandang oleh Putra Mahkota), Adji, Pengiran, Pengian, Dayang dan Andin. Ada
juga yang secara khusus seperti Temenggong, Panglima dan Punggawa yang bila
ditelisik diberikan oleh Baginda Sultan Sultan Djaluddin kepada orang-orang
terkemuka dari kalangan Beroesoe (Berusu).
Dalam tulisan yang dibuat oleh
Martinus Nanang dengan judul” Sejarah Penyebaran dan Kebudayaan Suku Bulungan
di Malinau”. Hal. 11, memberikan kepada kita sedikit gambaran mengenai gelar
kebangsawan Bulungan ini.
“Garis strata sosial Bulungan terdiri
dari tingkat-tingkat sebagai berikut: Tertinggi di bawah sultan adalah “Datu”.
Hanya keturunan sultan yang bisa menjadi Datu. Jadi status sosial datu adalah
adalah “ascribed status” atau status yang diperoleh karena
kelahirannya atau hubungan darah dengan orangtuanya. Selanjutnya hanya
keturunan Datu yang bisa menjadi Datu dan Sultan. Seorang perempuan keturunan
Datu disebut “Aji.” Jika seorang perempuan bangsawan (Aji) menikah dengan
lelaki dari golongan non-bangsawan, maka keturunannya bukan bangsawan dan tentu
saja tidak bisa menjadi Datu atau Aji.
Di bawah Datu ada “Pangeran” yang
merupakan penasihat atau staf inti sultan. Status Pangeran adalah “assigned
status” atau status yang diperoleh karena penganugerahan dan
pengangkatan oleh sultan. Jadi anak seorang pangeran belum tentu bergelar
pangeran juga. Hanya sultan, melalui perdana menteri, yang memiliki wewenang
untuk mengangkat seorang pangeran. Selanjutnya pada tingkat sosial di bawah
pangeran ada “Aji” dan “Andin”. Aji juga sebutan untuk keturunan pangeran
(laki-laki atau perempuan). Sedangkan Andin sebenarnya diadopsi dari gelar
bangsawan Tidung dari Sembakung”.
Terakhir satu gelaran yang menarik perhatian saya adalah gelar
Kimas atau Ki Mas yang merupakan gelaran umum yang digunakan oleh Orang-orang
dari Kesultanan Palembang. Tentunya yang menjadi menarik adalah mengapa baginda
menganugrahkan gelar yang terdengar asing ditelinga sebagian orang
tersebut, setidaknya terdapat lima orang yang dianugrahkan gelar Kimas,
yaitu:
- 1. Kimas
Arif gelar kepada Enci Mohammad Tanjung Selor
- 2. Kimas
Moeda gelar kepada Toswao Salimbatu
- 3. Kimas
(Aji) Kertasono gelar kepada Tardi Pembakal Karang Anyar
- 4. Kimas
Agoeng gelar kepada Oesoep Sekatak
- 5. Kimas
Praboe gelar kepada Seman Pembakal Pengian.
Dari kelima daftar gelar Kimas ada
dua yang sangat dikenal, yaitu Kimas Arif atau H. Encik Mohammad Hasan dan
Kimas (Aji) Kertasono. Sebelum lebih jauh membahas kedua tokoh ini ada baiknya
kita mengetahui sedikit mengenai istilah Kimas dan Encik yang akan kita temui
dalam tulisan ini.
Gelar Kimas atau Kyai Mas, seperti
yang sudah penulis sebutkan sebelumnya merupakan gelar yang digunakan di
Kesultanan Palembang yang mendapat pengaruh jawa khususnya berasal
dari pendatang Demak Ki Gede Ing
Suro bin Pangeran Sedo Ing Lautan yang
datang ke tanah tersebut yang kemudian hari berpengaruh besar dalam pembentukan
Kesultanan Palembang. Lalu bagaimana kisahnya Sultan Djalaluddin menambahkan
gelar Kimas dalam daftar Orang yang bergelar dalam Kesultanan Bulungan?
Sayangnya bagi penulis masih menjadi misteri, namun yang pasti kelima orang
orang bergelar tersebut bisa jadi adalah tokoh yang disegani dimasyarakat namun
tidak memilki garis keturunan langsung dengan Kesultanan Bulungan.
Kemudian adalah gelar Encik, gelar
ini umumnya dibawa oleh orang melayu perantauan. Di kota Tanjung Selor tidak
banyak yang menggunakan gelar Encik ini, dalam sebutulisan yang berjudul “Susur
Galur Melayu Bugis”, terdapat keterangan mengenai asal mula gelar Encik Ini.
“Salah
satu sumbangan utama orang-orang Melayu di kawasan yang kini disebut Indonesia
Timur, khususnya di Sulawesi, ialah upayanya dalam menyebarkan agama Islam dan
penyebaran kebudayaan Melayu. Pada 1632, rombongan migran Melayu dari Patani
tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh seorang bangsawan Melayu
dari Patani bernama Datuk Maharajalela. Turut serta dengannya kemanakannya
suami istri yang bergelar Datuk Paduka Raja bersama istrinya yang bergelar
Putri Senapati. Raja Gowa memberinya tempat di sebelah selatan Somba Opu,
ibukota Kerajaan Gowa, karena di sana telah berdiri perkampungan Melayu asal
Patani. Sejak saat itu, Salajo diganti menjadi kampung Patani, hingga sekarang.
Tidak
dapat diketahui tahunnya secara pasti kapan orang-orang Melayu Patani dan
Minangkabau bermukim di Salajo, satu daerah pesisiran Negeri Makassar. Dari
beberapa sumber lokal diketahui bahwa orang-orang Melayu mungkin sudah bermukim
di Salajo sekitar tahun 1512, tak lama setelah keruntuhan Malaka di tahun 1511.
Datuk
Leang Abdul Kadir bersama istrinya, Tuan Fatimah, dikenal sebagai cikal bakal
keluarga Melayu asal Patani di Salajo. Sedang Datuk Makkota bersama istrinya,
Tuan Sitti, adalah cikal bakal keluarga Melayu Minangkabau dari Pagaruyung di
Salajo. Merekalah generasi pertama migran Melayu di Salajo, sebuah perkampungan
di Kerajaan Sanrobone, daerah bawahan Kerajaan Gowa.
Pada
generasi ke–II Masyarakat Melayu di Salanjo lahir dari perkawinan antara
orang-orang Melayu Minangkabau. Ikatan ini ditandai dengan perkawinan Tuan
Aminah, Putri Datuk Leang Abdul Kadir dengan Tuan Rajja Putra Datuk Makotta,
Generasi ke–III masyarakat Melayu Salajo ditandai dengan
penggunaan titulatur “Incek” Ali, “Incek” Talli, “Incek”
Hasan, dan sebagainya. Dan sejak saat
itulah titulatur “Incek” digunakan oleh orang-orang keturunan
Melayu terpandang….”.
Gelar
Encik dalam keterangan tulisan tersebut merupakan perpaduan unsur Melayu dan
Bugis, dalam sejarah keberadaan orang-orang Melayu yang tinggal menetap sebagai
pedagang di Makassar, banyak dari mereka yang bergelar Encik, nampaknya dari
sanalah sedikit gambaran asal usul nama Encik ini.
Kembali kepada kedua tokoh bergelar
Kimas tadi. Yang pertama adalah Encik Mohammad Tanjung Selor, nama ini
nampaknya merujuk kepada Enci Mohammad Hasan yang tinggal tak jauh disekitar
kampong Tanah Seribu Tanjung Selor, dekat Langgar Al Inayah. Beliau merupakan tokoh
agama yang disegani, pernah pula menyusun Makalah mengenai Sejarah Masuknya
Islam di Bulungan sekitar tahun 1981.
Yang kedua adalah Kimas Kertasono,
dalam salinan surat yang dibuat oleh Baginda Sultan Maulana Muhammad
Djalaluddin, nama yang memegang Gelar tersebut adalah Tardi Pembakal Karang
Anyar. Sayangnya tidak banyak sejarah mengenai tokoh bernama Tardi tersebut
yang dapat penulis gali lebih jauh dan mengapa ia dianugrahi gelaran penting
ini. Yang pasti nama Kimas Kertasono dewasa ini sudah digunakan secara resmi di
sekitar kawasan Karang Anyar Tanjung Palas sebagai nama jalan untuk menghormati
beliau, hanya saja ada tambahan gelar Aji, sehingga dikenal dengan nama jalan
Kimas Aji Kertosono.
Jika kita mau mengupas lagi sedikit
ada informasi tersirat yang menarik tentang Kimas Aji Kertosono ini, kata
“Pembakal” pada gelar tersebut merujuk kepada istilah jabatan Kepala Kampung,
seperti misalnya Datoe Meradjadinda gelar kepada Datoek Kemat Pembakal
(Tanjung) Palas Ilir dan Datoe Saboedin gelar kepada Datoe Abai Pembakal
(Tanjung) Palas Tengah, begitu pula Kimas Praboe gelar kepada Seman Pembakal
Pengian. Pertanyaan tentunya menarik adalah apakah kampung Karang Anyar yang
terdapat di Tanjung Palas sudah berdiri sejak era Kesultanan Bulungan? Mengapa hal
ini` menarik? Karena mayoritas penduduk Kampung Karang Anyar adalah Orang Jawa
dan nama Tardi pun demikian kental dengan Jawa itu. sedangkan seperti diketahui
transmigran yang Jawa yang datang ke Tanjung Palas sekitar era Presiden
Soeharto pada decade 70 atau 80-an. Jika benar Karang Anyar sudah memiliki
Kepala Kampung sendiri, apakah dapat dikatakan sudah terdapat migran jawa
sebelum era kemerdekaan atau tepatnya sudah ada diera Kesultanan Bulungan? Saya
kira perlu ada kajian sejarah tersendiri mengenai hal tersebut. Jika benar
tentu akan jadi temuan yang menarik mengingat sejarah Migran Jawa sedikit
sekali yang diketahui tentang mereka khususnya pada era Kesultanan Bulungan.
(pen)
Daftar Pustaka
“Nama Orang Jang Bergelar”, disalin
oleh A. Abdurrahim pada Surat keputusan yang ditulis buat oleh Sultan Maulana
Muhammad Djalaluddin bertarikh 21 Januari 1948, Museum Kesultanan Bulungan.
Martinus Nanang, “Sejarah Penyebaran
dan Kebudayaan Suku Bulungan di Malinau” sebanyak 20 halaman.
Susur Galur Melayu Bugis Lentera
Timur : rchive.lenteratimur.com/2012/10/susur-galur-melayu-bugis/.
No comments:
Post a Comment
bulungan