![]() |
Meriam Sebenua, foto diambil sebelum kedatangan Jepang |
Ditangkapanya sejumlah peladang
karena sangkaan melakukan kejahatan Karhutla atau kebakaran hutan dan ladang
berbuntut panjang, orang-orang turun menuntut dilepaskannya peladang yang
ditangkap oleh aparat berwajib.
Kasus kebakaran hutan memang menjadi
momok tersendiri setidaknya dibeberapa Provinsi yang terletak di Kalimantan dan
Sumatra, walaupun demikian menyalahkan peladang sebagai sumber terjadinya
Karhutla, menurut saya tidaklah bijak. Kegiatan berladang, khususnya
dikalimantan sudah menjadi kegiatan turun temurun sejak masa lalu, dan tidak
pernah terjadi kebakaran massive yang terjadi seperti dizaman ini.
Berbicara mengenai kegiatan
berladang, apabila kita menengok sejarah Kesultanan Bulungan, ternyata pernah
menjadi semacam symbol perlawanan terhadap pemerintahan Jepang di Bulungan.
Bagaimana bisa? Ketika Jepang
berhasil menduduki Tarakan pada bulan Januari tahun 1942, pasukan Jepang
dikirim ke daratan Kalimantan untuk memasuki Ibu Kota Kesultanan Bulungan di
Tanjung Palas dan membuat sejumlah pos di Tanjung Selor pada tanggal 05
Februarai 1942 jam 03.00. Kedatangan Jepang disambut baik oleh Sultan Djalaluddin,
walaupun baginda sendiri sudah mendengar kabar kekejaman tentara Jepang di
Tarakan.
Maulana Muhammad Djalaluddin, Sultan
Bulungan yang Ke sepuluh ini tipikal orang yang tidak pernah menunjukan
emosinya dihadapan orang lain, sehingga orang tidak pernah dapat benar-benar
menebak jalan pikirannya. Menurut penulis sikapnya yang menerima kedatangan
Jepang masuk kewilayah Kesultanan Bulungan adalah bentuk pemikiran yang lebih
realistis mengingat kondisi pada masa itu.
Pasukan KNIL yang bermarkas di Tanjung
Selor, sudah tidak nampak batang hidungnya dihari pertama pasukan Jepang
menginjakan kakinya di Tanjung Selor, melawan pasukan Jepang tanpa persiapan
matang hanya membawa maut yang sia-sia, demikian nampaknya jalan pikir Sultan
Djalaluddin.
Melawan Jepang tentu saja bukan
hanya dengan otot semata, jalan lain pun dapat ditempuh agar Survive. Sudah
menjadi rahasia umum kekejaman Jepang selama penjajahan, Sikap Jepang tehadap
Kesultanan yang ada khususnya di Kalimantan berbeda-beda tak selalu sama, mereka
bahkan bisa lebih keji dari penjajah sebelumnya, peristiwa Mandor Berdarah dan
penyerangan dan penangkapan pasukan Jepang terhadap petinggi Kesultanan Gunung
Tabur dan Sembaliung adalah contoh yang menegaskan hal tersebut.
lalu bagaimana cara meringankan
beban pada masa itu, jawabnya ternyata cukup sederhana. Berladang.
Sultan membawa rakyatnya pergi
meninggalkan ibu kota dan melakukan usaha membuka lahan untuk menanami tanaman
pangan, sehingga membuat suasana kota Tanjung Selor dan Tanjung Palas menjadi
agak sepi. Mata-mata Jepang juga tidak menangkap maksud dari Sultan Maulana
Muhammad Djalaluddin sebagai bentuk pembangkangan, sehingga pemerintahan Jepang
hanya terpaku di Tanjung Selor.
Peristiwa ini sendiri digambarkan
oleh M. Said Karim dalam bukunya, halaman 41
“…Sultan dan para menterinya yang
diiringi rakyatnya mengungsi sambil berladang disungai Pimping, Sungai Sebanar,
Sungai Selor [ilur kapal], Sungai Sebuda, Sungai Kapuk sambil berpindah-pindah.
Berarti pemerintahan hanya dilaksanakan oleh Jepang saja”.
Dimasa tersebut, untuk mengelabui
pihak Jepang, para gadis sengaja menggunakan pupur dingin tebal dan mengunyah
sirih sehingga tentara Jepang enggan mendekati para gadis tersebut, hal ini
dibenarkan oleh seorang penduduk Tanjung Selor, Pak Makarno yang tinggal di PMD
sekarang ini, beliau juga menceritakan ketika pasukan Jepang datang mereka
menangkapi ayam-ayam penduduk yang tinggal di daerah Jl. Semangka dilokasi
asrama yang akan dibangun Kantor Korem sekarang ini, beliau juga mengisahkan
bahwa sebuah pos jaga lengkap dengan cermin besar dibuat disekitar Boom atau
pelabuhan Tanjung Selor, tiap orang yang melewati pos tersembut harus
membungkukkan badan. di Tanjung Selor, Jepang juga membawa kebiasaan untuk
melakukan Taiso atau membungkukkan badan kearah matahari terbit, karena mereka
percaya dengan keberadaan Dewa Matahari.
Nasib pasukan Jepang di Tanjung
Selor dan sekitarnya mengalami kondisi yang buruk ketika pasukan sekutu memburu
mereka selepas Tarakan jatuh ke tangan Pasukan Australia, mereka sempat
bersembunyi di gua-gua dan yang cukup kuat melanjutkan jalan kearah Apo Kayan
dan Long iram, termasuk Kumatsu petinggi Jepang yang menyerahkan bendera merah
putih sebelum pamit meninggalkan Tanjung Selor, ditengah jalan banyak dari mereka
yang dihabisi oleh orang-orang Dayak, Bulungan dan Tidung dihulu sungai, ada
yang apes nasibnya dimakan buaya.
Sumber:
Wawancara dengan Pak Muhammad
Makarno, Th. 2019
M. Said. Karim, “ Mutiara Abadi
[Restruksi Historis Pejuang-pejuang Kemerdekaan Bulungan], Tanjung Selor 2011
No comments:
Post a Comment
bulungan