Friday, March 13, 2020

Berladang, Simbol Perlawanan Kesultanan Bulungan di zaman Jepang.


Meriam Sebenua, foto diambil sebelum kedatangan Jepang

Ditangkapanya sejumlah peladang karena sangkaan melakukan kejahatan Karhutla atau kebakaran hutan dan ladang berbuntut panjang, orang-orang turun menuntut dilepaskannya peladang yang ditangkap oleh aparat berwajib.

Kasus kebakaran hutan memang menjadi momok tersendiri setidaknya dibeberapa Provinsi yang terletak di Kalimantan dan Sumatra, walaupun demikian menyalahkan peladang sebagai sumber terjadinya Karhutla, menurut saya tidaklah bijak. Kegiatan berladang, khususnya dikalimantan sudah menjadi kegiatan turun temurun sejak masa lalu, dan tidak pernah terjadi kebakaran massive yang terjadi seperti dizaman ini.

Berbicara mengenai kegiatan berladang, apabila kita menengok sejarah Kesultanan Bulungan, ternyata pernah menjadi semacam symbol perlawanan terhadap pemerintahan Jepang di Bulungan.

Bagaimana bisa? Ketika Jepang berhasil menduduki Tarakan pada bulan Januari tahun 1942, pasukan Jepang dikirim ke daratan Kalimantan untuk memasuki Ibu Kota Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas dan membuat sejumlah pos di Tanjung Selor pada tanggal 05 Februarai 1942 jam 03.00. Kedatangan Jepang disambut baik oleh Sultan Djalaluddin, walaupun baginda sendiri sudah mendengar kabar kekejaman tentara Jepang di Tarakan.

Maulana Muhammad Djalaluddin, Sultan Bulungan yang Ke sepuluh ini tipikal orang yang tidak pernah menunjukan emosinya dihadapan orang lain, sehingga orang tidak pernah dapat benar-benar menebak jalan pikirannya. Menurut penulis sikapnya yang menerima kedatangan Jepang masuk kewilayah Kesultanan Bulungan adalah bentuk pemikiran yang lebih realistis mengingat kondisi pada masa itu.

Pasukan KNIL yang bermarkas di Tanjung Selor, sudah tidak nampak batang hidungnya dihari pertama pasukan Jepang menginjakan kakinya di Tanjung Selor, melawan pasukan Jepang tanpa persiapan matang hanya membawa maut yang sia-sia, demikian nampaknya jalan pikir Sultan Djalaluddin.

Melawan Jepang tentu saja bukan hanya dengan otot semata, jalan lain pun dapat ditempuh agar Survive. Sudah menjadi rahasia umum kekejaman Jepang selama penjajahan, Sikap Jepang tehadap Kesultanan yang ada khususnya di Kalimantan berbeda-beda tak selalu sama, mereka bahkan bisa lebih keji dari penjajah sebelumnya, peristiwa Mandor Berdarah dan penyerangan dan penangkapan pasukan Jepang terhadap petinggi Kesultanan Gunung Tabur dan Sembaliung adalah contoh yang menegaskan hal tersebut.

lalu bagaimana cara meringankan beban pada masa itu, jawabnya ternyata cukup sederhana. Berladang.

Sultan membawa rakyatnya pergi meninggalkan ibu kota dan melakukan usaha membuka lahan untuk menanami tanaman pangan, sehingga membuat suasana kota Tanjung Selor dan Tanjung Palas menjadi agak sepi. Mata-mata Jepang juga tidak menangkap maksud dari Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin sebagai bentuk pembangkangan, sehingga pemerintahan Jepang hanya terpaku di Tanjung Selor.

Peristiwa ini sendiri digambarkan oleh M. Said Karim dalam bukunya, halaman 41

“…Sultan dan para menterinya yang diiringi rakyatnya mengungsi sambil berladang disungai Pimping, Sungai Sebanar, Sungai Selor [ilur kapal], Sungai Sebuda, Sungai Kapuk sambil berpindah-pindah. Berarti pemerintahan hanya dilaksanakan oleh Jepang saja”.

Dimasa tersebut, untuk mengelabui pihak Jepang, para gadis sengaja menggunakan pupur dingin tebal dan mengunyah sirih sehingga tentara Jepang enggan mendekati para gadis tersebut, hal ini dibenarkan oleh seorang penduduk Tanjung Selor, Pak Makarno yang tinggal di PMD sekarang ini, beliau juga menceritakan ketika pasukan Jepang datang mereka menangkapi ayam-ayam penduduk yang tinggal di daerah Jl. Semangka dilokasi asrama yang akan dibangun Kantor Korem sekarang ini, beliau juga mengisahkan bahwa sebuah pos jaga lengkap dengan cermin besar dibuat disekitar Boom atau pelabuhan Tanjung Selor, tiap orang yang melewati pos tersembut harus membungkukkan badan. di Tanjung Selor, Jepang juga membawa kebiasaan untuk melakukan Taiso atau membungkukkan badan kearah matahari terbit, karena mereka percaya dengan keberadaan Dewa Matahari.

Nasib pasukan Jepang di Tanjung Selor dan sekitarnya mengalami kondisi yang buruk ketika pasukan sekutu memburu mereka selepas Tarakan jatuh ke tangan Pasukan Australia, mereka sempat bersembunyi di gua-gua dan yang cukup kuat melanjutkan jalan kearah Apo Kayan dan Long iram, termasuk Kumatsu petinggi Jepang yang menyerahkan bendera merah putih sebelum pamit meninggalkan Tanjung Selor, ditengah jalan banyak dari mereka yang dihabisi oleh orang-orang Dayak, Bulungan dan Tidung dihulu sungai, ada yang apes nasibnya dimakan buaya. 

Sumber:
Wawancara dengan Pak Muhammad Makarno, Th. 2019
M. Said. Karim, “ Mutiara Abadi [Restruksi Historis Pejuang-pejuang Kemerdekaan Bulungan], Tanjung Selor 2011

No comments:

Post a Comment

bulungan