Monday, January 13, 2020

Revisi: Seperti apa catatan sejarah hubungan Bulungan-Berau, dilihat dari versi sejarah yang ditulis dari sudut pandang pihak penulis Belanda?

Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin II, Sultam Bulungan Ke-X
Baiklah, tulisan ini dapat dianggap sebagai tulisan “pembuka” saja, mengingat tidak banyak studi sejarah mengenai hubungan Bulungan-Berau dimasa lalu. Mendapatkan catatan atau sumber sejarah mengenai isu tersebut tidaklah mudah. Namun saya terbantu oleh oleh sebuah bernama “Tjabutan” yang bisa jadi merupakan terjemahan dari “Kroeniek Der Zuider En Oosterafdeling Van Borneo”, sayangnya naskah ketikan tersebut, yang penulis jumpai hanya mengisahkan periodesasi dari tahun 1800 – 1874. Catatan ini disusun oleh J.Eisenberger pada tahun 1939.

Dalam catatan periodesasi sejarah tersebut terjalin catatan peristiwa yang disusun oleh penulisnya mengenai hubungan Berau dan Bulungan, dalam hal ini penulis hanya mencoba mengambil poin-poin penting dalam tulisan tersebut yang bersentuhan dengan Kesultanan Bulungan saja.

Mari kita mencoba membandingkan antara catatan periodesasi tersebut dengan sejarah versi Bulungan. Ada beberapa poin yang nampaknya dapat kita diskusikan.

1800, “Asal Kerajaan Beraoe terdiri dari Goenoeng Taboer, Sembalioong, demikian joega Batoe Poetih dan Daerah Tidoeng. Pada masa Itoe Boelongan dapat membentuk Kerajaan dan berdiri Sultan sendiri sehingga terlepas dari kerajaan Beraoe”.


Apa bila kita jeli membaca buku-buku tentang sejarah Berau atau yang bersinggungan dengannya, hampir selalu penulis mendapati pembukaan kalimat dimana pada tulisan itu selalu menyebutkan Bulungan adalah wilayah Berau yang melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri, artinya dalam versi sejarah Berau secara umum, Bulungan dapat dianggap telah melakukan semacam pemberontakan atau upaya melepaskan diri dari pengaruh Berau. Jika demikian maka ada semacam claim sejarah yang secara tak langsung menyebutkan bahwa Bulungan pernah bagian dari Kerajaan Berau kuno.

Lalu bagaimana dari sisi Bulungan, apakah ada catatan yang  menyebutkan bahwa dari awal Bulungan merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Berau Kuno, sejauh yang penulis ketahui dari buku-buku maupun naskah sejarah yang ditulis oleh penulis dari pihak Kesultanan Bulungan, baik dalam tulisan Datuk Perdana Ibn Datuk Mansyur, H.S. Ali Amin Bilfaqih, HE. Mohd. Hassan, dll hampir tidak pernah menyinggung hal tersebut.

Karya yang cukup berani mengisahkan bagaimana Bulungan pernah “memisahkan diri” dari Berau justru dapat dilihat karya dari H. Dachlan Syahrani, menyebutkan bahwa Bulungan diera Sultan Amiril Mukminin (1731-1777) pernah membangun hubungan diplomatic dengan wakil Kerajaan Berau di Tanah Kuning, selebihnya hubungan Bulungan-Berau hanya diceritakan mengenai pernikahan antara Sultan Alimuddin dengan Istri keduanya Pengian Intan. Pada masa Sultan Alimuddin inilah, Bulungan memisahkan diri dari Berau.

Dalam catatannya H. Dachlansyahrani menulis, hal. 11-12

“…Terjadilah kericuhan di kerajaaan Berau, yakni pertentangan antara kedua Kesultanan berkenaan masalah siapa yang berhak menjadi Raja Berau sesuai dengan perjanjian semula – yaitu secara bergantian memerintah. Pada masa itu yang memerintah Sultan Mohammad Zainal Abidin (1779-1800) dari Kesultanan Gunung Tabur, yang menjadi Raja Berau ke-14. Beliau digugat oleh Sultan Alimuddin Raja Alam (tahun 1810-1852) bahwa Raja Berau ke-15 adalah gilirannya, bukan putra Sultan Mohammad Zainal Abidin, yang bernama Badaruddin seperti yang di Isyukan.

Perpecahan terus memuncak, apalagi penjajah Belanda membantu Gunung Tabur sedangkan Sembaliung di bantu oleh Orang-orang Bugis dan Solok. Didalam kekacauan Kerajaan Bulongan mengambil kesempatan memisahkan diri, terlepas dari Kerajaan Berau, yang diumumkan oleh Sultan Muhammad Alimuddin pada tahun 1800”.

Dalam tulisan tersebut, H. Dachlan Syahrani, memuat gambaran singkat tentang bagaimana Bulungan menjadi Kesultanan mandiri lepas dari pengaruh Kerajaan Berau Kuno yang nasibnya diambang senja akibat konflik saudara tersebut.

Lalu apakah dari pihak Berau terdapat penjelasan yang sama mengenai hal itu?

Menariknya dalam sebuah tulisan yang berjudul, “Tinjauan Historis mengenai Kerajaan Berau (Kuran), gambaran mengenainya ternyata kurang lebih sama.*  

(“…. Pada permulaan abad ke XVII pergantian raja secara teratur dari ayah kepada anak seperti yang terjadi 9 generasi terdahulu tidak terbagi lagi. Masalahnya Aji Dilayas raja ke IX berputera dua orang Pangeran yang berlainan ibu yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Sesudah Aji Dilayas mangkat kedua pangeran ini, masing-masing didukung keluarga ibunya bersikeras mau menjadi raja.

Akhirnya keputusan musyawarah kerajaan kedua pangeran dan seterusnya, keturunannya berganti-ganti menjadi raja. Pergantian raja secara bergiliran itu adalah sebagai berikut : Oleh penulis sejarah tradisional tidak pernah dicantumkan masa tahun pemerintahan raja-raja itu.

Giliran Pertama ialah Pangeran Tua

Giliran Kedua saudaranya Pangeran Dipati

Giliran Ketiga Sultan Aji Kuning anak Pangeran Dipati

Giliran Keempat Sultan Hasanuddin Marhum di Kuran anak dari Pangeran Tua.

Giliran Kelima Sultan Zainal Abidin kemenakan Sultan Aji Kuning turunan Pangeran Dipati. Menurut Kontler J.S. Krom dalam memorinya, kira-kira tahun 1720 pada pemerintahannya Sultan Zainal Abidin, menerapkan syariat islam di kerajaan Berau. Semasa hidupnya sangat dihormati rakyat. Makamnya dianggap keramat.

Giliran Keenam Sultan Badaruddin menjadi raja pihak keturunan Pangeran Tua melakukan protes, karena turunan Dipati sudah ingkar perjanjian. Mereka sudah empat kali mendapat giliran menjadi raja, sedang turunan Pangeran Tua baru dua kali. Insiden dapat diatasi, pihak keluarga Pangeran Dipati memberikan kompensasi, sesudah habis masa pemerintahan Sultan Badaruddin turunan Pangeran Tua memperoleh giliran 2 kali berturut-turut menjadi raja.

Giliran Ketujuh Sultan Salehuddin turunan Pangeran Tua.
Sultan Amirilmukminin bin Sultan Hasanuddin turunan Pangeran Tua Si Taddan Raja Tua atau Sultan Zainal Abidin II Putera tertua dari Sultan Badaruddin turunan dari Pangeran Dipati. Beberapa tahun ia memerintah, raja ini ditimpa penyakit cacar yang sangat parah. Ketika sembuh dari penyakitnya itu, ia berbicara seperti orang bisu sehingga perkataannya tidak dapat dipaham. Hasil kesepakatan orang tua-tua kerajaan, raja harus diganti. Pada waktu menentukan giliran siapa diantara turunan kedua pengeran itu akan menggantikan Si Taddan Raja Tua, terjadi kericuhan.

Bulungan dan Tidung Memisahkan Diri Membentuk Kesultanan Sendiri. Karena terjadinya kericuan dan insiden pada waktu menetapkan giliran siapa yang harus menjadi raja dari kedua keturunan pangeran itu, kekuasaan pusat pemerintahan yang berkedudukan di Muara Bangun hampir tiada berfungsi lagi. Dalam situasi yang tidak menentu itu, daerah Bulungan dan Tidung berkesempatan melepaskan diri dari kesatuan wilayah kekuasaan Berau dan membentuk kesultanan sendiri pada tahun 1800.

Wilayah Inti Kerajaan Berau Terpecah Dua Pemerintahan kerajaan Berau terpaksa harus pasrah kasus Bulungan dan Tidung, karena segala tenaga dan pikiran mereka dipusatkan untuk mengatasi kekacauan perebutan kekuasaan antara turunan Pangeran Tua dan Turunan Pangeran Dipati. Gazi Mahyudin adik Sultan Zainal Abidin II bersikeras menggantikan kakaknya yang sakit-sakitan itu alasannya kakaknya baru beberapa tahun menjadi raja. Raja Alam Putera Sultan Amiril Mukminin turunan Pangeran Tua, merasa lebih berhak mendapat giliran menjadi raja, alasannya turunan Pangeran Tua baru empat kali. Suasana semakin tegang, yang mengakibatkan terjadinya insiden di beberapa tempat. Musyawarah kerajaan dan kedua keluarga Pangeran, karena hampir setiap giliran yang akan menjadi raja, timbul persengketaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup kedua keluarga itu, dapat memutuskan lebih akan bermanfaat wilayah itu dibagi atas kesultanan.

Pertama : Sebelah Utara Sungai Berau (Kuran) serta tanah kiri kanan sungai Segah menjadi Kerajaan Gunung Tabur diperintah oleh Sultan Gazi Mahyudin (Sultan Aji Kuning II). Kedua : Sebelah Selatan Sungai Berau (Kuran) dan tanah kiri kanan sungai Kelay menjadi Kerjaan Sambaliung di perintah oleh raja Alam (Sultan Alimuddin). Kedudukan Pemerintahan di Muara Bangun dipindahkan. Sultan Aji Kuning memilih Gunung Tabur yang terletak di sebelah kanan muara cabang sungai Segah sebagai pusat pemerintahannya dan Sultan Alimuddin Raja Alam memindahkan pusat pemerintahannya di kampong Gayam sebelah kanan masuk sungai Kelay, disebut Tanjoeng. Sesuai dengan keputusan Seminar Hari Jadi Kota Tanjung Redeb tahun 1992 peristiwa itu terjadi pada tahun 1810, sepuluh tahun sesudah Bulungan dan Tidung memisahkan diri.

Sultan Raja Alam Alimuddin inilah sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung, sedang ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat kampong Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau. Gazi Mahyudin atau Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X….”)

Demikian versi mengenai sejarah awal Kesultanan Bulungan dari sudut pandang sejarah Berau yang ternyata oleh penulis Belanda diyakini kebenarannya, komentar mengenai hal tersebut terlontar dari tulisan seorang ilmuan Belanda bernama H. J. Grizen seperti berikut :

“Pada zaman dahulu beberapa Kepala Pemerintahan di daerah Kalimantan Utara Berasal dari Berau sebelum Berau terpecah menjadi dua kerajaan, Bulungan dan Tidung termasuk wilayahnya. Bahkan kerajaan Alas dan Tungku yang sekarang diduduki Inggris, termasuk kawasan Berau.
____________________________________________________________________
1839, “Sedjak Boelongan beradja dengan sendirinja, perhoeboengan dengan Goenoeng Taboer, ja’ni radja jang asal memberi hak kepadanja, selaloe baik sahadja, tetapi berhoeboeng dengan pertjek tjokan yang disebabkan oeroesan perkawinan dalam tahoen 1839 maka perhoeboengan jang baik ini menjadi perselisihan”.

1866, “Perselisihan antara Goenoeng Taboer dengan Boelongan jang sejak beberapa tahoen lamanja, dengan perantaraan Assisten Residen dari Samarinda dapat didamaikan”.


Pada kedua poin catatan laporan mengenai Bulungan pada tahun 1839, menarik untuk di perhatikan, disebutkan bahwa hubungan antara Bulungan dan Gunung Tabur baik-baik saja sebelum sebuah masalah yang berkaitan dengan perkawinan mejadi penyulut masalah antara kedua Kesultanan tersebut.

Apabila kita melakukan pengecekan ditahun tersebut, bertepatan pada tahun memerintahnya Aji Muhammad atau Sultan Kaharuddin I, pada masa kepemimpinannya diperiode pertama, sejauh yang penulis tahu tidak ada catatan pasca Sultan Alimuddin, tentang perkawinan antara kedua kerajaan seperti yang ditulis dalam laporan tersebut, apakah ada bagian dari catatan sejarah Bulungan yang tidak menyebutkan peristiwa tersebut? Saya kurang tahu pasti. Namun satu hal yang pasti, dalam catatan yang dibuat oleh Adrian B. Lapian dalam bukunya berjudul Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX Hal. 214, (Kol. Archief, 30 Oktober 1863, no. 31 NA) beliau menuliskan tentang peristiwa perang antara Kesultanan Bulungan dan Gunung Tabur, Penulis menyusun informasinya sebagai berikut.

Pemerintah Kolonial Belanda sendiri dikejutkan dengan keberadaan berita yang mengisahkan tentang konflik antara Bulungan-Gunung Tabur, berita tersebut berasal dari Surat Asisten Residen Kutai bertanggal 15 Oktober 1862)

(…” Saat terjadinya hubungan yang sempat memanas antara Kesultanan Bulungan dan Gunung Tabur pada tahun 1862, petualang Inggris juga melibatkan diri dalam hal ini, kapten kapal niaga berbendera Inggris Swan, William Lingard berpihak pada Gunung Tabur atas permintaan Sultan dari kerajaan tersebut. William Lingard dikenal sebagai seorang nakhoda yang berpengalaman dan sering berlayar antara Singapura, Bali, Lombok dan pantai timur Kalimantan. Atas jasa-jasanya tersebut ia diberi gelar Raja Laut, menurut laporan 4 Maret 1863, gelarnya adalah ‘Pengeran Laut, Kapitan Berau’. Peristiwa ini disertai pula dengan tembakan kehormatan dan pemberian sebuah Mandau beserta tombak yang bertahtakan emas sebagai ‘Barang Kerajaan’. Belanda dibuat cemas karena ada berita yang menyebutkan bahwa Sultan menyerahkan sebidang tanah pada William Lingard tempat ia mendirikan rumah dan gudangnya. William Lingard nampaknya ingin mengikuti jejak James Brook, namun Belanda dengan cepat mengirim utusannya untuk mengadakan penyelidikan, disamping itu kunjungan kapal perang Belanda secara berkala didaerah tersebut membuat William Lingard tidak mungkin melanjutkan rencananya”).  

Pada laporan tersebut disampaikan bahwa terjadi konflik dimulai pada tahun 1839 , sempat terjadi konflik terakhir yang dimulai pada tahun 1862 dan baru Selesai 1866, memberikan pemahaman menarik mengenai konflik perbatasan yang berawal dari masalah perkawinan yang terjadi hampir 27 tahun lamanya, dan konflik terakhir Kesultanan Gunung Tabur bahkan sampai harus meminta bantuan seorang petualang Inggris, seorang Kapten Kapal bernama William Linggard untuk memimpin Angkatan Laut Gunung Tabur. Lamanya 27 tahun bukan waktu yang pendek, ia juga dapat digambarkan bagaimana tangguhnya Armada Kesultanan Bulungan yang baru berdiri menghadapi Kesultanan Gunung Tabur waktu itu. Jika kita menoleh kebelakang, Armada kesultanan Bulungan di bangun di era Sultan Alimuddin, armada tersebut pernah dikerahkan untuk memukul posisi bajak Laut di Tawau dibawah pimpinan Laksaman Muda Nik, putra lain dari Sultan Alimuddin, siapa sangka armada yang sama dikemudian hari digunakan pula dalam konflik beberapa kali yang berhadapan dengan kekuatan luar seperti Gunung Tabur yang ingin meluaskan wilayahnya.  

Sayangnya pasca perdamaian ditahun 1866, tidak pernah lagi terdengar mengenai Armada Laut Kesultanan Bulungan tersebut, disinyalir Armada Kesultanan dibubarkan pada akhir konflik tersebut sebagai bagian dari konpensasi perjanjian bersejarah antara Bulungan dan Belanda yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa “Belanda mengusai Sungai-Sungai, muara dan laut yang berada diwilayah Kesultanan Bulungan dan sebagai gantinya menjamin keamanan bagi Kesultanan Bulungan”

Masih banyak pertanyaan belum terjawab, misalnya seberapa banyak Kapal-kapal dan perahu milik Angkatan Laut Bulungan yang dihasilkan dan berdinas pada periode itu? Bagaimana struktur Komandonya? Siapakah Laksama terakhir yang memimpin pertempuran pada konflik panjang tesebut? Bagaimana mereka mendapatkan mesiu dan persenjataan pada periode tersebut? Dimana gudang senjatanya? Bagaimana komposisi awak kapalnya?, Apakah meriam-meriam kecil yang disimpan di Museum Kesultanan Bulungan tersebut pernah digunakan dalam konflik laut tersebut? dan banyak lagi yang menjadi misteri yang belum terpecahkan. Yang pasti, bahwa Kesultanan Bulungan pernah memilki pasukan yang berorientasi laut dapat dirasakan pada penyematan gelar pada salah menteri di era Sultan Maulana Mohammad Djalaluddin yaitu Menteri Ketiga, Yakni Gelar Laksamana Setia Diradja. Tentu saja dimasa Sultan Terakhir itu Sultan tidak memiliki pasukan Laut, hanya Opas saja, namun gelar itu secara simbolik mengingatkan pada masa jayanya Kesultanan Bulungan memang pernah memilki Armada Laut yang tangguh.
__________________________________________________________________
1873, “Dalam Tahoen 1873 Sultan dari Boelongan telah mangkat dan diganti oleh toeroenan jang berhak”.

1874, ”Setahoen kemoedian dalam boelan April 1874 di Boelongan berhoeboeng dengan tida ada pengganti Sultan djang sah, maka banjak candidaat2 mengemoekakan dirinja, sehingga hampir terdjadi perang saudara oentoenglah toean Assisten Resident dari Samarinda (boleh djadi- G.G Villenneuve) dapat segera menjelesaikan dan sebagai penggantinja diangkat Datoe Maoelana dan dalam boelan April 1875 diakui sjah oleh Gouvernement”.


Pada poin laporan tarakhir yakni pada tahun 1873 dan 1874, disebutkan bahwa Sultan Bulungan telah mangkat dan penganggantinya yang sah telah siap diangkat menjadi Sultan Bulungan.

Tahun 1873, merupakan tahun kemangkatan bagi baginda Sultan Kaharuddin I Bin Sultan Alimuddin. Peristiwa bersejarah ini menjadi peristiwa penting bagi Bulungan, karena kehilangan pemimpin yang mampu bertahan dari usaha agresi pihak luar. Dan seperti yang digambarkan pula dari poin tersebut, ternyata putra mahkota yang akan disiapkan naik tahta tidak cukup umur. Sehingga diangkatlah Sultan Datu Alam Muhammad Adil atau Muhammad Khalifatul adil Bin Maoelana selama tiga tahun dan mangkat di tahun 1875 kemudian digantikan oleh Sultan Muhammad Kaharuddin II Bin Maharaja Lela hingga tahun 1889.

Pada laporan yang ditulis pada poin diatas, disebutkan Datoe Maoelana disyah oleh Gubernur Belanda pada April 1875, laporan ini agak ganjil bagi penulis karena tidak dijelaskan siapa Datoe Maoelana tersebut. Selain itu laporan itu memberikan gambaran bahwa terjadi kekosongan kekuasaan di kesultanan Bulungan pada akhir periode setelah Mangkatnya Baginda Sultan Kaharuddin I di tahun 1873 hingga bulan April 1875, apabila kita kembali melihat versi sejarah Bulungan kekosongan kekuasaan tidak terjadi dimasa tersebut. Karena hal tersebut penulis belum dapat memahami laporan yang mengisahkan hampir terjadinya perang saudara antara Kesultanan Bulungan pada periode tersebut.

Penutup.
Demikian tulisan ringan yang penulis buat sebagai analisis awal mengenai hubungan sejarah Bulungan-Berau berdasarkan poin-poin laporan yang ditulis dalam “ Naskah Tjabutan”, tentu saja sebagai tulisan “ringan” jauh dari kesempurnaan, semoga akan ada informasi tambahan atau analisis lainnya, yang bisa menyempurnakan dan menambah khazanah dari tulisan ini. Terimakasih.

Note:
* Pertanyaan yang tak kalah menarik untuk disodorkan adalah,  bagaimana awalnya Bulungan dalam konteks sejarah Berau dianggap sebagai wilayah yang pernah menjadi satu naungan dibawah pengarah Kerajaan Berau? Ternyata salah satu pejabat Belanda pada waktu itu bernama J.S. Krom pernah meminta bantuan pihak Kesultanan Gunung Tabur dan Sembaliung untuk menyusun sejarah Berau, maka disusunlah tim kecil yang terdiri dari kedua pihak yakni: Klerk Lauw. Aji Berni Masuarno juru tulis kelas 1 Datu Ullang putera dari Sultan Amiruddin Sambaliung, Aji Raden Ayub putera dari Sultan H. Siranuddin Gunung Tabur dibantu beberapa magang seperti Abdul Wahab, Adam, Khirul Arip.

Berdasarkan data-data otentik yang dapat dihimpun dari kedua kerajaan itu serta naskah-naskah tradisional milik perorangan, berhasil disusun sejarah Berau.

Secara ringkas dalam tulisan tersebut, tim penulis menyebutkan bahwa wilayah inti yang membentuk kerajaan Berau kuno (Kuran) terdiri dari lima Nagari atau Benua dan 2 kampung. Saya tidak membahas mengenai kesemua nagari atau benua penyusun wilayah inti kerajaan tersebut, perhatian saya berfokus pada informasi mengenai salah satu Banua tersebut, yaitu Nagari Marancang yang disebut paling pertama dari wilayah tersebut, dengan ulasannya yaitu:

Nagri Marancang. Kepala Nagri atau Orang tuanya bernama Rangga Si Kannik Saludai. Pengarappan atau Punggawanya Bernama Harimau Jantan, Lambu Tunggal dan Kuda Sambarani. Wilayah kekuasaannya dari Bulalung Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi, Bulungan Selimbatu, Sekatak Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap, Simangarris, Tawau, Segarung, Talluk Silam dan Kinabatangan berbatasan dengan Brunei.

Perhatikan nama-nama wilayah yang saya garis bawahi, cukup familiar bukan? Beberapa nama tersebut masih bisa kita temukan sampai hari ini. Hubungan sejarah Bulungan-Berau layak dikaji lebih dalam lagi.


Sumber Pustaka
“Naskah Tjabutan” yang merupakan terjemahan dari “Kroeniek Der Zuider En Oosterafdeling Van Borneo”.

Copy naskah ketikan Datuk Perdana, “Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H”, t.th

Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.

Dachlansjahrani, H. 1991. “Beberapa Usaha Menemukan Hari Jadi Kota Tanjung Selor”.

Adrian B. Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Th. 2009.

Mika Okushima “Latar Belakang Etnis Tidung: Penyelidikan terhadap kerajaan-kerajaan kuno di pesisir Kalimantan timur laut. Th. 2002

Sejarah Berau, Tinjuan Historis Tentang Kerajaan Berau Kuran, diposting 31 May 2008, jam 20:53, By. www.betalphi.com/index.php/library/7-bks.

No comments:

Post a Comment

bulungan