Friday, July 31, 2020

Bagaimana pandanganmu tentang sejarah Kesultanan Bulungan yang tertulis dalam buku Babon Kerajaan-Kerajaan Nusantara?

[Buku Babon Sejarah Kerajaan Nusantara, Kesultanan Bulungan dibahas pada halaman 282 hingga 286]

Saya sudah pernah membaca buku itu, ada bab mengenai sejarah Kesultanan Bulungan yang ditulis oleh Faisal Ardi Gustama, diterbitkan oleh Briliant Books pada tahun 2017, boleh dikata termasuk belum lama dirilis. Buku tersebut dapat pembaca sekalian temui di Perpustakaan Daerah Kabupaten Bulungan, dilantai dua gedung tersebut pada bagian sejarah.

Tentunya sebagai pembaca, kita layak untuk mengapresiasi karya tersebut mengingat beberapa sejarah kerajaan atau kesultanan dalam buku tersebut ada beberapa yang tidak dikenal dalam buku-buku sejarah yang dipelajari di sekolah, termasuk mengenai Kesultanan Bulungan.

Dalam konteks sejarah Kesultanan Bulungan, ada beberapa hal yang bagi saya layak diapresiasi, setidaknya beberapa poin yang sudah ditulis oleh Saudara Faisal Ardi Gustama tersebut, diantaranya:

[Poin 01] dalam tulisan mengenai sejarah Kesultanan Bulungan tersebut, disebutkan bahwa “Kerajaan Bulungan adalah kerajaan yang pernah menguasai sebagian besar wilayah Kalimantan Utara, meliputi wilayah yang kini termasuk dalam area administratif Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tanah Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan, hingga Sabah (Malaysia bagian timur, perbatasan dengan Indonesia)”. Tulisan tersebut mengapa saya anggap penting karena diluar sana, atau diluar Kalimantan utara dan Timur khususnya hal tersebut tidak banyak diketahui oleh banyak orang, sedikit menambahkan dalam tulisan tersebut, bahwa wilayah administrasi baik Kabupaten atau Kota yang disebutkan pada tulisan tersebut, pasca Kesultanan Bulungan menjadi bagian NKRI setelah tahun 1949, sempat menjadi Daerah Istimewa Bulungan kemudian berubah status sekitar tahun 1959 menjadi Dati II Bulungan, dikemudian hari dikenal sebagai Kabupaten Bulungan adalah wilayah Induk dari lima Kabupaten kota yang menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Utara saat ini.

[Poin 02] penulis pada akhir tulisan tentang Kesultanan Bulungan, memaparkan singkat namun padat mengenai peristiwa Tragedi Juli 1964. Walaupun sudah banyak yang mengulas tersebut baik dimedia sosial maupun cetak bahkan beberapa ulasan video di Youtube, tulisan tersebut berarti setidaknya bagi kami pengamat sejarah lokal Kesultanan Bulungan secara khususnya, tulisan tersebut cukup jelas menyebutkan mengenai adanya perintah oleh oknum yang saat itu menjabat sebagai Pangdam IX Mulawarman, untuk melakukan tindakan tak terpuji diwilayah Dati II Bulungan pada masa itu. Penulis juga memaparkan jumlah korban yang jatuh serta tindakan-tindakan brutal berupa penangkapan dan penjarahan yang terjadi pada Kesultanan Bulungan diSenjakalanya pada tahun 1964 tersebut, semoga tulisan dan paparan itu menambah pengetahuan dan perbendaharaan mengenai sejarah Republik Indonesia yang tidak banyak didapatkan dibangku sekolah, bahwa ada kenyataan pahit di saat kampanye Dwikora dikobarkan, ada sebuah peristiwa yang coba ditutup-tutupi cukup lama yaitu peristiwa Bultiken atau Tragedi Bulungan di tahun 1964.

Tentunya selain bentuk apresiasi, tidak ada salahnya saya memberikan semacam kritik atau koreksi semampu saya mengenai tulisan tersebut. Ada beberapa poin yang saya garis bawahi,

[Pertama], dalam tulisanya disebutkan bahwa, “Tidak diketahui pasti apakah Datuk Mancang sudah memeluk agama Islam atau belum. Namun yang jelas, beberapa penguasa Kerajaan Bulungan setelah Datuk Mancang memakai nama yang cendrung bernuansa Hindu (dengan istilah Sanskerta). Baru pada pertengahan abad ke-18, pemimpin Bulungan memakai gelar Sultan yang menandakan bahwa Bulungan telah berubah menjadi kerajaan bercorak Islam (Hal. 282)

Datuk Mancang datang ke wilayah,- yang kemudian hari dikenal sebagai Kesultanan Bulungan pada abad ke-18,- berasal dari Brunei Darussalam.  Dalam catatan sejarah Bulungan sendiri Datuk Mancang digambarkan bukanlah seorang tokoh biasa, melainkan bangsawan yang pindah dari Brunei dan mencari lokasi mukim baru, ia juga tidak datang sendirian, melainkan membawa sekitar 100 orang prajurid dan dua orang pengawal penting, yakni seorang panglima dan penasihat agama atau ulama. Bila kita mencoba membandingkan masa kedatangan Datuk Mancang yang disepakati mulai memimpin pada tahun 1555 hingga 1594, maka kita akan menemukan fakta menarik bahwa diera tersebut pada tahun 1555, bersamaan dengan berkuasanya Sultan Brunei ke-7 yakni Sultan Saiful Rijal (naik tahta tahun 1533 dan wafat tahun 1581), bila dihitung pada tahun datangnya Datuk Mancang untuk bermukim, maka bertepatan dengan 22 tahun setelah baginda naik tahta, jadi dapat disimpulkan bahwa Datuk Mancang adalah seorang Muslim. Memang benar bahwa beliau menggunakan gelar Kesatria Wira dan kemudian gelar Wira itu diikuti oleh para penerusnya, namun tidak berarti mereka bukan Islam. Wira atau kurang lebih Pahlawan adalah gelar yang umumnya digunakan pula oleh Kesultanan-Kesultanan Melayu untuk seseorang yang berkecimpung di bidang militer baik itu panglima maupun Laksamananya. Contoh Hang Tuah dianggap Wira dalam Kesultanan Melaka, apakah gelar itu otomatis membuat Ia dikatakan bukan muslim? Hal yang sama berlaku pada kasus Datuk Mancang ini.

[Kedua], dalam tulisan tersebut disebutkan pula bahwa, “Bulungan berubah menjadi kerajaan bercorak islam pada masa pemerintahan Wira Amir. Keturunan dari Singa Laut ini sebenarnya menjadi pemimpin Bulungan sejak tahun 1731, namun ia baru memeluk agama Islam pada tahun 1777 dan berganti nama menjadi Aji Muhammad. Sejak saat itu lahirlah Kesultanan Bulungan dan Wira Amir atau Aji Muhammad menyandang gelar sebagai Sultan Amiril Mukminin bertahta sampai tahun 1817 atau ketika umurnya sudah mencapai 86 tahun (Hal. 283)

Saya kira ada beberapa hal yang layak dikoreksi dalam catatan yang telah diketengahkan oleh penulis Faisal A.G. tersebut

Kesultanan Bulungan memang diproklamirkan atau didirikan oleh Wira Amir yang kemudian dikenal sebagai Amiril Mukminin. Wira Amir adalah nama sebenarnya dari tokoh bersejarah tersebut, ada versi lain yang menyebutnya dengan nama Miril dan beliau sudah muslim sebelum Kesultanan Bulungan berdiri, sebab masyarakat Muslim sudah ada sebelumnya. Nama “Amir” sudah menegaskan hal tersebut. Jadi masyarakat muslim sudah terbentuk di Bulungan pada periode yang disebut Periode Wira itu, yang berlangsung antara tahun 1555 hingga 1731 sudah ada pemeluk Islam diwilayah Bulungan.

Gelar Amiril Mukminin sendiri diberikan oleh Sayyid Abdurrahman Bilfaqih, ulama yang kemudian hari datang ke Bulungan untuk berdakwah pada masyarakat yang dipimpin oleh Wira Amir sekaligus meneguhkan posisinya sebagai Sultan Bulungan yang pertama, dikarenakan pemerintahan pada masa itu hanya berupa pemerintahan kepala kampung saja. Perlu dingatpula tak jauh dari wilayah Bulungan sudah ada ada Kerajaan Kuno Berau berdiri disekitar Sungai Segah, sehingga dapat dipahami pemimpin sebelum Wira Amir belum cukup kuat untuk bersaing secara militer dan politik dengan kerajaan Kuno itu. Kerajaan Tua inipun di awal abad ke-18 mengalami perpecahan menjadi dua Kesultanan Baru yang bernama Gunung Tabur dan Sambaliung.

Ada sedikit kekeliruan pula pada tulisan tersebut, Wira Amir dan Aji Muhammad digambarkan sebagai orang yang sama. Nama Aji Muhammad dalam sejarah Kesultanan Bulungan tidak merujuk pada Wira Amir melainkan pada nama penerusnya yakni Sultan Muhammad Kaharuddin yang naik tahta pertama kali pada tahun 1817 sebagai Sultan Bulungan yang ke-3 beliau dikenal pula dengan nama Simad, sebelumnya pada tahun 1777 putra Sultan Amiril Mukminin, yakni Aji Ali atau yang yang lebih dikenal dengan nama Sultan Alimuddin bertahta menjadi Sultan Bulungan yang ke-2. Jadi memang ada sedikit kesalahpahaman mengenai tokoh Wira Amir yang ditulis oleh beliau tersebut. Sebelum Aji Muhammad naik tahta, ayahandanya Aji Ali atau Sultan Alimuddinlah yang meneruskan kepemimpinan pasca Sultan Amiril Mukminin.

[Ketiga], ini ulasan agak panjang, “Kesultanan Bulungan tidak terlalu kuat sehingga akhirnya ditaklukan oleh Kesultanan Berau yang berpusat di Kalimantan Timur. Setelah itu wilayahnya Bulungan diambil alih oleh Kesultanan Sulu di Filipina. Situasi ini berlangsung sampai kedatangan Belanda Ke Kalimantan bagian utara.

Kehadiran Belanda di Kalimantan yang berlanjut dengan penaklukan kerajaan-kerajaan lokal yang ada dipulau tersebut ternyata sampai juga ke wilayah Bulungan. Pada tahun 1850 Belanda menjalin perjanjian dengan Kesultanan Bulungan yang saat itu sebenarnya menjadi wilayah penaklukan Kesultanan Sulu.

Perjanjian atau kontrak politik antara Belanda dengan Kesultanan Bulungan tersebut ditandatangani oleh Sultan Muhammad Alimuddin Amirul Mukminin Kaharuddin (1817-1861) yang merupakan penerus Sultan Amirul Mukminin. Disisi lain Kesultanan Sulu tidak mampu berbuat apa-apa karena sedang terlibat pertikaian dengan orang-orang Spanyol yang datang ke Filipina.

Belanda ternyata berhasil menancapkan pengaruhnya di Bulungan pada tahun 1853. Situasi ini lama-kelamaan mengusik Spanyol yang merasa bahwa Bulungan masih menjadi milik Kesultanan Sulu, sementara Sulu sudah tunduk kepada Spanyol. Kemudian diadakan kesepakatan antara Belanda dengan Spanyol 1878.

Maka disepakatilah bahwa Spanyol harus melepaskan klaimnya atas Borneo (Kalimantan) termasuk wilayah Kesultanan Bulungan dan penguasaanya atas wilayah Filipina serta kepulauan Sulu tidak akan diusik oleh Belanda. Dengan demikian Kesultanan Bulungan kini diduduki oleh Belanda dan dimasukan kewilayah pemerintah Kolonial Belanda yang berlangsung hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942.

Ada beberapa poin menarik bagi saya yang dapat kita ulas dalam tulisan Faisal A.G mengenai Bulungan pada tulisan tersebut

[A] sejarah hubungan Kesultanan Sulu dan wilayah Bulungan sudah terjalin cukup lama, dalam beberapa perkembangan ia menjadi hubungan “Sekutu” sekaligus “Seteru”. Seperti yang saya sebutkan tadi dalam sejarah Bulungan, khususnya Pra Kesultanan atau di era Wira pernah terjadi pernikahan antara putri Datuk Mancang dengan seorang bangsawan Sulu bernama Singa Laut. Keturunan Singa Laut inilah yang kemudian melanjutkan kepemimpinan hingga Kesultanan Bulungan dibentuk pada tahun 1731 oleh Wira Amir atau Amiril Mukminin bertujuan untuk menghindari atau menahan serangan orang-orang Sulu terjadi pada masa-masa itu. Pernikahan politik ini membentuk aliansi kekuatan antara orang-orang Bulungan dan orang-orang Sulu. Namun perkembangannya pula khususnya selepas Kesultanan Bulungan didirikan, banyak aktifitas Sulu yang terjadi dikawasan sekitar Kesultanan Bulungan yang cendrung merugikan, ini tak lain karena sebagian besar pundi-pundi keuangan Kesultanan Sulu didapati dari penjualan Budak. Orang-orang Sulu berburu dan berjualan budak hingga kawasan pantai utara dan timur Kalimantan khususnya diera perniagaan abad 18 hingga 19 Masehi. 

Pecahnya konflik Bulungan-Sulu menyebabkan munculnya ekspedisi milter yang dilakukan oleh Kesultanan Bulungan untuk mendesak orang-orang Sulu dan kerabat dekat mereka orang Iranun untuk menjauhi wilayah Kesultanan Bulungan, diantaranya ekspedisi yang pernah dilakukan dimasa Sultan Alimuddin yang komando pelaksananya diambil langsung oleh putra beliau Laksamana Ni’I menyerang posisi orang Sulu atau Solok dalam bahasa Bulungan, yang berpangkalan di Tawau, kota itu akhirnya jatuh ketangan Bulungan. Lebih tua lagi cerita konflik Bulungan-Sulu terjadi diera Sultan Amiril Mukminin, dikisahkan bahwa perahu-perahu Solok yang kemungkinan besarnya adalah ekpedisi perburuan budak, dihancurkan oleh Bulungan ketika mereka mencoba memasuki Salimbatu, akibat peristiwa itupula yang menjadi satu dari sekian alasan Sultan Alimuddin memindahkan ibu kota dari Salimbatu ke wilayah dalam (Tanjung Palas) untuk faktor pertahanan dan keamanan.

Dalam catatan sejarah Bulungan tidak pernah pula ditemui bahwa Bulungan ditaklukan oleh Sulu, dari Ibu Kota Pemerintahan masih di Salimbatu hingga dipindahkan ke Tanjung Palas, dan dilaksanakannya perjanjian awal dengan Belanda di tahun 1850, Pasukan Kesultanan Sulu sama sekali tidak pernah menaklukan Ibu Kota Kesultanan Bulungan. Hal inipun berlaku pula pada salah satu Kesultanan pecahan kerajaan Berau Kuno yang mencoba menaklukan Bulungan, namun niat itu tidak pernah kesampaian.

[B] Kesultanan Sulu bukanlah kekuatan tunggal di wilayah selatan Filipina dimasa itu, ada kerajaan lain semisal Kesultanan Maguindanou dan konfederasi Kesultanan di Lanou yang terdiri dari 4 kerajaan merdeka yakni Unayan, Masiu, Bayabou dan Baloi, serta kekuatan orang Iranun dan Balanguingui yang menjadi saingan sekaligus sekutu Sulu. Kesultanan Sulu berkedudukan di Pulau Jolo, sampai kedatangan Amerika, tidak pernah benar-benar dapat ditaklukan oleh Spanyol. Buktinya budaya dan bahasa Sulu tidak pernah “terspanyolkan” seperti tetangga mereka di utara. Bahkan ketika Jolo dihancurkan oleh Spanyol ditahun 1876, Orang-orang Sulu memindahkan pusat ibu kota ke Maimbung dan memulai bisnis baru yaitu perniagaan permata.

Kesultanan Sulu memang pernah mencapai kejayaan mereka khususnya ketika Brunei menyerahkan sebagian wilayah Sabah kepada Kesultanan Sulu, setelah itu wilayah itu diambil alih oleh Inggris dan dikemudian hari terjadi perbicaraan tapal batas antara Belanda Inggris, yang membagi wilayah perbatasan antara Sabah dan wilayah Kesultanan Bulungan yang baru selesai pada masa Sultan Azimuddin. Mengenai perjanjian Spanyol-Belanda atas Bulungan adalah hal baru bagi saya mengetahuinya, sayangnya penulis Faisal A.G tidak mencantumkan seperti apa perjanjian antara Belanda-Spanyol tersebut yang terjadi pada tahun 1879 tersebut.

[C] Perjanjian Bulungan-Belanda yang jadi ditahun 1850, berlaku ketika Bulungan dibawah pemerintahan Aji Muhammad atau Sultan Kaharuddin Pertama, sedang penulis Faisal A.G mengatakan bahwa perjanjian tersebut dilakukan oleh Sultan Muhammad Alimuddin Amirul Mukminin Kaharuddin, mungkin penulis merujuk kepada Sultan Kaharuddin Pertama, namun dalam literature Kesultanan Bulungan nama Sultan Muhammad Alimuddin Amirul Mukminin Kaharuddin tidak ada, sehingga ada sedikit kerancuan dalam hal tersebut.

[D] dalam daftar nama Sultan Bulungan yang dinukilkan oleh penulis Faisal A.G, ada beberapa kesalahan yang cukup fatal. Misalnya Wira Amir (1731-1777) dan Aji Muhammad digambarkan sebagai orang yang sama, padahal kedua sosok ini berbeda. Selain itu dalam daftar nama tersebut tidak pula dicantukan nama Sultan Ahmad Sulaiman.

Dalam keterbatasan saya, semoga tulisan saya ini bisa menjadi bahan perbaikan serta dapat didiskusikan. Dan apa bila ada hal yang perlu dikoreksi ulang, kritik para pembaca yang budiman sangat diharapkan. By M. Zarkasyi.

Note

#. Sejarah Perbudakan di Dunia Muslim (https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_slavery_in_the_Muslim_world&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp&prev=search)

#.Kesultanan Sulu (https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Sultanate_of_Sulu&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp&prev=search)

No comments:

Post a Comment

bulungan