Sunday, August 23, 2020

Dua "Djalaluddin" dalam lintasan sejarah Bulungan

Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin berserta para Menterinya

Nama Djalaluddin sendiri sebenarnya sangat popular, namun yang tidak banyak disadari adalah gelar Jalaluddin atau dalam tulisan umum yaitu ‘Djalaluddin” dalam sejarah Kesultanan Bulungan, sebenarnya tidak hanya digunakan oleh satu orang saja.

Nama Jalaluddin sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya Kemuliaan Agama, dalam lintasan sejarah dunia sendiri beberapa Sultan atau tokoh penting pernah menggunakan nama tersebut, diantara Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar dari Kesultanan Mughal atau Jalaluddin Rumi, seorang Sufi dari Persia.

Ada dua orang Sultan yang menggunakan gelar tersebut, Jadi dapat dikatakan gelar “Djalaluddin” dalam sejarah Kesultanan Bulungan itu tidak dimulai pada tahun 1931.

Sultan pertama yang menggunakan nama tersebut adalah Si Kidding, nama yang khas Bulungan. Beliau adalah putra dari Sultan Bulungan yang ketiga, Sultan Kaharuddin I. Tidak banyak catatan sejarah yang dapat diperoleh pada masa masa beliau ini, namun yang pasti pada awalnya memerintah dan menggunakan Gelar Sultan Djalaluddin I pada tahun 1861, Kesultanan Bulungan tengah melakukan konsolidasi kekuatan dan upaya pembangunan pusat pemerintahan di Tanjung Palas serta melakukan usaha pembangunan bandar dagang diseberang pusat pemerintahan saat itu.

Kawasan perdagangan di Tanjung Selor yang mulai dibuka pada masa Ayahanda beliau Sultan Kaharuddin I, upaya pembangunan ini berjalan cukup sukses, ini dibuktikan dengan banyaknya berdatangan para pedagang yang membangun pemukiman baru di Tanjung Selor. Salah satu tantangan besar yang juga terjadi pada era Sultan Djalaluddin ke-I ini adalah menjalankan kontrak perjanjian antara Kesultanan Bulungan dan pemerintah Kolonial Belanda yang ditandatangani sejak tahun 1834.

Walaupun naik tahta dan memerintah Kesultanan Bulungan, namun pada prakteknya pemerintahan era Si Kidding tidak lepas dari pengaruh ayahnya Sultan Kaharuddin I, pada masa beliau memerintah Bulungan terlibat persaingan sengit dengan Kesultanan Gunung Tabur khususnya mengenai tapal batas dan ambisi ekspansi diantara kedua Kesultanan yang sudah dimulai pada masa Sultan Kaharuddin I tersebut. Tahtanya menjadi rebutan antara kerabatnya, itu dibuktikan pada tahun 1866, Sultan Kaharuddin I kembali mengambil tahta karena Si Kidding sering sakit-sakitan dan alayarham meninggal diusia muda pada tahun tersebut. Makam baginda sendiri belum ditemukan hingga sekarang.

Sultan Kedua yang menggunakan gelar Djalaluddin tentunya adalah Datuk Tiras, hanya saja beliau menambahkan nama Maulana Muhammad di depan nama Djalaluddin tersebut, oleh orang banyak lebih dikenal sebagai Sultan Djalaluddin saja yang mulai berkuasa pada tahun 1931. 

Berbeda dengan Sultan Kasimuddin, saudara baginda yang memang disiapkan oleh ayahanda beliau, Sultan Azimuddin sebagai Raja Muda, Datuk Tiras tidak melalui periode tersebut. Datuk Tiras dalam sebuah kisah diceritakan sebelum menjabat sebagai Sultan, beliau adalah mandor kebun karet Kesultanan Bulungan di Tanjung Palas. Ketika mulai menjabat sebagai Sultan, Maulana Muhammad Djalaluddin menjalankan sejumlah terobosan di istana, misalnya beliau mulai membagi jabatan mentri kesultanan menjadi tiga, yaitu Datuk Bendara Paduka Radja sebagai Menteri Pertama, Datuk Perdana sebagai Menteri Kedua dan Datuk Laksamana Setia Diraja sebagai Menteri ke Tiga, jabatan tersebut bahkan di era Sultan Kasimuddin dan Sultan Ahmad Sulaiman belum pernah ada.

Dimasa Sultan Maulana Djalaluddin penataan ibu kota Kesultanan Bulungan menjadi perhatian penting, khususnya pada tata perumahan rakyat, beliau juga mulai menerangi ibu kota dengan memboyong mesin pembangkit listrik sehingga jalan-jalan dan perumahan rakyat di ibukota mulai terang benderang, terlebih lagi ketika malam. Ketika Jepang menduduki Kesultanan Bulungan, Sultan Djalaluddin meninggalkan istana pergi bersama rakyatnya untuk membuka sejumlah area persawahan untuk memenuhi kebutuhan beras yang cukup langka kala itu. 

Diera Sultan Djalaluddin ke-II ini, sejumlah peraturan diberlakukan, misalnya larangan mengendarai sepeda ketika melintasi komplek istana, penggunaan songkok sebagai identitas muslim juga digalakan dimasa beliau, institusi keagamaan yang sudah diperkuat sejak era Sultan Kasimuddin semakin dibenahi seperti pengangkatan sejumlah Qadi, Imam Mesjid dan Muazin atau Bilal yang berada langsung dibawah Sultan dan Mesjid Kasimuddin sendiri menjadi pusat keagamaan penting di era tersebut. Madrasah Al-Khairaat juga berdiri pada masa beliau ini, satu di sekitar komplek Mesjid Kasimuddin dan satu lagi di kampung Arab Tanjung Selor. Pada persoalan hukum adat, misalnya ada hukum "buang" bagi masyarakat yang kedapatan melakukan zina.

Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin sendiri termasuk penggagas dan pendukung gerakan kemerdekaan Indonesia, ini terbukti pada 17 Agustus 1949, bendera Merah Putih dikibarkan di istana Kesultanan Bulungan, menariknya, Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin sendiri adalah penerima bintang kehormatan dari pemerintah kolonial Belanda dengan pangkat Letnan Kolonel. Setelah Kesultanan Bulungan bergabung menjadi bagian NKRI, posisi beliau menjadi Kepala Daerah Istimewa Bulungan hingga akhir hayatnya. 

Makam Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin dapat ditemui dikomplek makam yang berada di area Mesjid Sultan Kasimuddin di Tanjung Palas. Sampai hari ini belum ada lagi Sultan Bulungan yang dilantik pasca Maulana Sultan Djalaluddin mangkat. By. Muh. Zarkasyi.

2 comments:

  1. assalam tuan saya joe dari malaysia. ingin bertanya lebih lanjut mengenai kesultanan bulungan. bole hubungi sy di email gmail.

    ReplyDelete
  2. Istri pertama Sultan Djalaluddin bernama Sofia merupakan anak dari Datu Mansyur, jadi Datu Perdana dan Datu Nasir adalah saudara ipar dari Sultan Djalaluddin. Bahkan yang menabalkan Datu Tiras menjadi Sultan adalah Datu Mansyur yang tak lain dan tak bukan adalah bapak mertuanya sendiri.

    ReplyDelete

bulungan