Dalam sejarah Kesultanan Bulungan, Sultan Alimuddin putra dari Amiril Mukminin,Sultan kedua dari Kesultanan Bulungan ini bernama asli Aji Ali. Ia merupakan Sultan yang memiliki visi yang kuat dalam membangun Bulungan, ia tidak hanya dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang baik, namun juga diplomat yang ulung dan panglima militer yang disegani, ia nampaknya memang berbakat dibidang militer dan diplomasi.
Kehilangan orang-orang yang disayanginya, sahabat dan keluarga akibat serangan bajak laut yang melanda Kesultanan Bulungan dimasa ayahnya memerintah, nampaknya begitu membekas di hati Alimuddin muda, maka tidak heran ia tumbuh menjadi laki-laki yang dibesarkan dalam suasana yang menuntutnya menjadi pribadi yang harus memiliki kemampuan lebih dari laki-laki sebayanya.
Nama Sultan Alimuddin sendiri menurut pak Ubid Hadruni S.H memiliki dua versi, yang pertama nama Alimuddin berasal dari dua suku kata yaitu: Ali (diatas) dan Ad din (agama) jadi artinya kurang lebih “hamba yang memiliki kekuatan diatas agama”. Versi yang kedua nama alimuddin berasal dari dua suku kata juga yaitu: Alim (mengetahui) dan Ad din (agama) jadi kurang lebih artinya nama itu adalah “hamba yang mengetahui agama”.<1> Gelar ini disandang oleh sultan Alimuddin setelah ayahnya Sultan Amiril Mukminin mangkat.
Dalam pemerintahannya, Sultan Alimuddin memilki kebijakan yang menonjol khususnya pada bidang politik, dan militer yang pada akhirnya memberikan keuntungan dibidang ekonomi dan penyebaran agama Islam di Bulungan.
Dalam bidang militer dan pertahanan, Sultan kemudian membangun armada laut pertama dalam sejarah Bulungan, kekuatan laut ini menjadi salah satu tulang punggung yang sangat penting untuk melakukan pengawasan dan sekaligus melakukan serangan balik terhadap aktivitas perompakan bajak laut dikawasan Bulungan.
Dalam Riwayat Kesultanan Bulungan dari tahun 1563 M atau 919 H, diketahui Sultan mengirim armada maritimnya dibawah Laksamana yang juga putra keduanya Raja Muda Ni’ melakukan serangan balasan ke Tawau yang merupakan salah satu basis bajak laut sulu pada masa itu, Tawau berhasil di taklukan dan menjadi kawasan kesultanan Bulungan hingga kedatangan Inggris. Kebijakan militer Sultan pada awalnya di pusatkan untuk mengusir bajak laut, dalam bahasa setempat yaitu Lanun dari wilayah kesultanan sulu.
(Joangga, kapal khas bajak laut Sulu)
Dalam sejarah Kesultanan Sulu sendiri memang diakui ada beberapa suku yang berada dibawah kekuasaannya melakukan aktivitas sebagai bajak laut, atau lebih tepatnya aksi sabotase terhadap kapal-kapal dagang Spanyol yang berhasil menguasai pulau-pulau di utara Filipina seperti Luzon, Cebu, Visaya dan lain sebagainya. Namun tidak semua dari mereka adalah murni sebagai Bajak Laut, Caesar Majul bahkan mengingatkan bahwa kita harus dapat memisahkan antara perlawanan atau perjuangan murni orang-orang Sulu melawan Spanyol dengan perompak-perompak yang juga dilakukan oleh suku-suku yang juga ada dibawah kekuasaan Kesultanan Sulu, memang terkadang suku-suku itu sebenarnya tidak sepenuhnya tunduk dengan pengaruh Sultan, kecuali jika para datu-datu atau pemimpin mereka menghormati wibawa Sultan Sulu. Suku-suku yang dimaksud antara lain adalah Suku Balangingi. Orang Balangingi yang juga kadang disebut Bajau Balangingi ini bekerjasama dengan suku Iranun atau Ilanun dalam menjalankan aktivitas melanun (bajak laut) di perairan Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Selat Makasar. Kebanyakan yang mereka serang adalah pedagang-pedagang yang berasal dari wilayah kekuasaan Spanyol dan orang-orang Borneo termasuklah wilayah kesultanan Bulungan.
Orang-orang Spanyol menamakan mereka dengan sebutan Pirata namun ada juga yang menganggap mereka Corsario, ada juga yang menamakan mereka Gora’e yang artinya memang kurang lebih adalah bajak laut. Kemahiran orang Balangingi merompak bersama Iranun tidak ada bandingnya sehingga perompak-perompak suku Tausug (orang asli kesultanan Sulu, disebut juga orang sulu atau solok), orang sulu sendiri kalah oleh popularitas Balangingi dan Iranun ini. Dari kata Iranun atau Ilanun inilah muncul kata yang populer yang sangat dikenal masyarakat pesisir, yaitu Lanun yang bersinonim dengan kata bajak laut.
(Salah satu armada bajak laut Sulu yang siap melanun)
Armada bajak laut, khususnya Lanun dan Balangingi memiliki kekuatan maritim yang tidak bisa dipandang sebelah mata, hal itu tidak lain karena mereka telah mahir menggunakan senjata api seperti lentaka, lila dan meriam dalam armada laut mereka.
Selain itu mereka juga memiliki kapal perang khas Sulu yang bernama Joangga. Joangga sendiri merupakan kapal perang besar yang didayung banyak orang dan memiliki meriam didepan haluannya, semacam Ghalias, (kapal besar berlayar tiga milik spayol yang dikelilingi meriam pada sisi kanan dan kirinya).
Menurut study yang dilakukan oleh Warren, ekspedisi laut yang dilakukan oleh Lanun maupun Balangingi yang meliputi hampir sebagian besar perairan Asia Tenggara mempunyai tujuan tertentu pula, yaitu sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang pada masa itu masih dilakukan oleh budak. Kalau bagi masyarakat darat sumber tenaga budak adalah tenaga pedalaman yang didiami oleh suku bangsa lain, maka bagi masyarakat bahari seperti orang Lanun, Maguindano dan Balangingi tempat mencari budak adalah laut dan daerah seberang lautan.<2>
(Ilustrasi serangan armada Sultan Alimuddin terhadap bajak laut Sulu di perairan Tawau)
Karena itu dapat dipahami mengapa Sultan Alimuddin mengkonsentrasikan armada maritimnya ke utara, ini tentunya dimaksud untuk mendesak keluar bajak laut yang berdiam diwilayah Tawao atau sekitar Teluk sebuku yang sudah menyusahkan, karena mereka juga melakukan aktivitas perompakan disekitar laut Sulawesi yang akhirnya berimbas pada keamanan Kesultanan Bulungan. Kawasan Teluk Sebuku nampaknya tidak terlalu asing bagi para pelaut, orang-orang barat bahkan menamakan Teluk Sebuku dengan nama Santa Lucia.
Sukses menggulung armada bajak laut di Tawau. Sultan Alimuddin berhasil meluaskan wilayahnya hingga batas sungai Semaya dan Seludung yang termasuk berbatasan kalimantan utara (Sabah). Tahun-tahun berikutnya kawasan Tanah Tidung -sebuah daerah luas yang terletak di perbatasan kesebelah laut sungai kayan- akhirnya ditempatkan dibawah perlindungan Kesultanan Bulungan, bahkan hingga masuk ke wilayah sungai sebuku.<3>
Sultan Alimuddin juga membangun hubungan diplomatik dengan Kesultanan Sambaliung maupun kaum Tidung serta suku-suku Dayak baik di hilir maupun hulu sungai Kayan. Kebijakan pertama sultan Alimuddin yang dapat terekam dalam catatan sejarah adalah pernikahan beliau dengan bangsawan sembaliung yaitu Pengian Intan dan Aji Aisyah dari Tanah Tidung (wilayah kesultanan Bulungan). Secara politik Pernikahan beliau dengan Pengian intan ini dapat dipandang juga sebagai upaya mengangkat status Bulungan menjadi sebanding dengan kesultanan yang mulai muncul bersamaan dengan kehadiran Kesultanan Bulungan seperti Sembaliung dan Gunung Tabur yang merupakan pecahan dari kerajaan Berau lama (Kuran) yang sudah ada dikawasan tersebut. Itu artinya sebagai sebuah “kesultanan baru”, Kesultanan Bulungan diakui keberadaannya dan secara politik, Kesultanan Bulungan dipandang sebagai kesultanan yang merdeka, sama halnya dengan pernikahan dengan diatas, pernikahan beliau dengan Aji Aisyah juga nampaknya dipandang sebagai bentuk kebijakan “melunakan hati” orang-orang pesisir (Tidung) di wilayah kesultanan Bulungan tersebut, perikatan antar bangsawan inilah yang kemudian mengikat persaudaraan antara orang-orang Bulungan dan Tidung yang dikemudian hari semakin tersebarnya Islam dikawasan pesisir Bulungan.
Dari Salimbatu, Sultan Alimuddin kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanjung Palas, disana ia membangun pusat pemerintahan yang kuat dan membina mesjid Kesultanan Bulungan untuk kepentingan Syiar Islam dan Ibadah.
Setelah meninggalkan wilayah Bulungan yang begitu luas dan mempermudah penyebaran agama Islam terutama dikawasan pesisir, Sultan Alimuddin kemudian menutup mata pada tahun 1817 setelah 40 tahun berkuasa.
Sumber:
(1). Wawancara dengan bapak Ubid Hadruni S.H 15 Oktober 2008.
(2). Adrian B. Lapian, “Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX”, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009). hlm. 162
(3). Dt. Mohd. Saleh gelar Dt. Perdana bin Alm Dt. Mansyur.“Risalah Riwayat Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H.” t.th. hlm 7
Assalamu alaikum Saudara Zarkasyi,
ReplyDeleteAda keluarga Bulungan dari Pulau Bum Bum (Samporna, Tawau) yang ingin berhubung dengan Ibu Fatimah bte Pengeran Amir (balu Sultan Jalaludin) yang khabarnya kini berusia lebih 100 tahun. Adakah saudara bisa membantu?
Jazakallah.
walaikum salam, terimaksih saudara arkawan atas kunjungannya, namun saya mohon maaf nampaknya saya belum dapat membantu sejauh itu karena akses saya untuk mewujudkan hal tersebut memang nampaknya tidak ada. sebelumnya saya mohon maaf, sampaikan salam hormat saya pada beliau. terimaksih.
ReplyDelete