Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. Cerita-cerita yang berisi tentang kisah orang-orang terkemuka diantara mereka maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya disampaikan dari mulut kemulut selama beberapa generasi. Hal ini dapat dipahami karena Suku Bulungan pada dasarnya adalah suku bangsa penutur (menyampaikan sebuah peristiwa dengan cara dilisankan, Oral Tradition), oleh karena itu, mereka tidak memiliki abjad atau alfabet tersendiri, setelah agama Islam masuk dan berkembang di Bulungan serta dipeluk oleh mayoritas suku Bulungan, barulah mereka mengenal tulis-menulis huruf arab murni maupun huruf Jawi (arab-melayu).
Konon cerita asal-usul suku Bulungan dimulai dari kisah kehidupan Ku Anyi, Ku Anyi adalah seorang kepala Suku Dayak Hupan (Dayak Kayan Uma Apan) mereka tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan.
Hingga masa tuanya Ku Anyi ternyata belum dikaruniai seorang anak. ketika suatu hari, pada saat Ku Anyi berburu di hutan, ia mendengar suara aneh. Anjing berburunya menyalak keras kearah sebatang bambu betung dan sebutir telur diatas pohon Jemlai. Karena rasa penasarannya, bambu betung dan sebutir telur tersebut dibawanya pulang dan diletakan di perapian dapur. Keesokan harinya kedua benda tersebut berubah menjadi dua sosok bayi mungil laki-laki dan perempuan. Akhirnya, Ku Anyi dan Istrinya memberikan nama Jau Iru yang artinya “si Guntur Besar” pada bayi laki-laki dan Lemlai Suri pada bayi perempuan tersebut, keduanya dipelihara dengan baik hingga dewasa.
Peristiwa aneh ini oleh masyarakat dinamakan Bulongan (bambu dan telur), pada perkembanganya menjadi Bulungan. Versi lainnya menyebutkan Bulungan berasal dari perkataan “ Bulu Tengon”, karena perubahan dialek dari bahasa bulungan kuno ke bahasa melayu menjadi Bulungan. sebutan ini digunakan sampai saat ini.
Karena keduanya bukan saudara Kandung maka merekapun dinikahkan oleh Jua Anyi. Sejak itu keturunan dari pasangan Jau Iru dan Lemlai Suri menjadi pemimpin suku beturut-turut mulai dari Putranya Jau Anyi kemudian Paren Jau, Paren Anyi, Putri Pren Anyi yaitu Lahai Bara yang bersuamikan Wan Peren.
Pada masa pemerintahan Lahai Bara, menurut penuturan sumber Tradisonal masyarakat suku Bulungan, terjadi sebuah peristiwa ajaib, ini terjadi pada saat kematian ayahnya Paren Anyi tiba, Peren Anyi berpesan pada putrinya Lahai Bara untuk menguburkan jenasahnya didalam sebuah peti (Lungun) kearah hilir sungai Kayan.
Ternyata, saat kematian Paren Anyi tidak seorang pun warga menyimpan perahunya didaratan. Oleh karena itu Lahai Bara berjalan dari pesisir berputar hingga kearah hilir sungai kayan sambil menyerat dayung (besai) miliknya sambil menarik Lungun atau peti mati ayahnya.
Riwayat lain menyebutkan bahwa lahai bara menyeret dayungnya mulai dari tepi sebelah barat menuju tepi sebelah timur Tanjung Sungai Payang, dari situ putuslah tanah bekas goresan dayung tersebut.
Akibatnya, terjadi sebuah keajaiban, bekas seretan dayung Lahai Bara tersebut justru membelah kawasan tersebut dan menghasilkan sebuah daratan baru yang dinamakan Pulau Mayun (Pulau Hanyut). (Pulau ini terletak di muara sungai Batang di Hulu kampong Long Pelban, tempat ini kemudian dianggap keramat oleh para bagsawan Bulungan, akibatnya seorang Controleur van Bulungan bernama Mayers (1921-1922) mengirim sebuah ekspedisi untuk membongkar kawasan pekuburan batu yang terdapat ditempat tersebut dengan tujuan agar kawasan itu dapat dilalui oleh bangsawan Bulungan, namun tidak begitu lama iapun diserang penyakit yang hebat sehari kemudian iapun meninggal dunia).
Selain itu ada pula peninggalan lain, sumber tradisional Bulungan menyebutkan ada sebuah Mandau (parang tradisonal suku dayak) yang bernama Batu Besi Kelu yaitu sejenis obsidian, batu kaca berwarna kehitaman yang terbentuk dari lahar cair yang cepat membeku. Ada pula yang meyebut Batu Besi Kelu merupakan serpihan dari pecahan batu Meteor.
Generasi selanjutnya adalah setelah Lahai Bara adalah Simun Luwan. Simun Luwan memiliki dua orang anak yaitu Sadang dan adik perempuannya yaitu Asung Luwan
Pada masa Sadang tercatat tahun pemerintahannya terjadi pada 1548-1555, sesuai catatan Datuk Mansur. Dari periode inilah babak baru suku Bulungan yang pada masa itu bernama Uma Afan di mulai, yaitu terjadinya pernikahan antara Datuk Mancang, konon seorang Pengeran Brunai dengan Asung Luwan terjadi, dari keturunan dari keduanya inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Bulungan.
assalamualaikum..
ReplyDeleteterima kasih buat saudara kerana menerbitkan artikel ini. saya seorang anak kelahiran suku bulungan kacukan tidung berasal dari tawau, sabah. kini saya bekeja di Kuala Lumpur.
info ini sangant berharga untuk pengetahuan tentang asal usul saya. terima kasi.
mohon jasa baik saudara sekiranya ada informasi terkini sampaikan kepada saya melalui mbakri33@yahoo.com assalamualaikum..
assalamualaikum, Terimaksih atas antusias saudara, insya Allah jika ada informasi baru, akan saya poskan dari blog saya, salam kenal ^_^
ReplyDeleteKhusus untuk sejarah dan budaya bulungan, kalau saudara tertarik, ada juga khusus saya bahas dalam blog saya "sejarah dan budaya bulungan", masih satu tempat dengan blog ini juga, trimaksih
ReplyDeletesalam....saya salah seorang anak bulungan berasal dari tanjung selor sekarang di kuala lumpur...artiel amat berguna bagi anak2 bulungan macam saya...terima kasih banyak atas artikel yang berguna ini...
ReplyDeletewalaikum salam, terimakasih kunjungannya saudara, salam kenal kenal juga dari saya ^_^
ReplyDeletesalam..=)
ReplyDeleteya..sy jga anak bulungan..tp kn,,,sngt kurang kn vdeo2 n gambar2 org2 bulungan dlm internet...pa pun,blog ni best...
terimaksih saudari santi, mudah2an lebih banyak lagi informasi sejarah dan budaya bulungan yang bisa kita gali lagi
ReplyDeleteijin copy pradi
ReplyDelete