Tuesday, March 1, 2011

Sejarah Bioskop di Bulungan.


(bekas Bioskop Gembira yang kemudian menjadi Penginapan Harapan kita)

Mungkin agak aneh bagi sebagian orang yang biasa membaca artikel saya tentang sejarah Bulungan, tiba-tiba kemudian akan disuguhkan dengan sesuatu yang asing macam sejarah bioskop, life style, mode dan sebagainya, yang dianggap tidak ada sangkut pautnya dengan sejarah bulungan.

Memang sejarah Bulungan dewasa ini terasa lebih banyak membahas “Grand History” seperti kehidupan Kesultanan Bulungan, terlebih pada kajian politik, diplomatik dan kasus-konspirasi yang pernah mewarnainya, inilah yang cendrung menjadikan kajian itu yang terasa lebih berat. Saya akan membawa kawan-kawan sedikit rileks dengan mengetengahkan sejarah kecil atau “Litle History” yang lebih banyak bercerita tentang kehidupan keseharian masyarakat bulungan yang lebih ringan dan “renyah” untuk di telan.

Kali ini kita kan berkelana membahas bagaimana sejarah bioskop di Bulungan? ada baiknya saya akan merefresh ingatan kawan-kawan mengenai sejarah bagaimana bioskop bisa masuk berkembang di Indonesia.

Selayang pandang sejarah Film dan Bioskop di Indonesia 1920-1930 an.


Seperti yang kita ketahui sejarah keberadaan bioskop di Indonesia tidak lepas dari keberadaan dunia industry film yang memayunginya, tercatat dalam sejarah, Bioskop pertama di bangun di Paris ibukota Prancis tahun 1895 dan di Hindia Belanda alias Indonesia sekarang, pada Desember 1900 di putar film pertama di Batavia, dulu orang tidak menyebutnya film, tapi “gambar Idoep”. film-film ini diputar dibioskop-bioskop seperti Orion Bioscoop atau Oriental Bioscoop dikenal juga dengan nama Majestic yang tak lain adalah bioskop pertama di Hindia Belanda.


(Haji Umar Al-Amrie disamping proyektor Bioskop kebanggannya)

Produksi film pertama di Indonesia itu dimulai pada tahun 1926 kawan, judulnya “Loentoeng Kesaroeng” produksi Java Film Co milik orang Belanda L. Heuveldrop. namun film yang produksi asli anak bangsa adalah film “Terang Boelan” pada tahun pada 1937, setelah itu mulailah menjamur industri film dan semakin mempopulerkan produser film, actor-artis dan sutradara-sutradara berbakat macam Wong Bersaudara, Teng Coen, Rd Moechtar, Roekiah, Usmar Ismail, Soerdjasoemanto, Hamidy T. Djamil dan sebagainya.

Sebelum masa kemerdekaan ada beberapa film yang produksi dan di tonton kala itu, seperti Sejarah mencatat, pelopor film bersuara dalam negeri adalah Atma de Vischer yang diproduksi oleh Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung. Menyusul Eulis Atjih (masih dari produser yang sama). Setelah kedua film ini diproduksi, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film lainnya seperti: Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Co (semarang) yang memproduksi Setangan Berloemoer darah.

Menyusul Resia Boroboedoer, Nyai Dasima (film bicara pertama, tahun 1932), Rampok Preanger, Si Tjomat, Njai Siti, Karnadi Anemer Bengkok, Lari Ka Arab, Melati van Agam, Nyai Dasima II dan III, Si Ronda dan Ata De Vischer, Bung Roos van Tjikembang, Indonesia Malasie, Sam Pek Eng Tay, Si Pitoeng, Sinjo Tjo Main Di Film, Karina`s Zeffopoffering, Terpaksa Menikah (film berbicara-musik) dan Zuster Theresia.

menariknya menurut Alwi Shabab, dalam rentang waktu itu (1926 - 1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskopun ikut meningkat dengan pesat. Majalah film pada masa itu, Filmrueve , hingga tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop. Daftar itu ternyata menunjukkan bahwa bioskop-bioskop bukan hanya berada di kota-kota besar tapi juga di kota-kota kecil seperti: Ambarawa, Balige, Subang dan Tegal.


(tangga menuju balkon bioskop)

Pada periode 1933-1936 sebelum kemunculan “Terang Boelan”, perfilman Hindia Belanda sempat diwarnai kisah-kisah legenda Tiongkok, di antaranya: Delapan Djago Pedang, Doea Siloeman Oelar, Ang Hai Djie, Poet Sie Giok Pa Loei Tjai, Lima Siloeman Tikoes, dan Pembakaran Bio.

Sejarah “Bioscoop” di Bulungan.

Nah kemunculan bioskop di Bulungan tidak lepas dari kebutuhan hiburan bagi masyarakat waktu itu, jaman dulu sebelum ada bioskop di Bulungan, hiburan sejenis memang sudah ada, orang dulu menyebutnya “Mamanda Boeloengan” atau “ Doel Moeloek” semacam “Toenil Melajoe” namun lebih sederhana, hiburan jenis ini sudah ada di bulungan, khususnya di Tanjung Selor dan Tanjung Palas sekitar pertengahan abad 19 M.

Pemilik Bioskop zaman itu adalah Haji Umar Al-Amrie, atau lebih dikenal dengan nama Pak Umay (67 th), orangnya bersahaja, saya diberi kesempatan yang sangat berharga untuk menyelami sejarah Bioskop di Bulungan. Beliau adalah salah seorang Pengusaha tulen asal Kampong Arab yang sempat terjun ke dunia bisnis bioskop, yang zaman dulu lebih banyak di kelola orang Chinese.


(Bioskop pertama di Tanjung Selor, foto tahun 1977)

Bangunan bioskop pertama ada di Tanjung Selor, menurut penuturan Haji Umar Al-Amrie, bangunan tersebut dulu dibeli pemerintah dizaman akhir Kesultanan Bulungan, bangunannya sendiri bernama “Keng Kie”, jadi umur bangunan bioskop itu memang sudah sangat lama mungkin dibangun sekitar tahun 1940 atau 1950-an.

Bioskop pertama bernama Bioskop Sungai Kayan, Pak Umay memulai kisahnya, bangunan itu di buka pada tahun 1972 oleh seorang Chinese dengan bantuan pemerintah Kabupaten Bulungan melalui yayasan Dharma Wanita, kemudian dijual kepada beliau dan ditukar nama menjadi Bioskop Gembira pada tahun 1975.

Dimasa itu adalah masa jaya-jayanya bioskop di Bulungan, Tanjung selor. Bangunan Bioskop mampu menampung kurang lebih 300 penonton dalam sekali tayang. di era itu, banyak muda-mudi Bulungan menghabiskan waktunya untuk menonton film di bioskop. sehingga tidak jarang ada semacam istilah “tidak malam mingguan kalau tidak ke Bioskop”, begitulah kondisi di kota kecil macam Tanjung Selor pada masa-masa itu.

Jadual bioskop cukup padat, dalam sehari ada dua kali penayangan, yaitu antara pukul 04.00 sore hingga mendekati magrib jam 07.00, kemudian dimulai lagi dari jam 09.00 malam hingga selesai. rata-rata peminat film memang beragam namun paling banyak adalah Film Amerika, Film Mandarin khususnya film Kung fu, kemudian Film India dan Film Indonesia. Rentang waktu film tersebut antara satu setengah hingga dua jam cuma film India yang paling lama bisa sekitar dua setengah hingga tiga jam. artis-artis yang banyak ditunggu-tunggu seperti H. Rhoma Irama, Roy Marten, Arrafiq, Amitha Bachan, Mithun Cakrabothi, Bruch Lee, Sammo Hong dan sebagainya


(Balkon bioskop, penonton dapat pula menonton film dari atas)

Perputaran roll film biasanya dari pulau jawa (Jakarta atau Surabaya) singgah ke Balikpapan terus ke Tarakan, lalu ke Tanjung selor, dari sini roll kemudian diantar ke Barau, kemudian dilayarkan lagi ke Balikpapan dan kembali ke jawa. diantara waktu-waktu jeda itu dibuatlah reklame-reklame untuk menceritakan sepintas mengenai isi cerita dan tentu saja untuk menarik minat penonton.

seperti yang saya ceritakan sebelumnya, Bioskop gembira mampu menampung lebih dari tiga ratus orang, selain itu didalam bioskop juga terdapat balkon jika ada penonton yang ingin menonton di atas, menariknya baik penonton yang duduk di bawah maupun di atas balkon tarif karcis tetap sama Rp. 500 dalam sekali tayang, jadi tidak seperti saat ini ada istilah VIP yang dizaman Belanda dulu disebut Loge. Dulu di bisokop ini dipekerjakan empat orang oleh Pak Umay untuk membantu menjalankan roda bisnisnya.


(mesin proyektor merk "Philps" yang di klaim pemiliknya masih sanggup memutar roll film dan hanya perlu sedikit perbaikan saja, kini disimpan baik oleh H. Umar Al-Amrie sebagai kenang-kenangan keberadaan bioskop di bulungan)

Dizaman Bupati Kol. Soetadji memperluas kota Tanjung Selor yang kemudian kita kenal dengan kawasan Skip II, bioskop juga di bagun dikawasan depan Hotel Crown sekarang, namanya Bioskop Gembira II, bioskop ini mampu menampung lebih besar lagi yaitu 600 penonton bahkan lebih, jadi bisa dibayangkan bagaimana perkembangan usaha bioskop dimasa-masa jayanya itu.

Bioskop sendiri mengalami kemunduran, seperti yang di utarakan oleh Haji Umar Al-Amrie sendiri, penyebabnya antara lain masuknya Televisi dalam kehidupan modern orang di Bulungan, sehingga sedikit demi sedikit penontonnya menurun sehingga kemudian sekitar tahun 90-an bioskop tinggal namanya saja.


(Bioskop Gembira II dikawasan Skip II)

Bioskop Gembira dan Gembira II mengalami nasib yang sama dengan bioskop lainnya pada waktu itu, saat ini Bioskop Gembira sudah berubah nama menjadi penginapan Harapan Kita, namun jejak sejarahnya masih bisa kita lihat sampai saat ini, khususnya di penginapan Harapan Kita, kawan-kawan masih bisa melihat proyektor yang masih cukup bagus bermerk “Philips”, kursi-kursi bioskop tempo dulu maupun tangga kayu menuju balkon bioskop, masih natural belum banyak yang berubah sampai hari ini. mungkin Haji Umar Al-Amrie masih ingin mengenang kenangan era kajayaan bioskop Bulungan yang pernah membesarkan namanya itu. sekaligus mengingatkan kita bahwa sejarah Bioskop di bulungan itu memang ada.

3 comments:

bulungan