Sunday, January 24, 2016

[FOTO] Tanjung Selor Tempo Doeloe Part 1

Pemandangan Kota Tanjung Selor dilihat dari dermaga
Potret salah satu rumah dokter di Tanjung Selor
Kapal barang milik perusahaan KPM Belanda yang menyuplai bahan pokok kebutuhan 
masyarakat Kota Tanjung Selor
Salah satu potret sudut kota Tanjung Selor tahun 90-an
Pemandangan Kantor DPR Kab. Bulungan dari salah satu balkon kantor di komp. Kantor Bupati Lama (saat ini kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Utara)

Wednesday, January 20, 2016

Hikayat kaum Hawa dalam perjalanan sejarah Bulungan



Sejarah Bulungan itu sejarah yang maskulin, sejarah yang amat mengedepankan kisah para lelaki diatas pentas peristiwa dan waktu. Tengoklah bagaimana kita banyak membaca hikayat Bulungan, kita akan menemukan nama-nama besar seperti : Jau Iru, Datuk Mancang, Wira Kelana, Singa Laut, Amiril Mukminin, Sultan Alimuddin, Sultan Khalifatul Alam Muhammad Adil, Sultan Kaharuddin I & II, Datu Mansyur, Sultan Kasimuddin, hingga Sultan Djalaluddin, serta banyak lagi tokoh yang tak dapat saya sebutkan satu persatu. Sedikit sekali kita dapat membaca kisah-kisah para wanita, yang apa bila kita melihat lebih seksama, juga layak dibincangkan dalam lintasan sejarah Bulungan itu sendiri.

Tentu saja dalam membicarakan peran seseorang dalam sejarah, khususnya dalam kilasan sejarah Bulungan, saya mencoba untuk objektif sebisa mungkin walaupun harus diakui subjektifitas memang tidak dapat dihindarkan sepenuhnya. Menafsirkan peran sejarah kaum wanita dalam tulisan ini boleh dikatakan sebagai pengantar awal, beberapa tokoh yang saya pilih dalam tulisan ini, tidak serta merta menghilangkan peran tokoh lainnya. Tulisan ini hanyalah sebuah pengantar, saya yakin banyak sekali sebenarnya wanita-wanita yang pantas berdiri dipentas sejarah Bulungan, Semoga tulisan kecil ini bisa bermanfaat.

Lemlai Suri, Ibu dari sejarah asal usul kaum Bulungan 

Apa bila kawan berkunjung ke Tanjung Selor saat ini, kalian akan menemukan banyak sekali tugu maupun patung-patung yang menghiasi lanskap kota tersebut, namun ada salah satu yang menjadi ikon wanita yang terkenal karena keunikannya. Tentu saja patung yang saya maksud adalah Patung Lemlai Suri, sayangnya nama besarnya justru tertutup dengan sebutan orang-orang dengan panggilan putri “telor pecah”, tentu saja panggilan itu bukan tanpa sebab, mengingat keunikan patung  berupa seorang putri yang keluar dari telur ayam besar pecah, sehingga justru itulah yang lebih banyak tertangkap di memori penduduk kota.

Kembali mengenai sosok Lemlai Suri, tokoh ini dalam hikayat adalah pasangan dari Jau Iru (Si Guntur Besar) yang secara turun temurun di kisahkan sebagai asal muasal nenek moyang orang Bulungan. Keduanya ditemukan oleh ayah angkatnya, Ku Anyi ketika masih belia di pedalaman hutan, Jau iru berbentuk sepotong bambu betung, sedangkan Lemlai Suri berbentuk sebuah telur ayam sebelum keduanya berubah bentuk menjadi sepasang anak manusia. 

Legenda keberadaan Lemlai suri menjadi sangat penting, mengingat tanpa Lemlai Suri maka legenda asal usul orang Bulungan tidak akan pernah lengkap. Lemlai suri menjadi wanita yang dipasangkan menjadi istri Jau Iru karena keduanya bukan saudara kandung, bagi orang Bulungan sendiri Lemlai suri sudah ditakdirkan menjadi pasangan Jau iru, mengingat proses pertemuan dan kelahiran mereka yang spesial, dikemudian hari kisah asal usul orang Bulungan dimulai dari pernikahan mereka berdua. 

Penulis sendiri pernah menyatakan dalam tulisan sebelumnya (Menafsir Ulang Mitos Asal Usul Nama Bulungan), legenda keduanya menjadi inspirasi dan menegaskan bahwa garis kepemimpinan atau kebangsawanan orang Bulungan terkait dengan Jau Iru dan Istrinya Lemlai Suri.

Lahai Bara, bukti kepatuhan seorang anak.

Lahai Bara merupakan keturunan Jau Iru dan Lemlai Suri, ia menggantikan posisi orangtuanya Paren Anyi’ di usia yang cukup muda. Dikisahkan dalam hikayat ketika menjadi Kepala Suku, ia dipersunting oleh seorang kesatria bernama Wan Paren.

Sebelum berpulang, Paren Anyi’ pernah berpesan pada putrinya untuk menguburkan lungun (peti mati) miliknya kearah hilir sungai Kayan. Namun sayang tak ada pihak keluarga yang setuju dan menyembunyikan perahu-perahu mereka di daratan. Lahai bara kemudian mengikat lungun tersebut dan menariknya seorang diri sambil menyerat dayung miliknya, tekadnya yang kuat untuk memenuhi keinginan terakhir mendiang Ibunya kemudian dituangkan dalam hikayat lisan orang Bulungan yang disebut dengan hikayat Busang Mayun, dalam bahasa kayan disebut dengan pulau hanyut. Dalam sembol ningrat Bulungan, dayung atau besai milik Lahai bara menjadi salah satu ikon dalam lambang kesultanan Bulungan dikemudian hari.

Asung Luwan, Keberanian seorang putri cantik.

Asung Luwan adalah keturunan dari Lahai Bara, orang tuanya bernama Simun Luwan dan memiliki saudara lelaki bernama Sadang. Sama seperti Lahai Bara, Asung Luwan mengemban amanat menjadi kepala suku di usia yang masih muda. Mengapa yang menjadi kepala suku adalah Asung Luwan, bukan Sadang, kakak lelakinya. Disinilah kisah Asung Luwan bermula.

Sekitar tahun 1458 hingga 1555, wilayah milik Asung Luwan menjadi kawasan konflik yang berkepanjangan, penyebabnya tak lain adalah invasi suku Iban wilayah pesisir timur Kalimantan bagian utara, serangan orang utara (Serawak) begitu dahsyat dan banyak menghancurkan desa-desa yang dilaluinya. Orang Iban yang bertubuh besar tersebut pada akhirnya juga melakukan serangan diwilayah perkampungan milik keluarga Asung Luwan sehingga menyebabkan kakaknya bernama Sadang tewas terbunuh oleh Sumbang Lawing, di saat yang sama rombongan pengembara dari Brunai bernama Datuk Mancang tiba dikawasan tersebut, kebetulan keluarga Asung Luwan sudah menuju kawasan Baratan yang tak jauh dari daerah pantai.

Kisah mengenai kecantikan kepala suku muda itu rupanya sudah tersebar dikalangan penduduk hingga terdengar pula sampai ke telinga Datuk Mancang, terbitlah keinginan lelaki muda itu untuk mempersunting gadis manis kepala suku tersebut, sayangnya walaupun terdesak Asung Luwan ternyata bukanlah wanita yang mudah membuat keputusan terburu-buru, wanita cerdas tersebut paham bahwa bukan hanya orang jauh yang hendak mempersunting dirinya tapi juga para kesatria dari suku-suku disekitar wilayah kekuasaan sukunya. Asung Luwan memahami bahwa ia harus membuat keputusan cepat dan tepat untuk menyelamatkan sukunya dari kekejaman Sumbang Lawing yang juga mengincar dirinya. 

Dihadapan para pengikut Datuk Mancang, Asung Luwan melakukan pertaruhan yang tak bisa ditolak oleh Datuk Mancang, dengan cerdas ia meminta secara simbolik kepala Sumbang Lawing sebagai mahar pernikahannya. Tentu saja aksi tersebut mengundang heran dan keterkejutan baik oleh pengikut Datuk Mancang dan pengikut Asung Luwan sendiri. Bagi keluarga Asung Luwan tawaran tersebut bukan hanya berbahaya tapi juga terdengar lancang karena bisa saja justru dianggap sebuah penghinaan bagi sang pangeran, mereka pun paham bahwa Sumbang Lawing terlalu tangguh dihadapan sang pengeran muda, dikalangan pengikut Datuk Mancang sendiri terbit pula pertanyaan mengapa wanita muda tersebut justru menginginkan kepala musuh sebagai mahar perkawinan, selain diluar kebiasaan adat mereka, bukankah mereka sendiri sudah membawa banyak perhiasaan untuk sang putri?, Datuk Mancang sendiri nampaknya paham bahwa permintaan itu bukanlah permintaan yang sederhana sebab nyawanya sendiri sebagai taruhannya, sadarlah ia bahwa yang dihadapinya bukan hanya seorang putri mungil berparas cantik tapi juga cerdik. Asung Luwan yang cerdas itu paham bahwa calon suaminya itu memiliki harga diri yang tinggi, jadi dari awal permintaan itu tak akan mudah ditolaknya, kali ini Datuk Mancang dibuat berpikir keras untuk memenangkan hati calon istrinya itu. 

Datuk Mancang dan pengikutnya kemudian menghadapi Sumbang Lawing, karena keduanya miliki kemampuan bela diri dan kesaktian yang setara, Datuk Mancang kemudian mempelajari tipikal pribadi Sumbang Lawing yang juga memiliki harga diri tinggi, maka maka untuk mengalahkan kesatri Iban itu tak cukup hanya dengan otot semata, maka dilakukanlah dengan tipu muslihat yang sederhana. 

Untuk kesekian kalinya, Datuk Mancang kembali menantang Sumbang Lawing, bukan dengan adu senjata melainkan adu kemampuan membelah buah jeruk. Masing-masing pihak dibekali sejumlah buah jeruk yang digelindingkan dan dilemparkan kepada masing-masing pihak, siapa yang mampu membelah jeruk yang paling banyk dinyatakan sebagai pemenangnya. Siapapun yang kalah akan meninggalkan kawasan Baratan, keduanya kemudian melakukan uji ketangkasan, Sumbang Lawing ternyata kalah dalam persaingan tersebut sehingga meninggalkan kawasan Baratan. Selanjutnya Datuk Mancang kemudian menikahi Asung Luwan dan memerintah bersama dikawasan Baratan serta Busang Arau (Kuala Pengian) hingga tahun 1595.

Pengian Kesuma (Putri Sibut), Pemimpin perempuan pertama di Kesultanan Bulungan.

Sultan Kaharuddin II memiliki seorang putri bernama Pengian Kesuma yang juga dikenal sebagai Putri Sibut, pada masa itu pengaruh Belanda sudah mulai tertancap di Bulungan, Pengian Kesuma menikah dengan seorang bangsawan bernama Si Gaeng yang kelak dikenal dengan nama Sultan Adzimuddin yang menggantikan posisi Sultan Kaharuddin II pada tahun 1889. Kepemimpinan Sultan Adzimuddin sendiri tidak begitu lama hanya 10 tahun saja. dimasa Sultan Adzimuddin serangkaian peristiwa penting terjadi dimasa itu, seperti pergolakan / protes di pedalaman yang berhasil diredam dengan diplomasi yang santun, hingga pembicaraan wilayah perbatasan kesultanan Bulungan tentang pembagian wilayah Sabah yang selanjutnya diserahkan kepada Inggris.

Dimulai pada tahun 1899, Pengian Kesuma menggantikan posisi suaminya, Sultan Adzimuddin yang magkat pada tahun tersebut. Walaupun statusnya bukanlah sebagai sultan, mengingat posisi beliau hanya mengisi kekosongan jabatan sampai putra mahkota Datu Belumbung naik tahta. Dalam menjalankan roda pemerintahan beliau dibantu oleh Mangkubumi yang tak kalah bijak dan cerdas, Datu Mansyur (Pemangku Kesultanan Bulungan). Putri sibut memimpin Kesultanan Bulungan selama 2 tahun. Selama masa pemerintahan kondisi politik Kesultanan Bulungan relative aman dan terkendali, sehingga kehidupan ekonomi, politik dan social dapat berjalan dengan normal. Pada tahun 1901, putra tertua Pengian Kesuma, Datu Belembung kemudian naik tahta dan bersalin nama menjadi Sultan Kasim Al Din (Kasimuddin) , yang artinya Bagian dari Agama. (pen)

Saturday, January 9, 2016

Menafsirkan Ulang Mitos Asal-Usul Nama Bulungan

]
[Sultan Bulungan: Sultan Azimuddin, Sultan Kasimuddin dan Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin]

Dalam perjalan sejarah tentang suku Bulungan, tidak banyak dari kita yang mengetahui dan melakukan kajian yang mendalam tentang suku bulungan  baik dari segi pada asal usul, pola panyebaran, hingga bagaimana mereka menjadi orang “melayu”, hanya yang sampai pada kita adalah keberadaan tentang mitos asal usul mereka dari sebuah bambu dan sebuah telor yang kemudian melahirkan suku menjadi suku bulungan seperti yang kita kenal hingga saat ini. Sangat di sayangkan bahwa Suku Bulungan yang membentuk Kesultanan Bulungan yang wilayahnya meluas dari utara berau hingga selatan sabah dan serawak ini tidak banyak di ketahui. 

Lebih disayangkan lagi dalam hal ini banyak sejarawan Bulungan “menerima dengan utuh” mitos atau legenda yang menjadi pegangan asal-usul suku Bulungan ini dengan cara pandang yang Tekstual, bukan Kontekstual untuk mencari makna yang tersirat dan informasi yang terkandung dalam Legenda atau Mitos (Sejarah Suci)  tersebut. Memang dalam lintasan sejarah tidak sedikit para peneliti barat maupun lokal yang mengulas tantang suku Bulungan ini sebut saja J. Thomas Linblad dengan bukunya Between Dayak and Dutch: The Economic History of Southeast Kalimantan Selatan 1880-1942 yang membahas sejarah yang menyangkut Kesultanan Bulungan hanya disinggung selintas yakni hanya dalam konteks sejarah perekonomian. Selain itu ada pula paneliti barat lain yaitu Cowie (1893) yang membahas tentang bahasa bulungan  kemudian dijadikan dasar ulasan oleh peneliti lainnya yaitu Cense dan Uhlenbeck namun informasi itu tidak jelas dan bukanlah informasi tentang bahasa Bulungan secara keseluruhan. Sedangkan peneliti asal indonesia sebut saja M. Aspandi Adul dkk, yang menulis buku Morfologi Dan Sintaksis Bahasa Bulungan, Penelitian bahasa Bulungan itu cukup mendalam, dan merupakan hasil penelitian lanjutan yang pernah dilakukan M. Aspandi Adul dkk (1981-1982) tentang Struktur Bahasa Bulungan1. Penelitian lainnya pernah juga dilakukan oleh balai Arkeologi Banjarmasin pernah melakukan Penelitian Arkeologi Islam di Bulungan. Sasaran kajian adalah berbagai peninggalan Kesultanan Bulungan, seperti makam, masjid, dan bekas keraton Bulungan. Hasil kajian itu memperlihatkan bahwa di Bulungan  terdapat empat kompleks makam masing-masing di Tanjung Palas (belakang Masjid Kasimuddin), Bukit Seriang I, Gunung Apit (Salim Batu), dan Bukit Seriang II. Dari keempat tempat  tersebut hanya di dua tempat yang inskripsinya dapat dikatakan lengkap sehingga mudah dikenali tokohnya yaitu di Tanjung Palas dan Bukit Seriang II.[1]

Namun seperti yang disadari penelitian-penelitian ini tidak secara langsung  membahas tentang asal usul suku bulungan melalui kajian etnografi dan etnoarkeologi. Dalam tulisan kali ini penulis tidak membahas lebih jauh tentang asal usul bulungan dalam sudut pandang kedua kajian tersebut (Etnografi dan Etno Arkeologi) melainkan sudut pandang mitos melalui sudut pandang penulis sendiri. Hal yang membuat penulis tertarik membahas mitos ini karena menurut penulis pribadi, legenda atau mitos (dalam pandangan penulis) tersebut memiliki makna simbolis tertentu itu artinya mitos ini harus dipandang sudut yang lain. Diperlukan kajian yang lebih dalam untuk mencari “jejak-jejak sejarah” asal usul suku bulungan ini.  Namun sebelum kita mencoba menggali lebih jauh tentang mitos asal usul suku bulungan yang konon di hubungkan dengan kisah “bambu dan telur” ini

Seperti yang telah diketahui di atas, konon, ada seorang laki-laki bernama Kuwanyi, beliau adalah seorang pemimpin suku bangsa Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama Sungai Kayan. Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi. Kisah Jauwiru dan Lemlasi Suri yang mengingatkan kita tentang cikal bakal suku bulungan dan dalam perjalanan sejarah berdirinya kesultanan Bulungan. Bulungan, berasal dari perkataan “Bulu Tengon” (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Disebutkan pula ada sebuah benda yang secara turun temurun menjadi benda pusaka yang berbentuk mandau di kenal dengan “Batu Besi Kelu”.

Dari cerita yang menarik ini yang di kelompokkan dalam Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan folk history (sejarah kolektif)[2]. Dalam hal ini penulis melihat dalam sudut pandang “kaca mata” yang sedikit berbeda, penulis lebih melihat cerita ini sebagai sebuah mitos. Mitos yang termasuk dalam kelompok hikayat, dongeng mapun legenda, meskipun pada tahap tertentu juga menjadi salah satu sumber sejarah yang didekati secara kritis, ia tetap bukanlah sebagai sejarah yang dikenal sebagai ilmu yang memiliki prosedur dan alat-alat intelaktual yang membedakannya dengan  mitos, hikayat, Dongeng mapun legenda. Sebelum mengenal lebih jauh pembahasan ini, ada baiknya kita mengenal dulu apa yang di maksud dengan dengan Legenda, dan apa pula yang dimaksud dengan Mitos. Legenda merupakan sebuah cerita yang dipahami masyarakat adalah sebuah cerita yang benar-benar pernah terjadi.

Sedangkan mitos menurut C.A van Peursen [3] adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada sekelompok orang. Cerita itu dapat di tuturkan tapi juga dapat diungkapkan melalui tari-tarian dan pementasan seni. Didalam masyarakat dimana mitos itu hidup, setidaknya ada tiga fungsi yang bisa diperankannya. Pertama, menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Kedua mitos memberikan jaminan bagi kehidupan masa kini. Ketiga, sebagai perantara antara manusia dan daya-daya kekuatan alam. dalam mengkaji mitos tentang asal-usul suku bulungan ini tentu saja memerlukan penafsiran terhadap kejadian-kejadian yang dikisahkan dalam cerita tersebut yang didukung oleh didukung oleh data-data Historis dan Etnografi. Kajian terhadap mitos ini penting untuk mencari makna yang terkandung di dalamnya. Karena itu dalam memaknai mitos asal-usul suku bulungan yang konon nenek moyangnya berasal dari bambu dan telur ini, perlu di baca lebih luas dan mendalam dan tentu saja harus ilmiah.

dalam sudut pandang penulis mitos ini tidak hanya menceritakan tentang asal-usul nama suku Bulungan, namun juga memiliki nilai informasi lainnya, yaitu tentang adanya Hak Legalitas kekuasaan berdasarkan darah turunan darah Jauwiru dan Lemlai Suri dalam lingkup suku Bulungan (Uma Apan) pada masa itu. Artinya pada pemimpin suku bulungan pada masa tersebut merupakan golongan bangsawan (Paren : Kenyah atau Hipi : Kayan) yang merupakan keturunan langsung dari kedua pemimpin tersebut. Jauwiru dan Lemlai Suri dianggap sebagai sosok yang didewakan oleh masyarakatnya, hal ini sesuai dalam alam pikiran  kepercayaan masyarakat pada masa itu bahwa keduanya diyakini sebagai titisan orang-orang suci dan agung karena keduanya diyakini lahir dari bambu dan telor yang merupakan simbol dari kehidupan. Sama halnya dengan mitos Putri Petung pada masyarakat Kesultanan Pasir atau mitos pernikahan Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata pada masyarakat Negara Dipa yang kemudian menjadi Kesultanan Banjarmasin, haruslah dipahami ketiganya dengan pemahaman agama (religi) dan ideologi, ketiganya memiliki pola yang sama yaitu mitos mewakili kepentingan penguasa dengan media simbol-simbol kehidupan pada masyarakat tersebut, dalam masyarakat bulungan simbol-simbol ini hadir dalam bentuk bambu dan telur. Selain itu indikasi bahwa mitos ini berhubungan dengan legalitas kekuasaan adalah adanya gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keturunan Jauwiru dan Lemlai Suri yaitu Paren Anyi dan seterusnya.

Namun yang menarik disini adalah dalam struktur sosial masyarakat Kayan menurut S. Lii’ long dan Pastor A. J. Ding ngo dalam karya mereka “Syair Lawe”[4] menyebutkan dalam dalam bagian pendahuluan karangan tersebut memberi keterangan bahwa dalam struktur masyarakat suku kayan dikenal memiliki tiga kelas sosial yaitu Hipi atau raja yaitu bangsawan tinggi yang memimpin rakyat yang dibantu dua atau tiga orang dalam mengatur pemerintahan. Dalam hal keagamaan di urus oleh Dayung (imam) yang hampir selalu wanita. Dayung aya’ (imam besar) ialah istri Hipi (raja) dan seorang atau lebih dari wanita yang berasal dari rakyat biasa. Golongan kedua dikenal dengan istilah Payin atau rakyat biasa dan golongan terakhir di sebut Dipan atau pelayan. Dipan merupakan golongan yang kalah dalam perang kemudian menjadi golongan masyarakat kelas ketiga yang melayani raja. Dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi istilah Dipan karena sudah berbaur dengan golongan Panyin. Lalu yang perlu di cermati adalah gelar PAREN justru muncul dalam struktur sosial masyarakat suku kenyah sewaktu masih tinggal dirumah-rumah panjang dahulu, mereka mempuyai tiga golongan kelas masyarakat yaitu Paren (bangsawan tinggi), Penggawa (bangsawan rendah) dan Panyen (orang kebanyakan atau masyarakat biasa). Kemudian dikenal pula golongan budak atau Kula yang menjadi pelayan. Golongan ini setidaknya dikenal terdiri dari dua golongan, yaitu: 1). Salut, anak laki-laki yang dirampas dari musuh (suku lain) sewaktu peperangan dan dijadikan tawanan perang. Kemudian Salut di rubah statusnya menjadi Kula oleh Paren yang menawannya. 2). Kula, yaitu anak laki-laki keluarga Panyen yang tidak mampu (suku sendiri), diambil oleh kaum paren untuk dibesarkan dan dipelihara sebagai pelayannya[5]. Sama seperti Dipan dalam kelas bawah masyarakat suku Kenyah, Kula pun akhirnya tidak ditemukan lagi karena adanya pembauran dengan golongan Panyen.

Penulis belum bisa melihat dan menghubungkan lebih jauh lagi tentang hubungkait antara Kayan dan Kenyah ini, sebab hal ini perlu kajian lanjut melaui ilmu bantu ilmu Etnografi dan Etno Arkeologi, namun menurut Datuk Iskandar Zulkarnaen, suku kayan Uma Afan yang merupakan cikal bakal dari suku Bulungan ini, termasuk dalam kelompok masyarakat Kayan, Uma Afan yang juga disebut dengan nama Uma Gai merupakan campuran dari dua anak suku Dayak antara Kenyah dan Kayan.

Lepas dari itu semua, hal yang terpenting yang perlu dipaparkan oleh penulis adalah struktur masyarakat yang berkelas ini menguatkan hipotesa atau pandangan awal bahwa dalam Gelar Paren yang turun temurun diwariskan melalui garis darah oleh Jauwiru dan Lemlaisuri merupakan legalitas atau pengesahan kekuasaan dalam kaitan mengenai mitos asal usul orang Bulungan melalui bambu dan telur ini.

hampir dapat dikatakan bahwa siapapun yang menjadi pemimpin Suku Bulungan, baik saat mereka masih dikenal dengan nama Uma Afan sebelum berasimilasi (percampuran darah melaui perkawinan) dengan pendatang dari Brunai (Datuk Mancang dan pengikutnya), termasuk dengan orang Sulu maupun Berau pada saat mereka membentuk Kesultanan Bulungan, kepemimpinan selalu dipegang oleh orang-orang yang memiliki keterkaitan keturunan dengan Jau Iru dan Lemlai Suri, dan pada generasi berikutnya terkait dengan perkawinan antara Datuk Mancang dan Asung Luwan, lalu diturunkan lagi kepada Singa Laut dan Kenawai Lumu/ Kenawai Luan, cikal bakal dari nenek moyang pendiri Kesultanan Bulungan, Wira Amir atau Sultan Amiril Mukminin.

Bukti lainnya adalah digunakannya lambang telur, tunggul kayu Jemlai, dayung, bambu betung dan Meriam Sebenua sebagai “Sembol Lembaga Kebangsaan Ningrat Bulungan” mengingatkan pada kita betapa kuatnya pengaruh cerita legenda atau Mitos asal usul nama suku Bulungan dalam pembentukan jati diri Kesultanan Bulungan di masa itu.

Sebagai penutup, penulis mencoba memaparkan dengan rendah hati bahwa bahwa tulisan ini tidak dimaksud untuk melawan arus dari apa yang selama ini menjadi legenda dalam masyarakat Bulungan yang di yakini kebenarannya, namun lebih berupa menggambaran dari sudut pandang lain yang dilihat penulis tentang mitos atau dalam sudut pandang masyarakat Bulungan yaitu legenda asal usul suku bulungan atau kerajaan bulungan itu sendiri, sekali lagi menegaskan dengan rendah hati bahwa tulisan ini tidak bertujuan melawan arus tentang asal usul suku bulungan yang diyakini selama ini namun hanya sebagai khazanah ilmu pengetahuan yang tentu saja masih bisa ”digali” melalui sudut pandang lainnya.

1.  M. Asfandi Adul dkk, Morfologi dan Sintaksis Bahasa Bulungan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta, 1990, hlm 3
2     Bambang Sakti Wiku Admojo, Penulisan Pernyataan kematian Pada Makam Raja-raja di Kalimantan Timur, dalam Naditira Widya Edisi Khusus Nomor 10 April 2003, Banjarbaru: Balai Arkeologi Banjarmasin, hlm. 26.
3. Sugeng Arianto S.Pd dalam “ Sejarah Kesultanan Bulungan”.  
4.  C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan,  (Jakarta; Gramedia, 1989), hlm. 37 dalam Hairus Salim HS, “Masyarakat Dayak Meratus, Agama Resmi, dan Emansipasi” KANDIL, Edisi , tahun II, November 2004 – Januari 2005, hal 26
5. S. Lii dan Pastor  A. J. Ding ngo “Syair Lawe”, penerbit Gajah Mada University Press Jogjakarta tahun 1984. hal XXVI-XXVIII
6.  Bambang Sugiyanto, “Religi dan Ritual Dayak Kenyah di Kutai Barat, Kalimantan Timur” Berita Penelitian Arkeologi No 16 Edisi Khusus Etno Arkeologi dan Religi Dayak di Kalimantan. Banjarbaru November 2006 hlm 30.