Sunday, September 25, 2011

Meriam 120 mm, Coastal Guard Andalan Belanda di Front Tarakan.

Salah satu meriam legendaris pertahanan pantai Belanda di Tarakan

King Of Bettle, begitulah julukan yang pas untuk diberikan oleh militer dari berbagai bangsa untuk persenjataan artileri yang memiliki hikayat panjang panjang dalam berbagai pertempuran yang menentukan sejarah sebuah bangsa. Mulai dari Onager, Kanon, Howitzer, Mortir, Roket hingga Rudal merupakan empunya artileri yang wajib dalam setiap kancah pertempuran, tak terkecuali di Front Tarakan.

Jauh sebelumnya, istana Kesultanan Bulungan juga memiliki artileri legendaris yang dinamakan Si Benua, pun demikian juga terdapat tiga Rentaka bernama Melati, Rindu dan Dendam yang selalu stan by di depan istana menghadap sungai Kayan. Dalam pertempuran modern seperti di front Tarakan,- khususnya pada awal-awal invasi Jepang-, Meriam Pantai alias Coastal Guard 120 mm merupakan “dewanya” meriam.

Kiprah Coastal Guard Belanda di Front Tarakan

Pertahanan Belanda di Tarakan, menurut sejarahnya sejujurnya merupakan salah satu yang cukup kuat masa itu, ini tak lepas dari keberadaan kilang-kilang minyak strategis, bahkan sebelum perang pasifik pecah, pangkalan militer Belanda di Tarakan pernah disinggahi kapal perang besar, dan semasa invasi militer Jepang terdapat Kapal selam jenis K, kapal penebar ranjau Prince Van Oranje dan sejumlah empat pesawat tempur jenis Brewester Bufallo dan tiga buah pengebom (bomber) Glenn Martin.

Pihak kolonial Belanda juga sadar betul perbentengan di Tarakan perlu di upgread kemampuannya sejak 1939, walaupun tergesa-gesa mereka mampu membangun steling, philbok dan bungker di hampir seluruh wilayah pulau, khususnya dikawasan pantai sebelah berat tak ketinggalan meriam legendaris 120 mm pabrikan Fried Krupp Essen Jerman tahun 1901.

Artileri pertahanan pantai atau Coastal Guard dirancang sebagai senjata penghancur bagi armada militer musuh yang mendarat maupun mendekati pantai, menurut skenario pertahanan Belanda di Tarakan, Jepang diperkirakan akan mendarat kawasan sebelah barat yang merupakan daerah industri minyak serta hunian milik sipil dan militer, itulah sebabnya pertahanan paling kuat diletakan disebelah barat.

Menurut catatan sejarah militer Belanda menempatkan satuan artileri pantai (Kustartillerie) ukuran 120 mm dan 75 mm di kawasan pantai barat di Tanjung Juata, Lingkas, Karungan dan Peningki Lama, di Karunganlah meriam 120 mm ditempatkan. 

Belanda boleh bangga dengan Meriam pertahanan pantai 120 mm miliknya, dengan bobot mati 2. 485 Kg, panjang laras 4, 75 meter dan tinggi 1,9 meter serta diameter kaliber lubang peluru meriam 120 mm senjata ini memang mematikan. Jumlahnya sendiri memang sedikit, cuma ada empat buah dijejer berderet, namun keperkasaannya patut diperhitungkan.

Untuk memperkuat Tarakan, satuan kompi artileri ketiga di tugaskan di Tarakan di bawah pimpinan Kapten M. J. Bakker membagi satuan artileri dalam sejumlah baterai yang di pimpin Letnan Satu Van der Zijde, perwira kelahiran Goudswaard, Letnan Satu J. W. Storm van Leeuwen, Letnan Satu J. P. A.Van Adrichem, asal Afrika Selatan, dan Letnan satu J. Verdam. Sementara itu, satuan arteleri ringan (luchtdoelartillerie) dipimpin Letnan Dua T. Nijenhuis, Asal Afrika Selatan. Satuan ini mengandalkan empat pucuk meriam 40 milimeter bikinan Bofors (swedia), empat pucuk arteleri pertahanan udara 20 milimeter dan selusin mitraliur 12,7 milimeter. 

Lagi-lagi kehebatan persiapan tentara Jepang tidak main-main, Intelejen Jepang rupanya telah menandai kawasan pertahan militer Belanda disebalah barat Tarakan, paham dengan kekuatan pertahanan Belanda yang sangat kuat dan dikonsentrasikan di kawasan barat, Jepang mana mau pasang badan hanya untuk dibobol meriam pertahanan pantai, mereka memutar turun di kawasan sebelah timur yang terdiri hutan lebat dan dianggap memiliki partahanan paling lemah. Maksud hati menghindar jejeran meriam pertahanan pantai, kapal penyapu ranjau justru masuk perangkap di daerah Karungan. Disinilah armada Jepang berhadapan dengan meriam pantai legendaris belanda di Tarakan.

Sama seperti Inggris yang masih berpikir konvensional bahwa Jepang tak mungkin berhasil masuk Malaya lewat pantai karena kuatnya pertahanan, Jepang justru masuk lewat hutan lebat bahkan menggunakan tank, maka jangan heran bila jatuhnya Tarakan hanya dalam dua hari itu memang sudah di perhitungkan oleh Takeo Kurita, Laksamana tentara Kekaisaran Jepang yang mashur namanya menggunakan taktik gurita.

Walaupun tak sesesuai keinginan, batrei pertahanan pantai Belanda di Karungan sempat merengguh manisnya kemenangan, bagaimana tidak, begitu Coastal Guard 120 mm menyalak, dua buah kapal penyapu ranjau milik Jepang khatam riwayatnya, dari serangan ini Jepang mengalami kerugian 8 orang Rikugun (Angkatan Laut) dan Kaigun (Angkatan Darat) 200 orang tewas di laut. 

Tentu saja serdadu Jepang berang dibuatnya, sebagai hadiah 84 awak batrei Coastal Guard Belanda di Karungan, di lempar hidup-hidup dalam keadaan terikat, dalam satu ikatan ada 3 orang. Demikianlah sisa perlawanan terakhir awak meriam pertahanan Belanda di Tarakan.

Epilog

Pertahanan pantai alias Coastal Guard, mutlak dimiliki oleh negara dengan garis pantai terpanjang di Asia tenggara ini, kita tentu harus memikirkan konsep pertahanan laut kita, dengan memiliki Coastal Guard yang mumpuni, maka Marinir dan Angkatan Laut akan semakin perkasa dan disegani, semoga kita tidak mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu kita. 

Jalesveva Jayamahe. 

Daftar Pustaka

Laporan Penelitian Arkeologi, “Penelitian Aspek Keruangan Pola Tata Kota Kolonial Di Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur”, disusun oleh Nugroho Nur Susanto, Balai Arkeologi Banjarmasin tahun 2007.

Santoso, Iwan. 2004. Tarakan “Pearl Harbor” Indonesia (1942-1945). PT Gramedia Pustaka Jakarta

Torism Guide Book of Tarakan City, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tarakan, tahun 2009.

Wikipedia; Pertempuran Tarakan 1942-1945.

Tuesday, September 20, 2011

Matilda, Tank Legendaris Sekutu Di Front Tarakan.


Tank Matilda diturukan di Tarakan

Tarakan pernah menjadi ajang pertempuran legendaris antara Jepang dan sekutu, Namun pertempuran ini bahkan nyaris dilupakan dalam sejarah kita, setidaknya setelah seorang penulis spesialis perang Dunia II dan Pasifik, Iwan Sentosa menganggkatnya kembali dari permukaan dalam bukunya Tarakan Pearl harbour Indonesia.

Perang dahsyat itu tentunya tidak akan lengkap bila kita tak membahas mengenai seluk beluk arsenal atau persenjataan yang digunakan selama kancah perang tersebut, tulisan ini merupakan secuil dari pengamatan penulis mengenai front tarakan yang menjadi salah satu tempat legendaris bagi Belanda, Jepang dan Australia.

Matilda, Remuk di Afrika tapi Jaya di Tarakan.

Pernah dengar nama jembatan besi? Yah tempat itu sudah cukup dikenal masyarakat Tarakan, Jembatan besi merupakan awal dari hikayat Matilda, ratunya peperangan di Tarakan.

Sejatinya Matilda adalah nama dari Tank ringan yang digunakan oleh satuan militer Australia saat pendarat sekutu di Tarakan. Nama aslinya adalah Matilda MK II. Tank ini memiliki peran besar dalam opresi militer “Oboe One”, sandi militer yang dirancang Mac Arthur untuk merebut Tarakan sewaktu masih berkedudukan di Morotai, Matildapun jadi senjata andalan disana.

Matilda memang punya nama hebat di Tarakan, tapi sebelumnya tank ringan ini tak punya nyali di front Afrika saat Inggris menghadapi pasukan Jerman disana, kalah kelincahan di banding panser Jerman, Matilda jadi bulan-bulanan tentara Jerman, belum lagi matilda sempat keok dihantam satuan Armed alias artileri medan Jerman dengan senjata andalannya 88 Flugabwehrkanone atau Flak 88 yang mampu menembak hingga 1.000 meter. Caranya dengan menggunakan umpan panser Jerman yang lincah menarik keluar Matilda, setelah itu diselesaikan menggunkan Flak 88 dari tempat persembunyian, tamatlah sudah nyawa Matilda disana.

Paham mengenai kontur Tarakan yang berbukit di kawasan timur dan dipertahankan oleh banyaknya benteng-benteng pertahanan, Matilda diupgread kemampuannya, tidak hanya menggunakan versi Kanon, tapi juga menggunakan penyembuh api, makin sangarlah Matilda saat beraksi di Tarakan.

Sekutu paham, Jepang tak punya kendaraan lapis baja saat mempertahankan Tarakan, walau Tank Matilda bukan lapis baja pertama di Tarakan, dulu ada tujuh kendaraan lapis baja milik Belanda Overvalwagens, tapi riwayatnya tak bertahan lama setelah di dihancurkan Jepang di hari pertama invasi, maka Jepang tak punya kendaraan lapis baja yang dapat diandalkan menghadapi Sekutu, jadilah Matilda panen raya di Front Tarakan. 

Jika sudah seperti ini, sekutu tak perlu menurunkan MBT (Main Bettle Tank) alias tank utama, cukup yang ringan-ringan saja ditambah satuan arteleri medan dan bomber kelas berat, racikan ini dianggap sudah pas untuk membungkam Jepang yang terjepit di Tarakan.

Superioritas Matilda memang bukan isapan jempol belaka, Jepang dibuat kewalahan khususnya bagi mereka yang bertahan dalam Bungker, Tank Matilda menggunakan senjata penyembur api yang memaksa Jepang harus bertekuk lutut. 

Jepang mungkin boleh kalah, tapi semangat mereka dikagumi bahkan oleh sekutu, berbeda dengan Jerman yang masih mau menyerah bila terdesak, tentara Jepang lebih memilih mati, haram meyerah bagi mereka, semangat itu ditunjukan bahkan dengan duel antara Tank Matilda dengan tentara jepang yang menyerang dengan Katana maupun tombak, entah mungkin karena putus asa atau mungkin karena pantang mati di tangan sekutu sebagai tawanan. 

Kisah keberanian ini, jadi berbeda artinya bila diceritakan dalam sudut pandang pribumi yang sejatinya korban penjajahan Jepang, salah satu tulisan di era pasca pendaratan sekutu di Tarakan pada sebuah selebaran pamlet, mungkin bisa jadi sedikit memberikan gambaran mengenai hal tersebut: 

“Ketika tentara Australia dan Hindia Belanda mendarat di Tarakan, orang2 Djepang lari kacaoe balaoe karena alat-alat perang sebegitoe hebat dan modern. Gambar-gambar ini jang diambil sementara pertempoeran mempertoenjoekkan beberapa alat perang jang modern itoe. Satoe golongan serdadoe Djepang jang bodok, menjerang serdadoe2 Serikat dengan toembak, akan tetapi masa koeatnya toembak lawan penjemboer api, tanki ataoe meriam.” 

Matilda merupakan salah satu cerita lama yang nyaris tak diketahui lagi riwayatnya, salah satu tinggalan kisahnya adalah tempat yang sekarang disebut nama Jembatan besi, istilah itu sendiri lahir karena tentara Sekutu membuat jalur penurunan Tank menggunakan lempengan besi agar tidak masuk dalam lumpur. Itulah sebabnya nama jembatan besi terkenal dengan sejarahnya.

Demikianlah hikayat Matilda, ratunya peperangan di front Tarakan yang tak kalah legendaris dari Saipan dan Iwo Jima. (ditambah dari berbagai sumber).

Daftar Pustaka:

Santoso, Iwan. 2004. Tarakan “Pearl Harbor” Indonesia (1942-1945). PT Gramedia Pustaka Jakarta

Sugeng Arianto, Tugas Akhir, "Kerajaan bulungan 1555-1959", Universitas Negeri Malang Fakultas Sastra, Program Studi Pendidikan Sejarah, Agustus 2003.

Wikipedia: Pertempuran tarakan Tarakan 1942-1945

Wikipedia: Flak 88

Wikipedia: Tank Matilda MK II.

Wednesday, September 14, 2011

Repost : Menerangi Sejarah Kelistrikan Di Bulungan (1925-1964)

Logo perusahaan Ruston, namanya sempat menjadi legenda di Bulungan

Listrik sudah merupakan hal yang amat diakrapi dalam kehidupan masyarakat kita saat ini. Tak lengkap rasanya jika tidak ada listrik di rumah, bukan hanya sekedar untuk penerangan, listrik juga digunakan urusan bisnis dan menghidupkan barang elektronik, maka jangan heran jika banyak yang mengeluh jika terjadi gangguan listrik, kegiatan rumah tangga dan industri bisa terganggu.

Namun pernah kah kita bertanya, bagaimana asal mula keberadaan Listrik di Bulungan? Percaya atau tidak listrik sebagai penerangan mempunyai hikayat yang panjang dimasa lampau, bicara soal listrik, maka tak lengkap bila kita tidak mengupas soal Ruston, legenda kelistrikan bulungan yang coba penulis hidupkan kembali sejarahnya.

Ruston dan Sejarah listrik di zaman Kesultanan Bulungan.


Apa itu Ruston? Mungkin bagi sebagian orang, Ruston adalah nama yang asing, namun dimasa lampau Ruston merupakan salah satu legenda sejarah yang sejujurnya masih dbicarakan oleh sebagian kecil orang-orang tua di Tanjung Palas demi mengenang keberadaannya. Ruston tak lain adalah mesin pembangkit listrik pertama dalam sejarah Bulungan.
Dokumentasi sisa-sisa bangunan dan mesin pembangkit listrik tenaga diesel milik Kesultanan Bulungan

Mesin-mesin listrik di Bulungan dimasa lampau menggunakan merk produksi Ruston, itulah sebabnya mesin tersebut dikenal dengan nama tersebut. Nama Ruston yang melegenda itu sendiri diambil dari perancang dan pendiri pabrikanya Joseph Ruston.

Titik penting kemajuan raksasa industri Ruston nampaknya dimulai Pada tanggal 11 September 1918, perusahaan digabung dengan Richard Hornsby & Sons. Hornsby adalah pemimpin dunia dalam mesin minyak berat, yang telah berkarya sejak 1891, delapan tahun penuh sebelum Rudolph Diesel memproduksi mesin disel secara komersial.

Kapan mesin-mesin pembangkit listrik buatan Ruston masuk ke Bulungan? Dalam catatan sejarah, penggunaan listrik mulai masuk dan berkembang dimasa Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Sultan melakukan program listrik murah di seluruh Tanjung palas, listrik-listrik di sambung ke rumah-rumah penduduk dengan bayaran yang miring. Mesin-mesin ini nampaknya dibawa bersamaan dengan kemajuan industri minyak di Tarakan sebelum perang pasifik pecah.

Perhatikan tiang listrik di dekat istana, pemandangan seperti ini dulu lazim ditemukan, untuk saat ini ting listrik zaman kesultanan Bulungan sudah tidak ada lagi. Galeri foto: www.bulungan.go.id

Menurut kisah yang dituturkan penduduk setempat, Basran Umar 53 th, ia menceritakan dahulu “neneknya”, Abdul Rasyid sempat mengoperasikan mesin-mesin berat tersebut dibantu dua orang pegawainya.

Mesin Ruston di Bulungan, tambahnya terdiri dari dua buah, ukurannya sangat besar dan bentuk bagunannya menyerupai leter “L”, jangkauan mesin ini sendiri, hampir mengkover seluruh tanjung palas saat itu, jarak jangkauannya jika ke tanjung Palas Ulu hampir mendekati jalan trans kaltim atau jembatan tanjung palas saat ini, sedangkan ke arah tanjung Palas Hilir menjangkau hingga daerah pabrik dekat daerah lebong sekarang, bahkan konon hingga dekat daerah karang anyar.

Ruston masih dioperasikan setelah kemerdekaan, jasa sangat besar untuk memajukan taraf hidup penduduk saat itu, bisa dikatakan jaman dahulu Ruston merupakan ikon penting kemajuan kota Tanjung Palas. Jalan-jalan di tanjung palas terang benderang dengan lampu-lampu neon di sepanjang jalan, konon Tanjung Selor sendiri masih belum merasakan kemewahan ini, tentunya jadi kenangan manis bagi yang merasakannya. 

Sisa-sisa kejayaan Ruston yang terlupa oleh kita

Sayangnya nasib Ruston yang legendaris itu ternyata tak semanis namanya besarnya, pada saat istana Bulungan jatuh dalam huru-hara tahun 1964, Ruston mengalami kerusakan parah, hampir-hampir tak dapat difungsikan, saking sulitnya dihancurkan, mesin-mesin raksasa ini konon harus dirusak dengan air raksa oleh pihak yang tak bertanggung jawab.

Bak jatuh tertimpa tangga, Ruston akhirnya hanya menjadi kenangan yang nyaris terlupakan, terlebih setelah sisa-sisa bagkainya dilego menjadi besi tua, setelah itu Ruston seakan hilang dalam ingatan sejarah Bulungan.

Sisa-Sisa Kejayaan Ruston Yang Terlupakan.

Saya pikir tak ada salahnya jika saya harus berterimaksih dengan salah seorang sahabat saya Datuk Isa Anshari, sebab dari dialah saya mengenal Ruston pada awalnya. 

Saat pertama kali saya mendekati puing-puing bangunan Ruston, ada rasa takjub dalam diri saya, bagaimana tidak, mendekati umur setengah abad bangunan itu di hancurkan, namun pondasinya masih sangat kokoh, seolah saya menemukan sisa-sisa reruntuhan benteng kuno.

Tangga di salah satu sisi reruntuhan

Kualitas bangunan betonnya memang nomor wahid, ketebalan pondasi dan luas ukurannya, membuat saya dapat menimbang betapa besar dan beratnya mesin-mesin raksasa tersebut. Saya tak habis pikir mengapa bagunan seindah ini luput dari perhatian.

Walaupun tak digubris waktu, reruntuhan Ruston ini masih menyimpan Aura kemegahannya, ada tangga disisi bangunan, mungkin dahulu pintu masuknya dari situ, pun demikian dengan tempat pemutar roda-roda raksasa, masih ada disitu, sedikit terendam air hujan, demikian pula dengan beberapa baut-baut besi yang sudah berkarat, dengan sedikit sisa nafas, Ruston ternyata masih mampu menceritakan kisahnya pada saya.

Bekas landasan roda-roda raksasa Ruston, tergenang air dan kurang terawat

Tak dapat saya pungkiri dibalik ketakjupan saya pada sisa-sisa reruntuhan Ruston, ada sedikit rasa sedih di hati saya, Sebab Ruston tak seperti Warmound yang selalu dikenang, Ruston terlupakan oleh kita dan waktu, sama seperti waktu yang sudah mengaratkan sisa-sisa besi yang terongkok lesu disitu, disinilah awal dan berakhir kisah Ruston yang legendaris itu. (ditambah dari berbagai sumber).

Sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/Ruston_(engine_builder).

Saturday, September 10, 2011

Mengepak Sayap Sejarah Penerbangan Di Bulungan


PBY-5A Catalina milik AU Belanda, jenis yang sama yang juga pernah ditempatkan di Bulungan)

Bila menilik sejarah bulungan, kita pernah memiliki bebarapa legenda sejarah peninggalan belanda yang masih dibicarakan oleh orang tua-tua di Tanjung Palas, seperti Warmound, menjadi legenda yang saat ini menghuni dasar sungai kayan, kitapun juga pernah “punya” pesawat amphibi yang sempat menghiasi langit Bulungan, nah bagaimana hikyatnya?

Hikayat Si Perahu Terbang dan Si Nyonya Besi yang melegenda.


Kisah mengenai sejarah pesawat Amphibi di khususnya di Tanjung Palas dan Tanjung Selor, telah lama saya dengar, menurut catatan Iwan Sentosa dalam bukunya “Tarakan Pearl Harbour Indonesia”, maupun data sejarah yang dikeluarkan oleh Pemkot Tarakan, diketahui terdapat pesawat Amphibi yang terkenal yaitu “si perahu terbang”, Dornier DO-24K yang mashur digunakan dalam angkatan laut Belanda. Selain DO-24K, langit Bulungan juga sempat dihiasi pesawat PBY-5A Catalina yang legendaris itu.

Menurut sejarahnya DO-24K memang diperuntukan untuk misi angkatan laut untuk mengganti pesawat Wals Dornier yang sempat digunakan di Hindia Belanda, ironisnya pesawat justru ini paling banyak digunakan oleh Luftwaffe alias AU Jerman.

Pesawat ini dirancang oleh Flugzeugwerke Dornier untuk misi penyelamatan dan patroli maritim, produsennya adalah Dornier Aviolanda. DO-24K mulai debut penerbangannya pada bulan juni dan diperkenalkan ke publik secara umum pada Noverber 1937, sejak itu ia masih diproduksi hingga 1945, bahkan dibawah masa pendudukan Jerman, tentu saja dibawah pengawasan yang ketat oleh pemerintah pendudukan Jerman di Belanda. Beberapa dari DO-24K sempat dibawa kabur ke Hindia Belanda, diantaranya ditempatkan di Tarakan.

Menjelang perang fasifik, Colonial Belanda memang gencar-gencarnra melakukan modernisasi armada tempur tak terkecuali di Tarakan dan Bulungan khususnya pesawat tempur mereka yang merupakan warisan dari PD I, setidaknya menurut catatan iwan sentosa, terdapat Bomber Glenn-Martin dan pesawat tempur “ si gendut” Brewster Buffalo yang dioprasikan oleh Militaire Luchtvaart (AU Kerajaan Belanda), kemudian Dornier DO-24K yang dioprasikan oleh penerbang angkatan laut belanda alias Marine Luchtvaartdiens, digunakan khusus sebagai pesawat intai.

Tak ada yang benar-benar tau pasti sejak kapan “Si Perahu Terbang” ini masuk dalam daftar arsenal AL Belanda khususnya yang ditempatkan di Bulungan, namun yang pasti pesawat ini sudah sering hilir mudik Bulungan-Tarakan sebelum Jepang menyerang kota Tarakan.

Nasib DO-24K tak banyak juga yang mengetahuinya, ada yang mengatakan pesawat ini hancur saat pendaratan Jepang, terlebih lagi pesawat ini pula yang kedapatan bertemu langsung dengan armada Kekaisaran Jepang di sekitar perairan pulau Bunyu pada 10 Januari 1942, namun ada pula kabar yang menyebutkan pesawat tersebut sempat dilarikan ke Australia dan digunakan oleh RAAF (AU Australia).

Sungai Kayan Sempat Jadi Landasan.

Lain hikayat “si perahu terbang” DO-24K, lain pula cerita “si nyonya besi” PBY-5A Catalina. Si Nyonya besi lahir dari pabrikan Amerika dan memulai debutnya pada Maret 1935, dan terus diproduksi hingga tahun 1940-an oleh perusahaan Consolidated Aircraft dan American Aircraft Manufactures. Pesawat ini terlihat sekitar tahun 1947-an di Bulungan.

Menurut beberapa cerita yang terdengar dari mulut ke mulut, Catalina dahulu hanggarnya diletakkan di sekitar Tanjung Palas, bila akan berangkat akan terdengar suara lonceng dipukul bertalu-talu. Pemandangan seperti ini sudah sering dilihat oleh orang-orang baik di Tanjung selor dan di Tanjung Palas pada zamannya.

Catalina sempat menjadi pesawat angkut kesayangan Belanda di Bulungan pasca kembalinya Tarakan ke tangan sekutu, karena kapasitas angkutnya yang cukup besar, tujuh hingga delapan orang muat dalam pesawat ini. Si nyonya besi dianggap pas selain mampu memangkas waktu perjalanan dari Bulungan ke Tarakan, kemampuannya sebagai pesawat amphibi juga dianggap cocok untuk kontur istana kesultanan Bulungan yang terletak dipinggir Sungai kayan. Istilah PB sendiri mengacu pada Patrol Bomber, itu karena Catalina mampu menggotong ranjau laut, aneka bom, torpedo dan senapan mesin kaliber 50 milimeter.

Sayang nasib si nyonya besi itu tak diketahui pasti, mungkin diangkut pulang kembali ke Belanda setelah Bulungan menyatakan bergabung dengan republik secara resmi 1949.

Apapun itu, sejarah mengenai DO-24K maupun PBY- 5A Catalina tetaplah menjadi kenangan tersendiri setidaknya bagi mereka yang pernah berjumpa dengannya atau mungkin sekedar menjadi cerita untuk anak cucu saat bersantai diwaktu luang. Demikianlah sekilas riyawat penerbangan di zaman kesultanan bulungan yang dapat penulis kisahkan.(ditambahkan dari berbagai sumber).

Daftar Pustaka:
Iwan Sentosa “Tarakan Pearl Harbour Indonesia.

WIKIPEDIA: Dornier DO-24K.

WIKIPEDIA: PBY-5A Catalina.