Datuk Bendahara Paduka Radja beserta Istri beliau, foto ini telah diwarnai |
Saya
ingat ketika berbicara dengan seseorang keturunan Tionghoa Bulungan yang sukses
mengurus toko miliknya, kebetulan saya senang datang ke tokonya untuk melihat
koleksi foto-foto lawas miliknya yang tergantung apik disudut dinding,
kebetulan ia memang punya studio foto, dan koleksi foto tersebut merupakan
peninggalan mendiang ayahnya yang juga merupakan seorang fotografer yang
berjasa besar mendokumentasikan sudut-sudut lawas kota Tanjung Selor.
Suatu
ketika ia pernah “kelepasan” berujar pada saya bahwa ia pernah menawarkan
keseluruhan copy koleksi foto berharga tersebut pada instansi yang berwenang
mengenai Budaya dan Pariwisata Bulungan, tak banyak katanya hanya sekitar 20
hingga 25 juta rupiah saja, namun apa yang ia dengar dari salah seorang dari
mereka mengatakan, “aduh maaf koh kami saat ini tidak butuh itu”, mendengar ucapan
itu beliau Cuma tersenyum dan mempersilahkan mereka untuk mengabadikan foto
yang tergantung berukuran besar disisi dinding dalam tokonya itu.
Mendengar
hal itu, perih rasa hati saya, mengapa? Untuk koleksi berharga yang memuat
mozaik sejarah Bulungan terdokumentasi dalam foto hitam putih, mereka tak mampu
mengeluarkan dana yang sebenarnya tak banyak itu, sedih karena pada akhirnya
sang empu tak pernah lagi berniat untuk membicarakan hal itu sehingga mungkin
memutuskan untuk menyimpan koleksi itu dalam lemari tuanya, sudah dapat ditebak,
misteri akan potongan sejarah itu mungkin akan beliau bawa hingga sampai masa
hidupnya. Sebuah kerugian yang teramat besar dan pantas untuk diratapi. Saya
seolah tak percaya dengan realitas tersebut, tak percaya bahwa ada peran dan
kesempatan besar untuk mengabadikan sejarah justru terlewat begitu saja.
Mengabadikan sejarah yang hilang.
Faktanya
sampai hari ini sejarah lokal belum menemukan tempat sejatinya di Bulungan,
padahal sejak terbakarnya istana Bulungan puluhan tahun silam, sejarah Bulungan
paling banyak dapat diabadikan dan diresapi keberadaannya oleh generasi muda
kita melalui benda-benda tinggalan sejarah seperti foto-foto tersebut.
Tentu
saja bukan hanya sekedar memajangnya dalam museum, namun juga merawat keberlangsungannya,
dalam hal ini semua elemen masyarakat haruslah terlibat, kita tentunya tak bisa
hanya memberikan tugas “suci” tersebut hanya pada Yayasan Museum Kesultanan Bulungan
semata, namun peran pemerintah daerah, khususnya melalui instansi terkait yang
berhubungan dengan dunia budaya dan pariwisata yang nampaknya cukup pulas
tidurnya. Harus ada inisiatif untuk mengabadikan setiap momen bersejarah agar
generasi muda tak lupa sejarahnya sendiri.
Contoh
paling sederhana adalah beberapa foto yang pernah saya lihat beberapa saat yang
lalu di Museum Kesultanan Bulungan, maaf sebelumnya, saya melihat beberapa foto
yang rusak karena terkena tempias hujan di beberapa sudut dinding, miris sekali
rasanya karena bila tak direstorasi, sejarah yang menyertainya akan hilang
begitu saja. Harus ada upaya serius untuk menyelamatkan benda-benda bersejarah
ini jangan sampai menyesal kita kelak dikemudian hari dan mengacungkan telunjuk
disana-sini untuk mencari kambing hitam.
Tanpa
kita, generasi muda serta pihak-pihak yang berwenang untuk menyelamatkan dan
mengumpulkan aset bersejarah ini, niscaya “dosa-dosa sejarah” yang tak kecil
akan ditanggung oleh pihak-pihak yang mampu berbuat banyak namun hanya
mendiamkan diri saja. Saya berharap penyelamatkan dan pengumpulan foto-foto
bersejarah tersebut dapat direalisasikan dan pemerintah harus gesit dan cepat
untuk bertindak.
Selembar
foto yang tak ternilai harganya itu masih lebih baik untuk mengingatkan kita
pada sejarah, dari pada dana yang besar tersebut digunakan untuk hal yang tak
terlalu berdampak besar bagi penyelamatan sejarah dan budaya Bulungan. Semoga
tulisan kecil ini bisa membuka hasrat kita menyelamatkan kepingan sejarah Bulungan
yang luar biasa itu. By. M. Zarkasyi
No comments:
Post a Comment
bulungan