|
Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin II, Sultam Bulungan Ke-X |
Baiklah, tulisan ini dapat dianggap sebagai tulisan “pembuka” saja,
mengingat tidak banyak studi sejarah mengenai hubungan Bulungan-Berau dimasa
lalu. Mendapatkan catatan atau sumber sejarah mengenai isu tersebut tidaklah
mudah. Namun saya terbantu oleh oleh sebuah bernama “Tjabutan” yang bisa jadi merupakan
terjemahan dari “Kroeniek Der Zuider En Oosterafdeling Van Borneo”, sayangnya
naskah ketikan tersebut, yang penulis jumpai hanya mengisahkan periodesasi dari
tahun 1800 – 1874. Catatan ini disusun oleh J.Eisenberger pada tahun 1939.
Dalam catatan periodesasi sejarah tersebut terjalin catatan peristiwa
yang disusun oleh penulisnya mengenai hubungan Berau dan Bulungan, dalam hal
ini penulis hanya mencoba mengambil poin-poin penting dalam tulisan tersebut
yang bersentuhan dengan Kesultanan Bulungan saja.
Mari kita mencoba membandingkan antara catatan periodesasi tersebut
dengan sejarah versi Bulungan. Ada beberapa poin yang nampaknya dapat kita
diskusikan.
1800, “Asal Kerajaan Beraoe terdiri dari
Goenoeng Taboer, Sembalioong, demikian joega Batoe Poetih dan Daerah Tidoeng.
Pada masa Itoe Boelongan dapat membentuk Kerajaan dan berdiri Sultan sendiri
sehingga terlepas dari kerajaan Beraoe”.
|
Apa bila kita jeli membaca buku-buku tentang sejarah Berau atau yang
bersinggungan dengannya, hampir selalu penulis mendapati pembukaan kalimat
dimana pada tulisan itu selalu menyebutkan Bulungan adalah wilayah Berau yang
melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri, artinya dalam versi sejarah
Berau secara umum, Bulungan dapat dianggap telah melakukan semacam
pemberontakan atau upaya melepaskan diri dari pengaruh Berau. Jika demikian
maka ada semacam claim sejarah yang secara tak langsung menyebutkan bahwa Bulungan
pernah bagian dari Kerajaan Berau kuno.
Lalu bagaimana dari sisi Bulungan, apakah ada catatan yang menyebutkan bahwa dari awal Bulungan
merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Berau Kuno, sejauh yang penulis ketahui
dari buku-buku maupun naskah sejarah yang ditulis oleh penulis dari pihak
Kesultanan Bulungan, baik dalam tulisan Datuk Perdana Ibn Datuk Mansyur, H.S.
Ali Amin Bilfaqih, HE. Mohd. Hassan, dll hampir tidak pernah menyinggung hal
tersebut.
Karya yang cukup berani mengisahkan bagaimana Bulungan pernah
“memisahkan diri” dari Berau justru dapat dilihat karya dari H. Dachlan
Syahrani, menyebutkan bahwa Bulungan diera Sultan Amiril Mukminin (1731-1777)
pernah membangun hubungan diplomatic dengan wakil Kerajaan Berau di Tanah
Kuning, selebihnya hubungan Bulungan-Berau hanya diceritakan mengenai
pernikahan antara Sultan Alimuddin dengan Istri keduanya Pengian Intan. Pada
masa Sultan Alimuddin inilah, Bulungan memisahkan diri dari Berau.
Dalam catatannya H. Dachlansyahrani menulis, hal. 11-12
“…Terjadilah kericuhan di kerajaaan Berau, yakni pertentangan antara
kedua Kesultanan berkenaan masalah siapa yang berhak menjadi Raja Berau sesuai
dengan perjanjian semula – yaitu secara bergantian memerintah. Pada masa itu
yang memerintah Sultan Mohammad Zainal Abidin (1779-1800) dari Kesultanan
Gunung Tabur, yang menjadi Raja Berau ke-14. Beliau digugat oleh Sultan
Alimuddin Raja Alam (tahun 1810-1852) bahwa Raja Berau ke-15 adalah gilirannya,
bukan putra Sultan Mohammad Zainal Abidin, yang bernama Badaruddin seperti yang
di Isyukan.
Perpecahan terus memuncak, apalagi penjajah Belanda membantu Gunung
Tabur sedangkan Sembaliung di bantu oleh Orang-orang Bugis dan Solok. Didalam
kekacauan Kerajaan Bulongan mengambil kesempatan memisahkan diri, terlepas dari
Kerajaan Berau, yang diumumkan oleh Sultan Muhammad Alimuddin pada tahun 1800”.
Dalam tulisan tersebut, H. Dachlan Syahrani, memuat gambaran singkat
tentang bagaimana Bulungan menjadi Kesultanan mandiri lepas dari pengaruh
Kerajaan Berau Kuno yang nasibnya diambang senja akibat konflik saudara
tersebut.
Lalu apakah dari pihak Berau terdapat penjelasan yang sama mengenai hal
itu?
Menariknya dalam sebuah tulisan yang berjudul, “Tinjauan Historis mengenai
Kerajaan Berau (Kuran), gambaran mengenainya ternyata kurang lebih sama.*
(“…. Pada permulaan abad ke XVII
pergantian raja secara teratur dari ayah kepada anak seperti yang terjadi 9
generasi terdahulu tidak terbagi lagi. Masalahnya Aji Dilayas raja ke IX
berputera dua orang Pangeran yang berlainan ibu yaitu Pangeran Tua dan Pangeran
Dipati. Sesudah Aji Dilayas mangkat kedua pangeran ini, masing-masing didukung
keluarga ibunya bersikeras mau menjadi raja.
Akhirnya keputusan musyawarah kerajaan kedua pangeran dan seterusnya, keturunannya
berganti-ganti menjadi raja. Pergantian raja secara bergiliran itu adalah
sebagai berikut : Oleh penulis sejarah tradisional tidak pernah dicantumkan
masa tahun pemerintahan raja-raja itu.
Giliran Pertama ialah Pangeran Tua
Giliran Kedua saudaranya Pangeran
Dipati
Giliran Ketiga Sultan Aji Kuning anak
Pangeran Dipati
Giliran Keempat Sultan Hasanuddin
Marhum di Kuran anak dari Pangeran Tua.
Giliran Kelima Sultan Zainal Abidin
kemenakan Sultan Aji Kuning turunan Pangeran Dipati. Menurut Kontler J.S. Krom
dalam memorinya, kira-kira tahun 1720 pada pemerintahannya Sultan Zainal
Abidin, menerapkan syariat islam di kerajaan Berau. Semasa hidupnya sangat
dihormati rakyat. Makamnya dianggap keramat.
Giliran Keenam Sultan Badaruddin
menjadi raja pihak keturunan Pangeran Tua melakukan protes, karena turunan
Dipati sudah ingkar perjanjian. Mereka sudah empat kali mendapat giliran
menjadi raja, sedang turunan Pangeran Tua baru dua kali. Insiden dapat diatasi,
pihak keluarga Pangeran Dipati memberikan kompensasi, sesudah habis masa
pemerintahan Sultan Badaruddin turunan Pangeran Tua memperoleh giliran 2 kali
berturut-turut menjadi raja.
Giliran Ketujuh Sultan Salehuddin
turunan Pangeran Tua.
Sultan Amirilmukminin bin Sultan
Hasanuddin turunan Pangeran Tua Si Taddan Raja Tua atau Sultan Zainal Abidin II
Putera tertua dari Sultan Badaruddin turunan dari Pangeran Dipati. Beberapa
tahun ia memerintah, raja ini ditimpa penyakit cacar yang sangat parah. Ketika
sembuh dari penyakitnya itu, ia berbicara seperti orang bisu sehingga
perkataannya tidak dapat dipaham. Hasil kesepakatan orang tua-tua kerajaan, raja
harus diganti. Pada waktu menentukan giliran siapa diantara turunan kedua
pengeran itu akan menggantikan Si Taddan Raja Tua, terjadi kericuhan.
Bulungan dan Tidung Memisahkan Diri
Membentuk Kesultanan Sendiri. Karena terjadinya kericuan dan insiden pada waktu
menetapkan giliran siapa yang harus menjadi raja dari kedua keturunan pangeran
itu, kekuasaan pusat pemerintahan yang berkedudukan di Muara Bangun hampir
tiada berfungsi lagi. Dalam situasi yang tidak menentu itu, daerah Bulungan dan
Tidung berkesempatan melepaskan diri dari kesatuan wilayah kekuasaan Berau dan
membentuk kesultanan sendiri pada tahun 1800.
Wilayah Inti Kerajaan Berau Terpecah
Dua Pemerintahan kerajaan Berau terpaksa harus pasrah kasus Bulungan dan
Tidung, karena segala tenaga dan pikiran mereka dipusatkan untuk mengatasi
kekacauan perebutan kekuasaan antara turunan Pangeran Tua dan Turunan Pangeran
Dipati. Gazi Mahyudin adik Sultan Zainal Abidin II bersikeras menggantikan
kakaknya yang sakit-sakitan itu alasannya kakaknya baru beberapa tahun menjadi
raja. Raja Alam Putera Sultan Amiril Mukminin turunan Pangeran Tua, merasa
lebih berhak mendapat giliran menjadi raja, alasannya turunan Pangeran Tua baru
empat kali. Suasana semakin tegang, yang mengakibatkan terjadinya insiden di
beberapa tempat. Musyawarah kerajaan dan kedua keluarga Pangeran, karena hampir
setiap giliran yang akan menjadi raja, timbul persengketaan yang berbahaya bagi
kelangsungan hidup kedua keluarga itu, dapat memutuskan lebih akan bermanfaat
wilayah itu dibagi atas kesultanan.
Pertama
:
Sebelah Utara Sungai Berau (Kuran) serta tanah kiri kanan sungai Segah menjadi
Kerajaan Gunung Tabur diperintah oleh Sultan Gazi Mahyudin (Sultan Aji Kuning
II). Kedua : Sebelah Selatan Sungai
Berau (Kuran) dan tanah kiri kanan sungai Kelay menjadi Kerjaan Sambaliung di
perintah oleh raja Alam (Sultan Alimuddin). Kedudukan Pemerintahan di Muara
Bangun dipindahkan. Sultan Aji Kuning memilih Gunung Tabur yang terletak di
sebelah kanan muara cabang sungai Segah sebagai pusat pemerintahannya dan
Sultan Alimuddin Raja Alam memindahkan pusat pemerintahannya di kampong Gayam
sebelah kanan masuk sungai Kelay, disebut Tanjoeng. Sesuai dengan keputusan
Seminar Hari Jadi Kota Tanjung Redeb tahun 1992 peristiwa itu terjadi pada
tahun 1810, sepuluh tahun sesudah Bulungan dan Tidung memisahkan diri.
Sultan Raja Alam Alimuddin inilah
sultan pertama dari Tanjung yang kemudian bernama kerajaan Sambaliung, sedang
ayahnya Sultan Amiril Mukminin atau marhum di Rijang (sungai kecil dekat
kampong Gurimbang) adalah raja giliran ke IX kerajaan Berau. Gazi Mahyudin atau
Sultan Aji Kuning II, sultan pertama dari kerajaan Gunung Tabur sedang kakaknya
Raja Tua Si Taddan (Sultan Zainal Abidin II adalah Raja Berau giliran ke X….”)
Demikian versi mengenai sejarah awal Kesultanan Bulungan dari sudut
pandang sejarah Berau yang ternyata oleh penulis Belanda diyakini kebenarannya,
komentar mengenai hal tersebut terlontar dari tulisan seorang ilmuan Belanda
bernama H.
J. Grizen seperti berikut :
“Pada
zaman dahulu beberapa Kepala Pemerintahan di daerah Kalimantan Utara Berasal
dari Berau sebelum Berau terpecah menjadi dua kerajaan, Bulungan dan Tidung
termasuk wilayahnya. Bahkan kerajaan Alas dan Tungku yang sekarang diduduki
Inggris, termasuk kawasan Berau.
____________________________________________________________________
1839, “Sedjak Boelongan beradja dengan
sendirinja, perhoeboengan dengan Goenoeng Taboer, ja’ni radja jang asal
memberi hak kepadanja, selaloe baik sahadja, tetapi berhoeboeng dengan
pertjek tjokan yang disebabkan oeroesan perkawinan dalam tahoen 1839 maka
perhoeboengan jang baik ini menjadi perselisihan”.
1866, “Perselisihan antara Goenoeng Taboer
dengan Boelongan jang sejak beberapa tahoen lamanja, dengan perantaraan
Assisten Residen dari Samarinda dapat didamaikan”.
|
Pada kedua poin catatan laporan mengenai Bulungan pada tahun 1839,
menarik untuk di perhatikan, disebutkan bahwa hubungan antara Bulungan dan
Gunung Tabur baik-baik saja sebelum sebuah masalah yang berkaitan dengan
perkawinan mejadi penyulut masalah antara kedua Kesultanan tersebut.
Apabila kita melakukan pengecekan ditahun tersebut, bertepatan pada
tahun memerintahnya Aji Muhammad atau Sultan Kaharuddin I, pada masa
kepemimpinannya diperiode pertama, sejauh yang penulis tahu tidak ada catatan
pasca Sultan Alimuddin, tentang perkawinan antara kedua kerajaan seperti yang
ditulis dalam laporan tersebut, apakah ada bagian dari catatan sejarah Bulungan
yang tidak menyebutkan peristiwa tersebut? Saya kurang tahu pasti. Namun satu
hal yang pasti, dalam catatan yang dibuat oleh Adrian B. Lapian dalam bukunya berjudul Orang
Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX Hal. 214, (Kol. Archief, 30 Oktober 1863,
no. 31 NA) beliau menuliskan tentang peristiwa perang antara Kesultanan
Bulungan dan Gunung Tabur, Penulis menyusun informasinya sebagai berikut.
Pemerintah Kolonial Belanda sendiri dikejutkan
dengan keberadaan berita yang mengisahkan tentang konflik antara
Bulungan-Gunung Tabur, berita tersebut berasal dari Surat Asisten Residen Kutai
bertanggal 15 Oktober 1862)
(…” Saat
terjadinya hubungan yang sempat memanas antara Kesultanan Bulungan dan Gunung
Tabur pada tahun 1862, petualang Inggris juga melibatkan diri dalam hal ini,
kapten kapal niaga berbendera Inggris Swan, William Lingard berpihak
pada Gunung Tabur atas permintaan Sultan dari kerajaan tersebut. William Lingard dikenal
sebagai seorang nakhoda yang berpengalaman dan sering berlayar antara
Singapura, Bali, Lombok dan pantai timur Kalimantan. Atas jasa-jasanya tersebut
ia diberi gelar Raja Laut, menurut laporan 4 Maret 1863, gelarnya adalah
‘Pengeran Laut, Kapitan Berau’. Peristiwa ini disertai pula dengan tembakan
kehormatan dan pemberian sebuah Mandau beserta tombak yang bertahtakan
emas sebagai ‘Barang Kerajaan’. Belanda dibuat cemas karena ada berita yang menyebutkan
bahwa Sultan menyerahkan sebidang tanah pada William Lingard tempat ia
mendirikan rumah dan gudangnya. William Lingard nampaknya ingin mengikuti jejak
James Brook, namun Belanda dengan cepat mengirim utusannya untuk mengadakan
penyelidikan, disamping itu kunjungan kapal perang Belanda secara berkala
didaerah tersebut membuat William Lingard tidak mungkin melanjutkan
rencananya”).
Pada laporan tersebut
disampaikan bahwa terjadi konflik dimulai pada tahun 1839 , sempat terjadi
konflik terakhir yang dimulai pada tahun 1862 dan baru Selesai 1866, memberikan
pemahaman menarik mengenai konflik perbatasan yang berawal dari masalah perkawinan
yang terjadi hampir 27 tahun lamanya, dan konflik terakhir Kesultanan Gunung
Tabur bahkan sampai harus meminta bantuan seorang petualang Inggris, seorang
Kapten Kapal bernama William Linggard untuk memimpin Angkatan Laut Gunung
Tabur. Lamanya 27 tahun bukan waktu yang pendek, ia juga dapat digambarkan
bagaimana tangguhnya Armada Kesultanan Bulungan yang baru berdiri menghadapi
Kesultanan Gunung Tabur waktu itu. Jika kita menoleh kebelakang, Armada
kesultanan Bulungan di bangun di era Sultan Alimuddin, armada tersebut pernah
dikerahkan untuk memukul posisi bajak Laut di Tawau dibawah pimpinan Laksaman
Muda Nik, putra lain dari Sultan Alimuddin, siapa sangka armada yang sama
dikemudian hari digunakan pula dalam konflik beberapa kali yang berhadapan
dengan kekuatan luar seperti Gunung Tabur yang ingin meluaskan wilayahnya.
Sayangnya pasca perdamaian
ditahun 1866, tidak pernah lagi terdengar mengenai Armada Laut Kesultanan
Bulungan tersebut, disinyalir Armada Kesultanan dibubarkan pada akhir konflik
tersebut sebagai bagian dari konpensasi perjanjian bersejarah antara Bulungan
dan Belanda yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa “Belanda mengusai
Sungai-Sungai, muara dan laut yang berada diwilayah Kesultanan Bulungan dan
sebagai gantinya menjamin keamanan bagi Kesultanan Bulungan”
Masih banyak pertanyaan belum
terjawab, misalnya seberapa banyak Kapal-kapal dan perahu milik Angkatan Laut
Bulungan yang dihasilkan dan berdinas pada periode itu? Bagaimana struktur
Komandonya? Siapakah Laksama terakhir yang memimpin pertempuran pada konflik
panjang tesebut? Bagaimana mereka mendapatkan mesiu dan persenjataan pada
periode tersebut? Dimana gudang senjatanya? Bagaimana komposisi awak kapalnya?,
Apakah meriam-meriam kecil yang disimpan di Museum Kesultanan Bulungan tersebut
pernah digunakan dalam konflik laut tersebut? dan banyak lagi yang menjadi
misteri yang belum terpecahkan. Yang pasti, bahwa Kesultanan Bulungan pernah
memilki pasukan yang berorientasi laut dapat dirasakan pada penyematan gelar
pada salah menteri di era Sultan Maulana Mohammad Djalaluddin yaitu Menteri
Ketiga, Yakni Gelar Laksamana Setia Diradja. Tentu saja dimasa Sultan Terakhir
itu Sultan tidak memiliki pasukan Laut, hanya Opas saja, namun gelar itu secara
simbolik mengingatkan pada masa jayanya Kesultanan Bulungan memang pernah
memilki Armada Laut yang tangguh.
__________________________________________________________________
1873, “Dalam Tahoen 1873 Sultan dari
Boelongan telah mangkat dan diganti oleh toeroenan jang berhak”.
1874, ”Setahoen kemoedian dalam boelan April
1874 di Boelongan berhoeboeng dengan tida ada pengganti Sultan djang sah,
maka banjak candidaat2 mengemoekakan dirinja, sehingga hampir terdjadi perang
saudara oentoenglah toean Assisten Resident dari Samarinda (boleh djadi- G.G
Villenneuve) dapat segera menjelesaikan dan sebagai penggantinja diangkat
Datoe Maoelana dan dalam boelan April 1875 diakui sjah oleh Gouvernement”.
|
Pada poin laporan tarakhir yakni pada tahun 1873 dan 1874, disebutkan
bahwa Sultan Bulungan telah mangkat dan penganggantinya yang sah telah siap
diangkat menjadi Sultan Bulungan.
Tahun 1873, merupakan tahun kemangkatan bagi baginda Sultan Kaharuddin I
Bin Sultan Alimuddin. Peristiwa bersejarah ini menjadi peristiwa penting bagi
Bulungan, karena kehilangan pemimpin yang mampu bertahan dari usaha agresi
pihak luar. Dan seperti yang digambarkan pula dari poin tersebut, ternyata
putra mahkota yang akan disiapkan naik tahta tidak cukup umur. Sehingga
diangkatlah Sultan Datu Alam Muhammad Adil atau Muhammad Khalifatul adil Bin
Maoelana selama tiga tahun dan mangkat di tahun 1875 kemudian digantikan oleh
Sultan Muhammad Kaharuddin II Bin Maharaja Lela hingga tahun 1889.
Pada laporan yang ditulis pada poin diatas, disebutkan Datoe Maoelana disyah
oleh Gubernur Belanda pada April 1875, laporan ini agak ganjil bagi penulis
karena tidak dijelaskan siapa Datoe Maoelana tersebut. Selain itu laporan itu
memberikan gambaran bahwa terjadi kekosongan kekuasaan di kesultanan Bulungan
pada akhir periode setelah Mangkatnya Baginda Sultan Kaharuddin I di tahun 1873
hingga bulan April 1875, apabila kita kembali melihat versi sejarah Bulungan
kekosongan kekuasaan tidak terjadi dimasa tersebut. Karena hal tersebut penulis
belum dapat memahami laporan yang mengisahkan hampir terjadinya perang saudara
antara Kesultanan Bulungan pada periode tersebut.
Penutup.
Demikian tulisan ringan yang penulis buat sebagai analisis awal mengenai
hubungan sejarah Bulungan-Berau berdasarkan poin-poin laporan yang ditulis
dalam “ Naskah Tjabutan”, tentu saja sebagai tulisan “ringan” jauh dari
kesempurnaan, semoga akan ada informasi tambahan atau analisis lainnya, yang
bisa menyempurnakan dan menambah khazanah dari tulisan ini. Terimakasih.
Note:
* Pertanyaan yang tak kalah menarik untuk
disodorkan adalah, bagaimana awalnya
Bulungan dalam konteks sejarah Berau dianggap sebagai wilayah yang pernah
menjadi satu naungan dibawah pengarah Kerajaan Berau? Ternyata salah satu
pejabat Belanda pada waktu itu bernama J.S. Krom pernah meminta bantuan pihak
Kesultanan Gunung Tabur dan Sembaliung untuk menyusun sejarah Berau, maka
disusunlah tim kecil yang terdiri dari kedua pihak yakni: Klerk
Lauw. Aji Berni Masuarno juru tulis kelas 1 Datu Ullang putera dari Sultan
Amiruddin Sambaliung, Aji Raden Ayub putera dari Sultan H. Siranuddin Gunung
Tabur dibantu beberapa magang seperti Abdul Wahab, Adam, Khirul Arip.
Berdasarkan data-data otentik yang dapat dihimpun
dari kedua kerajaan itu serta naskah-naskah tradisional milik perorangan,
berhasil disusun sejarah Berau.
Secara ringkas dalam tulisan tersebut, tim penulis menyebutkan bahwa
wilayah inti yang membentuk kerajaan Berau kuno (Kuran) terdiri dari lima
Nagari atau Benua dan 2 kampung. Saya tidak membahas mengenai kesemua nagari
atau benua penyusun wilayah inti kerajaan tersebut, perhatian saya berfokus
pada informasi mengenai salah satu Banua tersebut, yaitu Nagari Marancang yang
disebut paling pertama dari wilayah tersebut, dengan ulasannya yaitu:
“Nagri Marancang.
Kepala Nagri atau Orang tuanya bernama Rangga Si Kannik Saludai. Pengarappan
atau Punggawanya Bernama Harimau Jantan, Lambu Tunggal dan Kuda Sambarani.
Wilayah kekuasaannya dari Bulalung Karantigau, Kubuan Pindda, Mangkapadi,
Bulungan Selimbatu, Sekatak Buji, Sekata Jelanjang, Betayu, Sesayap,
Simangarris, Tawau, Segarung, Talluk Silam dan Kinabatangan berbatasan dengan
Brunei.
Perhatikan nama-nama wilayah yang saya garis bawahi, cukup familiar
bukan? Beberapa nama tersebut masih bisa kita temukan sampai hari ini. Hubungan
sejarah Bulungan-Berau layak dikaji lebih dalam lagi.
Sumber Pustaka
“Naskah Tjabutan” yang merupakan terjemahan dari “Kroeniek Der Zuider En
Oosterafdeling Van Borneo”.
Copy naskah ketikan Datuk Perdana, “Risalah Riwayat
Kesultanan Bulungan th 1503 M atau th 919 H”, t.th
Ali Amin Bilfaqih, H. Said. 2006. “Sekilas Sejarah
Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa”. Tarakan : CV. Eka Jaya Mandiri.
Dachlansjahrani, H. 1991. “Beberapa
Usaha Menemukan Hari Jadi Kota Tanjung Selor”.
Adrian
B. Lapian, Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX. Th. 2009.
Mika
Okushima “Latar Belakang Etnis Tidung:
Penyelidikan terhadap kerajaan-kerajaan kuno di pesisir Kalimantan timur laut.
Th. 2002